August 8, 2024

Klientalisme dalam Pilkada OLEH INDRA PAHLEVI

Tanggal 9 Desember pekan ini berlangsung hajatan besar pilkada serentak 2020. Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dilaksanakan di 270 daerah, yaitu 9 provinsi untuk memilih gubernur/wakil gubernur, 224 kabupaten untuk memilih bupati/wakil bupati, dan 37 kota untuk memilih wali kota/wakil wali kota. Ini menjadi penyelenggaraan pilkada serentak pertama di era pandemi yang pernah terjadi.

Pilkada ini juga tertunda dari jadwal yang seharusnya. Kita semua berharap pilkada ini dapat terselenggara secara aman dan sehat meskipun beberapa tahapan dilingkupi kekhawatiran dengan kian masifnya penularan virus Covid-19 akibat adanya kerumunan massa sejak masa pendaftaran, kampanye, hingga debat antarcalon.

Hal lain yang juga penting dicermati adalah hadirnya gejala ”klientalisme” sebagai kosakata pengganti ”dinasti politik” yang selama ini ada dan dibahas sejak awal era pilkada langsung tahun 2005.

Ini menjadi penyelenggaraan pilkada serentak pertama di era pandemi yang pernah terjadi.

Histori pilkada

Pemilihan kepala daerah di Indonesia berawal dari praktik dan pemahaman yang telah dilakukan pada masa kolonial. Pada masa itu, pemilihan kepala daerah termaknai sebagai keadaan yang tak demokratis karena rakyat tak memilih langsung kepala daerah mereka.

Dengan pembuatan UU pada 23 Juni 1903 (Decentralisatie wet 1903), dalam pembentukan Raden dan pemilihan anggota Raad (dewan semacam DPRD) setempat—antara lain jabatan gubernur, residen, dan asisten residen—menjadi jatah orang Belanda. Adapun jabatan bupati, wedana, dan camat menjadi jatah pribumi, yang pengangkatan atau penunjukannya dilakukan oleh penguasa kolonial secara terpusat, yaitu gubernur jenderal.

Meskipun pihak pribumi mendapat jatahnya tersebut, pengangkatan bupati, wedana, dan camat disertai kewajiban untuk membayar kompensasi ekonomi (upeti) kepada pihak Belanda.

Kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin dalam masa penjajahan ibarat jauh panggang dari api. Setiap sendi kehidupan masyarakat yang diharapkan semakin baik melalui kepemimpinan daerah yang cakap justru menenggelamkan suatu kedaulatan rakyat dengan syarat-syarat yang berat.

Dengan demikian, kepemimpinan daerah masih terus tersiasati seiring dengan upaya perebutan kemerdekaan yang sejak lama telah dicita-citakan segenap masyarakat. Kepala daerah yang merupakan kedaulatan rakyat belum juga tercapai bahkan setelah Jepang mengambil alih wilayah jajahan Belanda.

Pihak Jepang memegang jabatan pusat, provinsi, dan lainnya yang sempat dikuasai pihak Belanda, sementara pihak pribumi mendapatkan jabatan sebelumnya, yang pengangkatannya juga dilakukan pihak Jepang sebagai kekuatan kolonial sepeninggal Belanda.

Pada 23 November 1945, pihak Indonesia yang telah lepas dari penjajahan Belanda ataupun Jepang kemudian membuat UU No 1 Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kepala daerah menjalankan fungsi eksekutifnya sebagai pemimpin komite nasional daerah, juga menjadi anggota dan ditetapkan sebagai ketua legislatif dalam badan perwakilan daerah.

Namun, pada masa ini terdapat pertimbangan akan situasi politik, keamanan, dan hukum ketatanegaraan yang masih dinilai kurang baik, sehingga posisi kepala daerah diisi oleh pihak pribumi yang menjadi kepala daerah pada masa kolonial. Sebagian pihak menilai Indonesia yang saat itu baru merdeka hanya memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang pemerintahan daerah ketika dijajah oleh Belanda dan Jepang.

Ketidakmapanan pengetahuan dan pengalaman tersebut terkesan seperti negara yang masih “mencari bentuk” setelah lepas dari penguasa kolonial.

Ketidakmapanan pengetahuan dan pengalaman tersebut terkesan seperti negara yang masih ”mencari bentuk” setelah lepas dari penguasa kolonial. Pada saat itu, pemerintah pusat sekaligus mengemban tanggung jawab untuk memolakan penempatan kepala daerah tanpa konsensus dari masyarakat secara keseluruhan.

Hal itu berlanjut hingga era Orde Baru, dengan kepala daerah seolah hanya sebatas ”boneka” pemerintah pusat di daerah. Tak ada kontestasi atau kompetisi. Semua ”didrop” dari pusat meski lewat pemilihan di DPRD.

Sejatinya, pilkada merupakan salah satu cara menerapkan nilai-nilai demokrasi, yakni adanya sirkulasi elite atau pemimpin secara reguler dalam sebuah negara demokratis. Larry Diamond (2003), misalnya, menyebut pilkada merupakan ruang bagi pembangunan demokrasi yang mencakup penguatan masyarakat politik, penguatan masyarakat ekonomi, dan penguatan masyarakat budaya.

Di situ juga terjadi penguatan keterlibatan masyarakat sipil berupa suara, akses, dan kontrol. Ahli lain Goran Hyden (1992) melihat bahwa pilkada sebagai arena untuk menciptakan local good governance. Melalui pilkada tercipta tatanan pemerintahan lokal yang baik yang mencakup tiga dimensi, yaitu aktor, struktur, dan dimensi empiris.

Kesenjangan

Jika kita melihat praktik pilkada di Indonesia sejak 2005, dapat kita lihat kecenderungan adanya kesenjangan antara tataran teoretis dan fakta empiris. Secara prosedural, pilkada menjadi ajang berlangsungnya proses demokratisasi, tetapi secara empiris muncul kondisi di sebagian (besar) daerah akan hadirnya ”raja-raja kecil” dan bahkan memunculkan dinasti politik yang terkadang mengancam proses demokratisasi yang dicita-citakan.

Dalam kontestasi, pilkada terlihat hanya menjadi sebuah arena pertarungan antara beberapa pihak yang disebut Joel Migdal dan John Sidel yang dikutip Gregorius Sahdan (2020) sebagai pertarungan antara local strongmen dan local bosses. Menurut Migdal, setiap kelompok dalam masyarakat mempunyai pemimpin yang relatif otonom dari negara.

Selain itu, masyarakat memiliki local capacity yang memungkinkan mereka untuk menerapkan aturan main mereka tanpa diintervensi oleh negara. Ketika kapasitas negara lemah (weak state), para local strongmen menunjukkan kekuasaannya.

Kondisi tersebut menjadi pelajaran penting bagi para pemegang kekuasaan bagaimana menciptakan pilkada yang sebenar-benarnya demokratis (the truly democratic) guna menghilangkan paham klientalisme atau adanya praktik kekuasaan yang menguntungkan kliennya saja sejak sebelum berkuasa hingga saat berkuasa menjadi kepala daerah (politik distribusi anggaran).

Meskipun diakui bahwa terdapat perbedaan perspektif dalam melihat arti pentingnya pilkada langsung, baik dari kaum liberal maupun sosial-instrumentalis, pilkada langsung tetaplah penting.

Survei yang dilakukan Litbang Kompas tahun 2008 menunjukkan, 87,6 persen responden senang dengan pilkada langsung dan 61,5 persen responden berpendapat pilkada telah membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat.

Kondisi tersebut harus dijaga seiring upaya meningkatkan kualitas demokrasi lokal secara khusus dalam pilkada serta secara nasional karena juga dilaksanakan secara serentak.

Harus disadari bahwa klientalisme sangat dekat dengan oligarki, dengan segala proses yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak melalui pilkada hanya diputuskan oleh segelintir orang. Klientalisme yang secara harfiah berasal dari kata cluere yang berarti ’mendengarkan atau mematuhi’ yang berasal dari zaman Romawi Kuno untuk menggambarkan relasi antara clientela dan patronus.

Clientela pada era ini adalah istilah untuk menyebut kelompok orang yang mewakilkan suaranya kepada kelompok lain yang disebut patronus, yang merupakan sekelompok aristokrat. Selanjutnya, disebutkan bahwa clientela merupakan pengikut setia dari patronus.

Dengan pengertian seperti itu, kontestasi pilkada menjadi ”arena pertarungan” para ”penguasa lokal” seperti yang disebut Migdal yang memiliki kelompok di masyarakat dan mewakilkan suaranya kepada para kandidat dalam pilkada. Berikutnya, penentuan siapa yang menjadi kandidat meskipun menjadi ranah partai politik sebagai pihak yang mengusung. Selain jalur perseorangan dengan syarat tertentu, pengaruh sang calon terhadap partai politik pengusung tersebut menjadi hal yang menentukan.

Pengaruh yang dimaksud adalah seberapa kuat sang kandidat mampu memberikan ”magnet” bagi partai politik tersebut selain berbagai keuntungan yang akan diperoleh ketika calonnya memenangi pilkada. Karena itu, watak oligarki akan muncul dalam menentukan calon kepala daerah.

Demokrasi substantif

Kondisi tersebut tidak selalu bermakna negatif sepanjang benar-benar diabdikan untuk masyarakat, apalagi kondisi sosio kultural masyarakat Indonesia yang berwatak patronase dalam beberapa hal ketika memilih pemimpin. Meski demikian, secara substansif hal itu akan menghambat proses demokratisasi, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Oleh karena itu, menjadi hal penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi menjadi demokrasi substantif tidak hanya menggugurkan secara prosedural yakni adanya sirkulasi elite melalui pemilihan langsung.

Muaranya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah masing-masing karena pemimpin yang dipilih adalah seseorang yang memiliki basis dan dukungan yang kuat, berintegritas, memiliki kapasitas serta kapabilitas dalam merumuskan dan mengimplementasikan berbagai kebijakan untuk masyarakat.

Kita harus tetap optimistis menyongsong era baru dalam berdemokrasi, yaitu era demokrasi 4.0. Artinya tidak hanya prosedur yang dijalankan harus menyesuaikan dengan revolusi 4.0 dalam penyelenggaraan pemilihan pemimpin baik lokal maupun nasional, tetapi juga secara substantif kualitas atau indeks demokrasi kita diharapkan meningkat yang pada 2019 mencapai 74,92 persen. Kesemuanya itu bermuara pada tercapainya tujuan bernegara, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Semoga.

Indra Pahlevi,  Peneliti Bidang Politik Dalam Negeri Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI.

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 8 Desember 2020 di halaman 7 dengan judul “Klientalisme dalam Pilkada”. https://www.kompas.id/baca/opini/2020/12/08/klientalisme-dalam-pilkada/