August 8, 2024

Dalil Politisasi Bansos di Sidang MK Perkara Denny Indrayana

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan 123 permohonan sengketa hasil Pilkada mulai Selasa (26/1). Pada hari pertama, perkara No.124/PHP.GUBXIX/2021 yang dimohonkan oleh pasangan calon (paslon) nomor urut 2 pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kalimantan Selatan (Kalsel) 2020, Denny Indrayana-Difriadi disidangkan oleh para hakim MK di Panel 2. Panel 2 terdiri atas Hakim Suharyoto, Hakim Aswanto, dan Hakim Daniel Yusmic P. Foekh.

Dalam pembacaan permohonan oleh kuasa hukum paslon, diketahui bahwa terdapat dua dalil yang diajukan oleh paslon Denny-Difriadi. Pertama, bahwa paslon petahana di Pilgub Kalsel melakukan pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (3) UU Pilkada No.10/2016. Berikut bunyi Pasal tersebut.

“Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.”

Bentuk pelanggaran yang didalilkan dilakukan oleh paslon petahana yakni politisasi bantuan sosial (bansos) Covid-19 berupa sembako yang disebarkan di 10 dari 13 kabupaten/kota di Kalsel sejak enam bulan sebelum ditetapkan sebagai calon. Bansos mengandung citra diri petahana, dan pengemasannya diguga menggunakan unsur Pemerintah, memakai tenaga pegawai kontrak Pemerintah, mobil dinas, Tim Gugus Tugas Covid, dan Satpol PP.

“Di bungkus sembako itu, terdapat foto petahana yang mirip dengan foto petahana di dalam alat peraga kampanye (APK), identitas petahana berupa sapaan Paman Birin yang ada di stiker bungkus beras atau di banyak bakul sembako, serta tagline Banua Bergerak yang identik dengan tagline yang ada di APK, bahan kampanye dan media sosial kampanye,” kata kuasa hukum paslon Denny-Difriadi, Lutfi Yazid, pada sidang pendahuluan di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (26/1).

Paslon Denny-Difriadi mengklaim menemukan 57 peristiwa politisasi bansos Covid-19 dengan lebih dari 100 ribu sembako yang dibagikan kepada lebih dari 100 ribu kepala keluarga.

Bentuk pelanggaran lainnya yakni politisasi tandon air cuci tangan yang disebarkan ke seluruh kabupaten/kota di Kalsel sejak enam bulan sebelum ditetapkan sebagai calon. Pada pembagian tandon, ditemukan foto petahana yang memakai baju dinas, logo Pemerintah Provinsi Kalsel, dan tagline yang identik dengan tagline kampanye petahana. Pelanggaran tersebut diakui ditemukan di 74 peristiwa.

“Ada 33 peristiwa politisasi tandon air cuci tangan Covid-19. Ditambah, bukti tambahan bergerak 41 peristiwa. Total 74 peristiwa. Tindakan politisasi tandon ini merupakan tindakan yang sangat menguntungkan petahana,” tandas Lutfi.

Tagline yang disertakan dalam bantuan tersebut, menurut pemohon, merupakan citra diri calon petahana. Pasalnya, tagline resmi Kalsel adalah “Kalsel Mapan”. Disampaikan Lutfi, tagline ditemukan di berbagai fasilitas Pemprov Kalsel, seperti website, banner, jam, pelampung dinas, dan penampung sampah.

Pelanggaran-pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (3) UU Pilkada tersebut telah dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Kalsel. Namun, semua laporan mentah.

Pemohon menyatakan kecurigaan. Bahwasannya, menurut pemohon, hasil kajian Bawaslu Kalsel berbeda dengan kesimpulan dan rekomendasi yang dibacakan oleh Bawaslu Kalsel, dan pada sidang etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bawaslu Kalsel menyatakan tak membaca hasil kajian sebelum memutuskan.

“Pada hasil kajian pelanggaran tagline, analisis menyatakan seluruh unsur memenuhi, dan kesimpulannya pun memenuhi, tapi rekomendasinya tidak menindaklanjuti. Kemudian ditemukan fakta bahwa Bawaslu Kalsel memiliki dua hasil kajian yang berbeda untuk satu laporan tagline yang sama,” jelas Lutfi.

Kecurigaan pada pemungutan suara

Argumentasi kedua yang disampaikan yakni telah terjadi kecurangan yang melibatkan unsur penyelenggara pemilu pada hari pemungutan suara. Pemohon mengutarakan bahwa jumlah surat suara tidak sah pada Pilgub Kalsel mencapai 10,1 persen. Bandingkan dengan surat suara tidak sah pada Pemilihan Bupati Banjar 2020 sebesar 4,7 persen.

“Ada 296 TSP di Kabupaten Banjar yang surat suara tidak sahnya melebihi 10 persen. Persebarannya ada di 19 dari 20 kecamatan. Dari 296 TPS yang kami curigai, hasil perolehan suara pemohon kalah  22.702 suara. Bandingkan dengan keunggulan petahana hanya 0,4 persen yang 8 ribu suara, tentu sangat jauh,” tutur kuasa hukum pemohon lainnya.

Pemohon kemudian menyatakan bahwa kecurangan yang menguntungkan petahana terjadi dengan dua modus. Satu, KPPS mencoblosi surat suara untuk paslon nomor urut 1 atau petahana. Dua, penggelembungan suara lewat Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), Daftar Pemilih Pindahan (DPPh).

“Setelah ditelusuri, banyak surat suara yang dicoblos. Padahal, dalam absensi tidak menunjukkan demikian. Bahkan, terdapat beberapa TPS yang jumlah DPPh dan DPTb-nya lebih dari 60 persen. Padahal, hanya boleh 2,5 persen…Banyak juga pemilih tidak sah dengan kehadiran 100 persen (di TPS). Kehadiran 100 persen sangat tidak bisa diterima jika melihat partisipasi pemilih di Kalsel hanya 64 persen,” urai kuasa hukum pemohon.

Usai sidang pendahuluan, MK akan memanggil KPU Kalsel dan Bawaslu Kalsel. Dalam perkara ini, kuasa hukum petahana juga mengajukan permohonan sebagai pihak terkait.