August 8, 2024

Dua Opsi Pengganti Kepala Daerah Jika Pilkada Serentak 2024

Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Djohermansyah Djohan mengemukakan dua opsi pengganti kepala daerah definitif apabila Pilkada Serentak dilaksanakan sesuai UU Pilkada, yakni pada November 2024. Opsi pertama, sesuai Pasal 201 UU Pilkada No.10/2016, digantikan oleh Penjabat.

Menurut Djohan, tak ada masalah kekurangan aparatur sipil negara (ASN) jika kekosongan masa jabatan gubernur dan bupati/wali kota diisi oleh ASN. Hanya gubernur yang memerlukan penjabat dari tingkat pusat. Bupati/wali kota diisi oleh pejabat ASN di tingkat provinsi.

Stock kan tidak dari pusat semua. Pusat itu hanya untuk gubernur. Untuk bupati/wali kota, itu dari provinsi masing-masing. Sebagian besar daerah itu juga sudah banyak yang pernah diangkat menjadi penjabat, penjabat sementara. Jadi, mereka sudah berpengalaman,” tandas Djohan pada diskusi daring “Gaduh Keserentakan Pemilu”, Kamis (4/2).

Djohan kemudian mengatakan bahwa masyarakat tak perlu mengkhawatirkan kompetensi Penjabat yang ditugaskan sementara memimpin kepala daerah. Pasalnya, pejabat tingkat madya dan pratama merupakan ASN yang telah berpengalaman puluhan tahun. Pejabat ASN dinilai Djohan memiliki pengalaman dan kapasitas kuat dalam memimpin organisasi, mengelola pemerintahan daerah, menjaga hubungan dengan pemerintah pusat, dan berelasi dengan kementerian/lembaga negara.

“Kawan-kawan PNS ini sudah puluhan tahun. Mereka punya skill dan knowledge, pengalaman. Dari segi relasi pusat dan daerah, dia kan PNS, hubungannya tentu bagus ke Pemerintah Pusat, punya hubungan dengan kementerian dan lembaga. Sudah terbiasa juga memimpin organisasi, melakukan lobi,” ujar Djohan.

Kekurangannya, diakui Djohan, rawan mengundang kecurigaan dari publik dan partai oposisi bahwa penjabat yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merupakan orang-orang yang dinilai dekat dengan partai yang tengah berkuasa. Dan, penjabat tak punya legitimasi dari rakyat.

“Memang ada kecurigaan, pilkadanya kan dekat Pemilu 2024. Yang angkat Pj itu kan rezim yang berkuasa. Nanti dia taroh orang-orang yang dia suka atau yang akan diperkirakan akan bantu-bantu dalam kontestasi pemilu,” tukas Djohan.

Oleh karena itu, dia mengusulkan opsi kedua, yakni memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang tengah menjabat hingga Pilkada 2024. Opsi ini memerlukan revisi UU Pilkada terbatas.

“Itu bisa saja diadopsi sehingga dia sudah punya kemampuan, pengalaman, dan legitimasi. Tinggal lakukan perubahan pasal terbatas di undang-undang,” kata Djohan.

Ia mengutarakan bahwa dirinya lebih khawatir dengan desain keserentakan enam hingga tujuh pemilihan dalam satu tahun yang sama. Beban penyelenggaraan pastilah tidak ringan.

“Saya khawatir KPU bebannya, bisa gak dia pikul kalau Pilkada dan pemilu tahun 2024. Ada 514 daerah otonom dalam satu tahun,” pungkas Djohan.

Ia mendorong agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilihan memiliki suara tegas terkait Pemilihan Serentak 2024, sekalipun Pemilihan Serentak dan Pilkada Serentak berbeda bulan. Jika berdasarkan kajian KPU penyelenggaraannya terlalu berat, Djohan meminta agar KPU menyampaikannya secara tegas.

“KPU sudah mengeluh dengan penyelenggaraan pemilu lima kotak. Nanti ditambah Pilkada lagi. Kalau KPU angkat tangan, KPU jangan basa basi, jangan tanggung-tanggung. Bilang saja gak bisa,” tutup Djohan.