Dalam Determinants of Invalid Voting in Latin America (2007), Power dan Garand 2007 menuliskan bahwa kasus invalid votes atau suara tidak sah di 18 negara di Amerika Latin disebabkan oleh tiga hal. Pertama, atribut kelembagaan sistem politik yang mendorong pemberian suara secara tidak sah. Kedua, konteks sosial ekonomi tempat tinggal pemilih yang menyebabkan pemilih kurang terinformasi sehingga melakukan kesalahan dalam pemberian suara. Ketiga, bentuk protes baik terhadap peserta pemilihan, sistem pemilu dan sistem politik, pemerintah, maupun penyelenggara pemilu dengan secara sengaja merusak surat suara mereka.
Adapun kemudian Aldashev dan Mastrobuoni (2010) menambahkan, bahwa tingkat surat suara tidak sah juga dipengaruhi oleh pemahaman penyelenggara pemilu terhadap aturan sah dan tidak sah surat suara dan independensi penyelenggara pemilu. Petugas pemilihan yang netral akan berupaya mengurangi kemungkinan salah menilai tidak sahnya surat suara untuk kandidat tertentu.
Penelitian keduanya terhadap data Pemilu Parlemen Italia pada tahun 1994-2001 juga menunjukkan adanya kesenjangan tingkat suara tidak sah di daerah-daerah bagian Utara dan Selatan Italia. Daerah-daerah di Italia bagian Selatan, yang kondisi kesejahteraan sosialnya lebih rendah dengan tingkat kriminalitas yang cukup tinggi, memiliki tingkat suara tidak sah jauh lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah di Italia bagian Utara.
Riset penting lainnya dilakukan oleh Ansolabehere dan Stewart III (2005). Riset tersebut menunjukkan bahwa surat suara kertas memiliki kemampuan menekan tingkat suara tidak sah lebih baik dibandingkan dengan surat suara elektronik. Meskipun dalam skema electronic voting atau e-voting terdapat fitur konfirmasi pilihan sehingga maksud suara pemilih bisa dipastikan, namun hanya pada pemungutan suara dengan kertas surat suaralah, pilihan pemilih dapat dipastikan sah atau tidak sah secara lebih terbuka dan dihitung bersama-sama. Untuk memastikan maksud pemilih secara benar, yakni apakah pemilih memilih kandidat A atau F atau G atau tidak ingin memilih semuanya, surat suara kertas dapat menyediakan pilihan none of the above atau tidak memilih semua kandidat.
Penentuan surat suara sah atau tidak sah memang kerap memerlukan ketelitian juga kecermatan terhadap regulasi yang ada, terutama jika metode pemberian suara rumit, seperti mekanisme preferential voting. Poinnya, pemeriksaan validitas suara bertujuan untuk satu hal, yakni menentukan dengan benar maksud pilihan pemilih. Dengan kata lain, jika pemilih memberikan tanda atau coblosan secara jelas untuk kandidat C, maka petugas pemilihan atau mesin pemungutan suara akan memberikan suara kepada kandidat C.
Namun, secara umum, ada beberapa hal yang membuat surat suara dianggap tidak sah, seperti surat suara tidak diproduksi secara resmi, surat suara berbeda daerah pemilihan (dapil), surat suara tidak memiliki tanda apa pun, maksud pemilih tidak terlihat jelas dari surat suara, surat suara berisi tambahan entri yang dibuat oleh pemilih, dan surat suara sengaja dirusak oleh pemilih. Pada pemungutan suara melalui pos, surat suara juga dianggap tidak sah jika tidak dikirimkan dalam amplop resmi, atau jika kondisi surat suara resmi rusak.
Di negara-negara yang mewajibkan memberikan suara bahkan menetapkan sanksi, seperti Australia, tingkat suara tidak sah cenderung tinggi. Dari riset doktoral Shane P. Singh, dapat diketahui bahwa pemilih yang tidak terlibat aktif dalam politik dan tidak mempercayai politik atau peserta pemilu mendorong angka surat suara kosong atau rusak. Di Argentina, surat suara kosong dan rusak sangat erat kaitannya dengan kekecewaan dan ketidakpercayaan pemilih. Fenomena itu bahkan dapat ditangkap dari sebutan voto branca yang digunakan oleh masyarakat. Voto branca berarti “suara marah”.
Adapun hal lain yang juga mendorong surat suara tidak sah juga pemilih buta huruf (Power dan Roberts (1995), dan kurangnya pilihan kandidat atau krisis politik seperti yang terjadi di Mesir.
Suara tidak sah di Pilkada Serentak 2020
Dari catatan ACE Project, secara global, rata-rata angka suara tidak sah yang dapat ditoleransi adalah 3 hingga 4 persen. Angka ini mestilah dibedakan untuk pemilihan eksekutif yang lebih sederhana, dan pemilihan legislatif yang lebih rumit. Angka 3 persen dapat kita pilih untuk menentukan batas suara tidak sah yang dapat ditoleransi pada gelaran Pilkada Serentak 2020.
Dari 246 daerah (24 daerah lainnya tak menyediakan dokumen Formulir C1 digital yang dapat diunduh) yang ber-Pilkada di 2020, baik Pemilihan Gubernur (Pilgub) maupun Pemilihan Wali Kota (Piwalkot)/ Pemilihan Bupati (Pilbup), rata-rata tingkat suara tidak sah adalah 2,43 persen.
Di tingkat Pilgub, Kalimantan Selatan merupakan provinsi dengan tingkat suara tidak sah tertinggi, yaitu 7,86 persen. Padahal, Pilgub Kalsel hanya ada dua pasangan calon (paslon).
Di urutan berikutnya, Pilgub Bengkulu 6,07 persen, dan Jambi 5,38 persen.
Sementara Pilgub Sulawesi Utara merupakan provinsi dengan tingkat suara tidak sah terendah, 1,64 persen.
Di Kalimantan Selatan, tak hanya Pilgub yang tingkat suara tidak sahnya tinggi, tetapi juga di Pilkada kabupaten/kota di provinsi ini. Dengan rata-rata suara tidak sah 4,57 persen, hanya Pilkada Tanah Bumbu yang tingkat suara tidak sahnya di bawah 3 persen.
Begitu juga dengan Bengkulu dan Jambi. Rataan tingkat suara tidak sah di Pilkada kabupaten/kota juga lebih dari 3 persen.
Selaras dengan tingkat provinsi, kabupaten/kota di Sulawesi Utara yang menyelenggarakan Pilkada juga sedikit suara tidak sah. Rata-ratanya yakni 1,76 persen. Hanya Minahasa Utara yang suara tidak sahnya sedikit lebih di atas 3 persen.
Secara umum, di Pilkada kabupaten/kota, terdapat 62 kabupaten/kota dengan tingkat suara tidak sah lebih dari 3 persen. Tertinggi, Kota Surakarta dengan 11,99 persen. Tertinggi kedua, Kota Banjarmasin 7,46 persen. Lalu Wonosobo 6,55 persen, Kota Magelang 6,39 persen, dan Sleman 6,29 persen.
Ada satu daerah yang tidak terdapat satu pun surat suara tidak sah, yaitu Pegunungan Arfak. Tingkat partisipasi di kabupaten ini nyaris sempurna, yaitu 99,25 persen.
Di Pilkada calon tunggal, rata-rata tingkat suara tidak sah di 23 daerah ialah 2,71 persen. Lebih tinggi 0,28 persen dari rata-rata keseluruhan 246 daerah Pilkada Serentak 2020.
9 provinsi dengan rata-rata suara tidak sah Pilkada kabupaten/kota lebih dari 3 persen: Kalimantan Selatan, Bengkulu, Banten, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.
Sementara lima provinsi dengan rata-rata suara tidak sah Pilkada kabupaten/kota terendah yakni, Maluku 0,62 persen, Papua Barat 0,82 persen, Sulawesi Selatan, 0,91 persen, Nusa Tenggara Timur (NTT) 0,92 persen, dan Sulawesi Tenggara 0,98 persen.
Rata-rata tingkat partisipasi pemilih di Pilkada kabupaten/kota di Maluku 77 persen, Papua Barat 84,43 persen, Sulawesi Selatan 77,22 persen, NTT 79,72 persen, dan Sulawesi Tenggara 85,85 persen.
Apa penyebab tinggi rendah tingkat suara tidak sah di Pilkada?
Perlu ada riset lebih jauh mengenai penyebab pasti suara tidak sah di Pilkada dengan metode pemberian suara yang mudah. Dari penjabaran di awal, beberapa penyebab suara tidak sah antara lain kurangnya informasi terkait pemberian suara secara benar, atribut kelembagaan sistem politik yang mendorong pemberian suara secara tidak sah, petugas pemilihan yang kurang memahami aturan terkait suara sah dan tidak sah, buta huruf, krisis politik, dan kekecewaan terhadap berbagai hal, salah satunya kurangnya jumlah kandidat.
Masalah kurangnya informasi pemberian suara, perlulah wawancara dan barangkali survei kepada pemilih terkait evaluasi sosialisasi Pilkada di daerah-daerah dengan tingkat suara tidak sah tinggi. Jika Benedict Anderson mengatakan bahwa informasi yang benar adalah oksigen di dalam demokrasi sehingga pemilih bisa memberikan suara dengan benar, perlu juga ada pemeriksaan disinformasi mengenai metode pemberian suara khususnya di daerah Pilkada paslon tunggal. Dengan rata-rata tingkat suara tidak sah 2,71 persen, ada dua kemungkinan dalam kaitannya dengan informasi, yakni sosialisasi yang kurang, dan disinformasi tentang pemberian suara di Pilkada dengan hanya satu paslon.
Kemudian, soal kurangnya jumlah kandidat. Pada Pilkada dengan 5 paslon, tingkat suara tidak sah adalah 1,72 persen. 4 paslon, 2,39 persen. 3 paslon, 2,26 persen. 2 paslon, 2,60 persen. 1 paslon, 2,71 persen. Angka ini menunjukkan bahwa di Pilkada dengan 5 paslon, tingkat suara tidak sah justru paling sedikit. Sebaliknya dengan 1 paslon, meskipun angkanya tidak di atas 3 persen. Namun, variabel ini juga mesti dihitung bersamaan dengan variabel lainnya, mengingat hanya ada 10 daerah dari 246 daerah yang memiliki 5 paslon di Pilkada Serentak 2020.
Faktor-faktor lain yang mendorong meningkatnya tingkat suara tidak sah juga perlu diteliti lebih lanjut dalam kajian-kajian khusus nan mendalam, untuk mengetahui sejauh mana suatu faktor mendominasi, atau menjadi masalah khas dari suatu daerah. Namun secara umum, dari seluruh daerah ber-Pilkada, seluruh faktor atau sebagian atau satu-dua faktor pastilah menjadi sebab tingginya tingkat suara tidak sah di Pilkada.
Patut pula diingatkan, bahwa rata-rata suara tidak sah di Pilkada Serentak 2020 di 246 daerah lebih tinggi dari tingkat suara tidak sah di Pemilihan Presiden (Pipres) 2019. Tingkat suara tidak sah di Pilpres 2019 adalah 2,38 persen. Di Pilkada Serentak 2020, 2,43 persen.
AMALIA SALABI