August 8, 2024

Akhir Sengketa Pemilihan di MK OLEH SHOLEHUDIN ZUHRI

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan tahapan pemeriksaan pendahuluan dan persidangan lanjutan dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah 2020. Berdasarkan rekapitulasi panggilan persidangan MK, ada 134 permohonan dengan rincian 100 permohonan yang diputus dismissal(tidak diterima) dan 32 permohonan masuk ke persidangan lanjutan. Adapun dua permohonan lainnya dilakukan pemeriksaan pendahuluan di luar jadwal yang ditetapkan dalam Peraturan MK Nomor 8 Tahun 2020.

Berbagai kritik terhadap penyelesaian perselisihan mulai bermunculan setelah pembacaan putusan dismissal oleh MK yang dinilai jauh dari penggalian fakta dalam mewujudkan keadilan substantif. MK menyatakan 90 permohonan tidak dapat diterima, 10 permohonan ditarik kembali, dan beberapa permohonan gugur atau MK tidak berwenang mengadilinya. Pertimbangan hukum dari sejumlah kasus yang tidak dapat diterima ini lebih menekankan pada aspek legal standing atau kedudukan pemohon, ambang batas perolehan suara, dan batas waktu pengajuan permohonan.

Meskipun demikian, MK sebenarnya tidak hanya memandang pada aspek formal. Beberapa permohonan di atas ambang batas yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah diteruskan ke persidangan lanjutan, seperti kasus pemilihan kepala daerah Kabupaten Boven Digoel. Selain itu, MK masih melakukan pemeriksaan pendahuluan untuk mendengarkan permohonan pemohon, jawaban termohon, keterangan pihak terkait, dan keterangan Badan Pengawas Pemilihan Umum di luar jadwal yang ditetapkan sebagai wujud perlindungan hak konstitusional warga negara. Ini, misalnya, soal hasil pemilihan Bupati Kabupaten Sabu Raijua karena Orient Riwu Kore, bupati terpilih, diduga punya kewarganegaraan Amerika Serikat.

Persidangan lanjutan ini tidak berhenti pada persoalan kalkulasi perolehan suara, tapi juga diwarnai pengujian tingkat akurasi tahapan krusial pemilihan. Selain untuk menjamin kepastian hukum, hal ini menjadi momentum penting dalam melakukan koreksi yang bersifat final terhadap proses berjalannya tahapan krusial pemilihan. Pada kenyataannya, memang masih terdapat masalah pencalonan, yang didalilkan dalam permohonan, yang berhubungan dengan hasil perolehan suara bahkan penentuan calon terpilih.

Sebagai upaya mewujudkan keadilan substantif, MK secara mendalam melakukan pemeriksaan terhadap beberapa perkara yang berhubungan dengan pengujian jalannya tahapan krusial, terutama pada penerapan hukum dalam pengambilan keputusan oleh penyelenggara pemilihan umum. Misalnya, dalam perkara pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Boven Digoel yang dalam proses pencalonannya terjadi sengketa administrasi yang berujung pada tertundanya pelaksanaan pemilihan. Untuk mengakhiri perbedaan tafsir serta penghitungan antara Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum soal syarat calon mantan terpidana ini, MK menghadirkan dan mendengarkan keterangan ahli dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, serta Kementerian Dalam Negeri.

Langkah MK dalam memeriksa perkara Bupati Sabu Raijua patut diapresiasi. Walaupun dilakukan di luar tahapan penyelesaian perselisihan, pemeriksaan perkara ini secara kualitatif dapat membuka jalan untuk terciptanya solusi di tengah tidak adanya integrasi di antara peraturan perundang-undangan. Hal ini sekaligus menegaskan kepada publik bahwa persoalan perselisihan hasil pemilihan tidak hanya bersifat kalkulasi matematis, tapi juga secara sistemik terpengaruh oleh variabel lain, termasuk ketentuan Undang-Undang Kewarganegaraan yang seharusnya sinkron dengan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah hingga teknis operasional tahapan pemilihan.

Sepanjang perjalanan MK memeriksa sengketa hasil pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, terjadi pasang-surut mutu pemeriksaan perkara. Puncaknya terjadi dalam sengketa hasil pemilihan kepala daerah Jawa Timur pada 2008 yang melahirkan istilah “terstruktur, sistematis, dan masif” (TSM). Seiring dengan berjalannya waktu, istilah ini diadopsi dalam ketentuan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilihan Umum. Hal ini juga ditegaskan dalam pertimbangan hukum MK dalam putusannya pada kasus perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2019.

Kompleksitas persoalan pemilihan kini menjadi semakin rumit. Hal ini berdampak pada munculnya ketentuan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang dalam pelaksanaannya menimbulkan beberapa masalah teknis serius di tingkat penyelenggara. Setidaknya terdapat dua isu. Pertama, soal penghitungan masa lima tahun bagi mantan terpidana. Dalam pertimbangan hukumnya, Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 140-PKE-DKPP/XI/2020 mengenai hasil pemilihan Bupati Boven Digoel senada dengan penghitungan KPU. Padahal dasar penghitungan KPU ini telah dibatalkan Badan Pengawas Pemilihan Umum dan kini bergulir di MK. Kedua, soal perbedaan tafsir pengujian kembali rekomendasi Badan Pengawas Pemilihan Umum oleh KPU.

Dalam konteks ini, harapan masyarakat bertumpu pada penggalian keadilan substantif pada putusan MK dalam mengurai benang kusut pelaksanaan poin-poin krusial ketentuan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat (erga omnes) serta mempunyai sifat negative legislator dapat menjadi interpretasi tunggal dalam pelaksanaan undang-undang tersebut dan dapat menjadi legitimasi hukum pelaksanaan pemilihan kepala daerah ke depan. Pertimbangan hukum putusan MK nantinya diharapkan memberi kejelasan dan mengurai persoalan ini secara tuntas.

Sholehudin Zuhri
Analis Hukum Komisi Pemilihan Umum

Dikliping dari artikel yang terbit di Koran Tempo https://koran.tempo.co/read/opini/462981/opini-akhir-sengketa-pemilihan-di-mahkamah-konstitusi-oleh-sholehudin-zuhri?