August 8, 2024

Kewenangan Tentukan Legalitas Kepengurusan Partai Mestinya di KPU

Jumat (5/3), beberapa mantan kader Partai Demokrat menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara. Pada KLB tersebut, terpilih Moeldoko yang menjabat Kepala Kantor Staf Presiden(KSP) pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai ketua umum Partai Demokrat versi KLB.

Menanggapi KLB Deli Serdang, Partai Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) membawa sengketa partai ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). KLB tak sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat 2020. Demokrat versi KLB Deli Serdang pun mengajukan sengketa hukum ke Kemenkumham.

Associate Professor Australian National University (ANU), Marcus Mietzner mengomentari hal tersebut. Menurutnya, wewenang untuk menentukan legalitas kepengurusan partai semestinya tak diberikan kepada kementerian yang merupakan bagian dari pemerintah, dan menterinya merupakan kader partai politik. Kasus kepengurusan ganda sebelumnya pada Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menunjukkan sikap Kemenkumham yang berpihak pada kepengurusan yang mendukung pemerintah.

“Itu menjadi alat untuk memaksakan penggantian pimpinan parpol supaya pimpinan itu berganti dari anti pemerintah menjadi pro pemerintah. Kasusnya, pada tahun 2015 dan 2016, dengan Golkar dan PPP. Dimana ada dua partai politik yang sebenarnya dari pimpinannya bersedia untuk mengisi peran sebagai partai oposisi, tapi karena ada manipulasi dari luar pimpinan, oposisi itu diganti dengan pimpinan yang pro pemerintah,” jelas Marcus pada diskusi “Kudeta Demokrat: Otoritarianisme Pemerintah?” Jumat (12/3).

Marcus menilai semestinya Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan masalah kepengurusan ganda. KPU lebih netral dan berhubungan langsung dengan penerimaan kepesertaan pemilu.

“Di negara lain tidak ada (pemerintah) yang punya kewenangan untuk menentukan siapa yang menjadi pimpinan legal dari suatu parpol. Yang harus menentukan siapa yang diterima sebagai representasi legal dari partai politik adalah KPU. Mereka yang putuskan mereka terima pendaftaran dari siapa,” tandas Marcus.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati sepakat dengan usulan Marcus. Untuk menyederhanakan proses dan melindungi partai politik dari kepentingan pemerintah atau partai politik yang berkuasa, baiknya KPU yang menampuk tugas menentukan legalitas kepengurusan partai politik.

“Memang serahkan saja ke penyelenggara pemilu. Kan mereka yang akan verifikasi kepesertaan. Daripada ada transaksi lagi. Beberapa waktu lalu, ketika Golkar atau PPP, sambil menunggu (proses di Kemenkumham), ada kabar SK (Surat Keputusan) kami (partai politik) tidak akan disahkan karena kami tidak setuju pada suatu kebijakan. Jadi, lepaskan saja dari otoritas Kemenkumham,” ujar Khoirunnisa.

Khoirunnisa juga menjelaskan bahwa di dalam Undang-Undang (UU) Partai Politik, perselisihan di internal partai semestinya diselesaikan melalui Mahkamah Partai sebelum menempuh proses hukum di Kemenkumham. Ada beberapa hal yang di dalam UU Partai Politik disebut dengan perselisihan, yakni perselisihan kepengurusan, pelanggaran hak anggota partai, pemecatan, penyalahgunaan wewenang, dan keuangan.

“Mekanismenya, parati politik sesuai AD/ART membentuk mahkamah partai. Fungsinya untuk menyelesaikan masalah di internal. Mahkamah partai harus didaftarkan ke kementerian. Kalau ada perselisihan, harus diselesaikan dalam waktu 60 hari, dan putusannya final dan mengikat kalau soal kepengurusan,” terang Khoirunnisa.

Jika mekanisme di mahkamah partai tak berhasil menyelesaikan perselisihan, maka barulah jalur pengadilan dapat ditempuh.

“Jadi, misal ketika ada KLB, harusnya diselesaikan di internal partai dulu. Karena, di pengadilan negeri akan mempertanyakan apakah sudah dilakukan mekanisme di mahkamah partai,” tukasnya.