August 8, 2024

Super Koalisi Berpotensi Munculkan Paslon Tunggal di Pilpres 2024

Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang didukung oleh 82 persen partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau koalisi super menimbulkan spekulasi munculnya pasangan calon (paslon) tunggal di Pemilihan Presiden 2024. Pasalnya, jumlah persentase perolehan kursi dua partai oposisi saat ini, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sosial (PKS) hanya 18 persen. Jumlah tersebut tak mencukupi ambang batas pencalonan presiden 20 persen kursi yang diatur di Pasal 222 Undang-Undang (UU) Pemilu No.7/2017.

“2024, ada kemungkinan besar kalau ada konsolidasi besar di koalisi yang besar, yang maju adalah calon tunggal. Apalagi kalau 90 persen (ditambah Partai Demokrat) dikuasai oleh satu koalisi besar,” kata Thomas Power, akademisi University of Sydney pada diskusi “Kudeta Demokrat: Otoritarianisme Pemerintah?” Jumat (12/3).

Di dalam UU Pemilu No.7/2017, paslon tunggal di Pilpres dimungkinkan. Pasal 235 ayat (6) mengatur bahwa dalam hal telah dilaksanakan perpanjangan pendaftaran selama 2 kali 7 hari masih terdapat satu paslon, maka tahapan pelaksanaan Pilpres tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan di UU.

Namun, ada pula syarat di Pasal 227 huruf i bahwa calon presiden atau wakil presiden mestilah orang yang belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua periode. Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 7. Dengan demikian, Joko Widodo tak dapat kembali mencalonkan diri sebagai calon presiden di Pemilu 2024.

Sebelumnya, pada diskusi yang sama, Thomas menyampaikan adanya kemungkinan super koalisi saat ini akan digunakan untuk mengamandemen konstitusi terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden. Jika hal tersebut terjadi, dan super koalisi sepakat mengusung Joko Widodo kembali, Indonesia tak lagi dapat disebut sebagai negara demokrasi, sebut Thomas.

“Ada beberapa kemungkinan. Pertama, Pak Jokowi mau maju untuk periode ketiga. Kalau pemerintah sudah kuasai kursi di DPR, sangat mungkin. Kalau koalisi itu kemungkinan besar menyetujui Pak Jokowi, dan Pak Jokowi jadi calon tunggal, Indonesia tidak bisa lagi disebut sebagai negara demokrasi,” imbuhnya.