January 31, 2025

Hasil PSU Berpotensi Disengketakan Kembali

Pada gelar sengketa perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan amar putusan yang berbeda dari putusan-putusan perselisihan hasil di pilkada-pilkada sebelumnya. Jika pada pilkada sebelumnya MK memerintahkan agar hasil pemungutan atau penghitungan suara ulang dilaporkan kepada MK dan MK menetapkan hasil perolehan suara yang benar, pada Pilkada 2020, pada permohonan yang dikabulkan sebagian, MK memutuskan agar hasil pemungutan atau penghitungan suara ulang tak harus dilaporkan kepada MK.

Dengan bunyi amar putusan tersebut, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asyarie meminta agar KPU Daerah betul-betul mencermati pemungutan dan penghitungan suara ulang. Hasil perolehan suara masing-masing pasangan calon (paslon) akan dituangkan di dalam Surat Keputusan yang baru, dan SK tersebut berpotensi menjadi objek hukum baru sengketa hasil di MK.

“Agar bersungguh-sungguh, cermat, hati-hati dan memedomani prosedur dalam melaksanakan pemungutan suara ulang atau penghitungan suara ulang, karena hasilnya yang dituangkan dalam “Keputusan baru” potensial dijadikan “obyek hukum baru” sengketa hasil di MK,” kata Hasyim dalam siaran pers yang disebarkan melalui Whats App (7/5).

Hasyim juga berpesan agar KPU Daerah menyiapkan anggaran kuasa hukum untuk bersiap menghadapi permohonan sengketa hasil pasca pelaksanaan pemungutan atau penghitungan suara ulang.

Lebih jauh, putusan MK yang meminta KPU untuk menerbitkan Surat Keputusan baru mengenai penetapan hasil rekapitulasi suara dan tak harus melaporkan kepada MK dinilai Hasyim sebagai praktek ketatanegaraan baru. Hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap hasil pemilu.

“Putusan MK PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) Pilkada 2020 adalah praktek ketatanegaraan baru, tidak ada regulasinya dan tidak ada dalam praktek ketatanegaraan sebelumnya, serta potensial menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap hasil pemilu. Karena itu KPU harus memberikan kepastian hukum terhadap hasil pemilu yang meliputi hasil berupa perolehan suara dan penetapan paslon terpilih,” ujar Hasim.

Sementara itu, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil berpendapat bahwa SK baru yang akan dikeluarkan KPU memang mungkin untuk kembali dipersoalkan ke MK. Namun, kali kedua ini MK tak akan membahas permasalahan secara keseluruhan, melainkan terbatas pada pelaksanaan pemungutan atau penghitungan suara ulang.

“Jadi, tidak lagi akan memeriksa kejadian atau proses yang di luar PSU (pemungutan/penghitungan suara ulang), sebab itu sudah selesai di putusan awal. Dan soal objek hukum baru, tentu menjadi suatu keadaan yang mesti dilakukan, sebab memang keadaan hukumnya sudah baru,” jelas Fadli kepada rumahpemilu.org (10/5).

Kepastian hukum, menurut Fadli, akan terwujud apabila pemungutan atau penghitungan suara ulang dilakukan secara profesional, dan apabila hasil pemungutan atau penghitungan suara ulang kembali disengketakan ke MK, MK hanya memeriksa proses pelaksanaan pemungutan atau penghitungan suara ulang.