Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi tentang keserentakan pemilu (9/6). Gugatan uji materi ini diajukan mantan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) pada Pemilu 2019. Pada sidang perdana ini, MK melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap perkara yang diregistrasi dengan nomor 16/PUU-XIX/2021.
“Hari ini kita akan memulai sidang pendahuluan untuk perkara ini. Kami Majelis akan mendengar pokok permohonan dan Majelis akan memberikan nasehat atau saran kepada pemohon,” kata Saldi Isra, hakim MK yang memimpin sidang (9/6).
Pada sidang tersebut, hadir pula hakim MK yaitu Enny Nurbaningsih dan Manahan MP Sitompul; pemohon yang hadir secara daring yaitu Akhid Kurniawan, Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan, Subur Makmur; serta kuasa hukum Fadli Ramadhanil dan Kahfi Adlan.
Uji materi tentang keserentakan pemilu ini adalah uji materi kedua setelah pada tahun 2019 Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan permohonan serupa. Bedanya, pada 2019 Perludem mendasarkan gugatannya pada ketidaksinkronan antara tujuan penyerentakan pemilu dengan hasil di lapangan. Sementara gugatan yang diajukan oleh mantan penyelenggara ad hoc ini mendasarkan gugatannya pada beban berat penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak.
MK meminta agar pemohon mempertajam dasar pengujian yang berbeda dengan permohonan sebelumnya. MK juga mempertanyakan kerugian hak konstitusional penyelenggara ad hoc ketika pemilu dilakukan secara serentak dengan model lima kotak seperti di Pemilu 2019. Menurut MK, alasan-alasan yang dikemukakan hampir tidak jauh berbeda dengan permohonan sebelumnya. Alasan penyelenggara yang sakit dan meninggal sudah dikemukakan pada permohonan sebelumnya.
“Ini pasal sudah pernah diuji dan Anda harus melewati ketentuan yang ada dalam Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 dalam PMK: Mencarikan dasar pengujian dan alasan konstitusionalitas yang berbeda,” tegas Saldi Isra (9/6).