August 8, 2024

Hak Pilih bagi Transgender

Hak pilih merupakan bagian dari hak asasi kita sebagai warga negara, apa pun latar belakang kita. Memilih adalah bagian penting dari partisipasi kita dalam pemilu. Dengan memilih, suara kita bisa didengar dalam isu-isu yang mempengaruhi kita semua. Orang yang kita pilih karena kesesuaian isu, akan mengubah isu itu menjadi kebijakan atau menyampaikan isu itu dalam proses pembuatan undang-undang.

Namun realitasnya hak memilih dan konsekuensinya tersebut, belum sesuai bagi kelompok transgender. Kelompok transgender mengalami berbagai hambatan hak pilih. Mulai dari kesulitan mendapatkan kartu identitas penduduk, penerimaan untuk tinggal di lingkungan secara tetap, kemudian tidak terdatanya kelompok transgender sebagai warga yang bermukim di suatu wilayah oleh petugas sehingga namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap, dan tidak mendapatkan surat undangan untuk memilih di tempat pemungutan suara dekat tempat tinggalnya.

Perbedaan jenis kelamin di kartu identitas dengan peran gendernya di masyarakat sosial menjadi masalah dalam partisipasi transgender dalam pemilu di seluruh dunia. Di negara maju sudah ada banyak kampanye yang mendorong transgender untuk turut memilih. Di Amerika Serikat, kampanye partisipasi transgender melibatkan tokoh publik dan selebriti.

Tantangan

Akses kelompok transgender dalam pemilu di Indonesia lebih rumit lagi. Kelompok transgender hampir setiap harinya harus menghadapi banyak tantangan yang disebabkan oleh diskriminasi sistemik. Mulai akses pendidikan, akses hukum, sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, dan lainnya. Sejak masa kecilnya, banyak individu transgender harus menghadapi pengucilan, serta kekerasan fisik dari sekolah. Tidak sedikit di antaranya yang berhadapan dengan pengusiran warga dan harus pergi dan terasingkan dari kampung halamannya. Belum lagi fasilitas publik yang tidak ramah bagi transgender.

Contoh kasus dalam Pilkada Kota Depok 2020. Dari 80 transgender yang tinggal dan memiliki Kartu Tanda Penduduk domisili Depok, hanya 35 yang mendapatkan surat undangan. Lalu, dari 35 ini hanya 5 transgender yang datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Sisanya, individu dari kelompok transgender tidak terdata di DPT. Di luar angka ini, ada satu yang menggunakan hak pilih setelah pukul 12 siang.

Hal tersebut terjadi, karena layanan publik belum ramah bagi kelompok transgender. Kurangnya pendidikan dan kesadaran memilih menambah keengganan transgender untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.

Rekomendasi

Dari permasalahan yang dialami kelompok transgender dalam pemilu tersebut, dibutuhkan berbagai solusi untuk menjamin hak pilih bagi kelompok transgender. Hal yang utama adalah pentingnya mensosialisasikan pendidikan seksual, orientasi seksual, gender, identitas, ekspresi, dan characteristic (SOGIESC) ke seluruh masyarakat. Dalam tahapan pemilu, sosialisasi SOGIESC ini penting bagi pegiat pemilu yang terlibat dalam partisipasi sebagai penyelenggara di tingkat Ad Hoc hingga level kepengurusan nasional.

Tujuan sosialisasi SOGIESC ini adalah untuk membentuk pemahaman terhadap kelompok transgender. Dengan ini, layanan penyelenggaraan pemilu menjadi ramah bagi kelompok transgender. Secara umum, masyarakat pun dapat lebih toleran ke kelompok dengan identitas yang beragam. Contoh pemahaman yang penting dipahami adalah, mengenai gender yang tidak sesuai dengan yang tertulis dalam kartu identitas, seharusnya tidak membuat hilangnya hak masuk pendataan pemilih dan tidak menghalangi penggunaan hak pilih.

Selanjutnya penyelenggara pemilu harus turut melibatkan perwakilan komunitas transgender. Ini penting dilakukan khususnya dalam partisipasi masyarakat sipil yang ikut memberi masukan pembuatan peraturan pemilu. Jika ini dilakukan, capaiannya bukan hanya pemilu yang lebih partisipatif tapi juga tercipta kebijakan yang sensitif dengan keberagaman identitas gender.

Kemudian, penting juga melibatkan kelompok transgender dalam sosialisasi dan pendidikan pemilu. Tiga lembaga penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu punya peran melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilu bagi masyarakat. Dengan melibatkan kelompok transgender dalam peran sosialisasi dan pendidikan pemilu akan tercipta bahasa dan sikap yang sesuai, yang dipahami kelompok transgender. Ini semua akan akan membuat kelompok transgender punya pemahaman pemilu yang lebih baik.

Lebih berdampak signifikan, jika kelompok transgender bisa terlibat menjadi penyelenggara pemilu. Ini bisa belajar dari afirmasi perempuan di penyelenggara pemilu. Saat perempuan lebih banyak menjadi penyelenggara pemilu, layanan hak pilih menjadi lebih baik bagi perempuan. Perempuan sebagai penyelenggara pemilu mengetahui apa yang menghambat perempuan tidak terdata sebagai pemilih, tidak tersampaikan informasinya, dan tidak bisa memilih.

Selain itu, rekomendasi yang lebih signifikan penting dilakukan pada tataran hak pilih untuk dipilih. Pemilu harus membuka peluang terlibatnya transngeder dalam pencalonan. Lagi-lagi, afirmasi perempuan bisa menjadi contoh yang baik untuk memahinya. Saat perempuan lebih banyak yang bisa mencalonkan sebagai peserta pemilu, perempuan makin banyak yang menyadari begitu pentingnya terlibat di pemilu.

Hasil pemilu adalah terpilihnya pejabat politik yang akan menghasilkan hukum dan kebijakan. Semakin terhubung calon dengan pemilihnya, termasuk dalam identitas gender, maka semakin terhubung pula keterpilihan pejabat politik oleh pemilih dengan hukum dan kebijakan yang inklusif dan memberdayakan.

Pemilu adalah pemilihan dalam demokrasi. Dari, oleh, dan untuk rakyat diselenggarakan melalui pemilihan yang menyamakan dan menyetarakan nilai setiap individu warga dengan satu suara, tanpa kecuali. One person, one vote, one value, pun begitu bagi individu transgender. []

RIKKY MF.