Kekuasaan adalah persoalan klasik yang selalu menarik dibicarakan dan tidak pernah selesai-selesai. Karena kekuasaan menjadi begitu penting dalam kehidupan bermasyarakat, ada kekuasaan dalam kelompok kecil, sedang dan berskala besar. Semuanya memiliki pengaruh sesuai gesturnya. Bila suatu masyarakat negara lemah dan berantakan maka sebabnya kekuasaan dan kekuasaan pulalah yang membuatnya kuat dengan tata kelola yang baik. Kekuasaan bisa menindas, rakyat jadi terbelakang dan miskin, dan kekuasaan pula yang memerdekakannya, menjadi maju dan sejahtera.
Oleh karenanya kita mengenal jenis kekuasaan, ada kekuasaan monarki, tiran, aristokrasi, timokrasi, kleptokrasi, plutokrasi, aristokrasi, mobokrasi, maupun oligarki dan demokrasi, tergantung jalan mana karena pada akhirnya berdampak untuk keadilan dan kesejahteraan, atau sebaliknya penindasan dan penderitaan.
Beberapa pekan terakhir ini, mencuat isu kekuasaan puncak di Negara kita, heboh presiden tiga periode dengan terbentuknya Komunitas JokPro, makin ramai lagi setelah Komite Jokowi tiga periode dideklarasikan di Kupang, yang menyuarakan duet Jokowi-Prabowo pada Pemilu 2024 mendatang, dengan alasan agar tidak terjadi polarisasi masyarakat seperti Pemilu 2019. Ada juga klaim, hasil survey 40 persen masyarakat dukung Jokowi 3 periode. Kelompok lain pun bereaksi melaporkannya ke kepolisian. Namun mereka juga menyadari sebetulnya bahwa itu semuanya harus konstitusional melalui Amandemen UUD 1945. Sebab tanpa itu, isu pikiran hanya bualan semata.
Hadirnya perubahan Pasal 7 UUD 1945 sebenarnya dianggap mengakhiri perdebatan yang sebelumnya berkecamuk, dengan membatasi hanya dua kali masa jabatan. Seiring perubahan waktu, ternyata kembali mengemuka, di masa Presiden SBY isunya tiga periode Presiden menjabat, bahkan tembus parlemen disuarakan beberapa fraksi. Sesungguhnya di kalangan akademisi juga ada yang setuju amandemen kelima dilakukan dan ada pula yang menolak. Ini wajar saja selama disertai data, fakta dan argumentasi yang bertanggungjawab.
Pribadi saya menanggapi sedari awal isu ini, paling tidak ada dua sasaran yang digaet untuk mengetahui tanggapan masyarakat dan ingin melihat jelas sikap parpol di DPR-MPR apakah peluang Amandemen UUD 1945 terbuka.
Ada dua pertanyaan awal yang perlu diajukan. Pertama : apakah pasal 7 UUD 1945 terkait masa jabatan Presiden terutama bagi yang menghembus isu ini memahami dan menyadarinya? Melihat kapasitasnya tentu lebih paham dan sangat sadar. Kedua : Lantas apa maksudnya? Ini penting, dan demokrasi kita menyediakan ruang untuk itu, apalagi menghadapi Pemilu dan Pemilihan yang diselenggarakan serentak tahun 2024, relasinya kuat, dengan dinamika yang cukup tinggi meliputinya.
Bila kembali dengan membuat perbandingan. Sebelum Amandemen Pasal 7 bunyinya “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Setelah Amandemen pertama Pasal 7 menjadi Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Kalimat “dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan” harus ditekankan.
Perlu dipahami isi pikiran perdebatan waktu itu, menurut salah satu pelaku AM. Fatwa (Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945: 2009): Perubahan pasal ini dilatarbelakangi oleh praktik ketatanegaraan kita selama berpuluh-puluh tahun tidak pernah mengalami pergantian presiden. Terjadinya hal tersebut disebabkan oleh rumusan Pasal 7 UUD Tahun 1945 sebelum diubah yang memang menimbulkan tafsiran yang beragam, antara pendapat yang menyatakan bahwa presiden dapat menjabat berkali-kali dan pendapat yang menyatakan bahwa presiden hanya dapat menjabat dua kali.
Lanjut AM. Fatwa, belajar dari pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, dilakukan perubahan sehingga dengan rumusan Pasal 7 itu, periode masa jabatan presiden dan wakil presiden sudah ditentukan dan dibatasi, yakni bisa dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Dengan demikian, presiden dan wakil presiden hanya dapat menjabat maksimal dua kali masa jabatan.
Rekam jejak, baik Soekarno dengan Orde Lamanya maupun Soeharto dengan Orde Barunya, awal-awal kekuasaan masih berjalan on the track, lama-lama lupa diri, otoritariannya muncul. Bibitnya bermula dari menafsirkan isi konstitusi “dan sesudahnya dapat dipilih kembali” sebagai seseorang dapat menjabat Presiden sangatlah bergantung pada MPR. Jadi , tidak perlu dibatasi, asal masih dipilih oleh MPR ia dapat terus menjabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Hasil kajian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) waktu itu, masih relevan menyatakan bahwa hasil perubahaan UUD 1945 telah mengadopsi sistem presidensil dan mencoba menerapkan itu, walaupun belum secara total.
Memang kekuasaan perlu dibatasi dan dikontrol. Sebab kecenderungan sewenang-wenang selalu muncul kapan saja. Jadi kekuasaan presidensil pun perlu dibatasi.
Menurut Jimly, ciri penting sistem pemerintahan presidensiil adalah; 1. Masa jabatan tertentu, misalnya 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun atau 7 tahun, sehingga Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya karena alasan politik; 2. Presiden dan Wakil Presiden langsung bertanggung jawab kepada rakyat; 3. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung, atau melalui perantara tertentu yang tidak bersifat perwakilan permanen tertentu; 4. Presiden tidak tunduk pada Parlemen, sekaligus tidak dapat membubarkan Parlemen; 5. Tidak dibedakan adanya fungsi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan; 6. Tanggungjawab pemerintahan berada di pundak Presiden dan oleh karena itu Presidenlah yang berwenang membentuk pemerintahan.
Dalam konteks demokrasi, kekuasaan berkaitan dengan peran politik seseorang yang harus ditempuh dengan cara-cara yang lazim dan wajar. Dalam konteks negara demokrasi, maka kekuasaan bukan merupakan pemberian atau warisan akan tetapi proses yang melibatkan seluruh elemen ketika berkompetisi. Disamping melibatkan partai politik, pemerintah, penyelenggara Pemilu, perguruan tinggi, juga NGO, ormas dan masyarakat umum.
Negara Indonesia sejak awal memilih demokrasi ini, meskipun prakteknya banyak kelemahan bahkan kontra produktif dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi pancasila sebagaimana kepribadian dan falsafah hidup pancasila, bukan demokrasi cangkokan dan jiplakan. Sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial di mana presiden yang menjadi kepala negara. Presiden mendapat mandat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum yang diselenggarakan satu kali dalam lima tahun.
Sebetulnya tidak ada yang lebih baik di antara sistem pemerintahan yang dianut dari tiap-tiap negara. Begitu pun mengenal Indonesia akan kembali kepada bangsa dan Negara Indonesia sendiri. Bagaimana negara mampu membawa indonesia ke arah yang sesuai dengan tujuan dan cita-citanya, yang selalu dalam semangat pancasila dan demokrasi dalam negaranya sendiri. []
WARDIN
Pemerhati Hukum dan Demokrasi