November 27, 2024

Intimidasi dan Pengusikan Hak Memilih di Pemilu Indonesia

Voter suppression paling gamblang terlihat dalam bentuk intimidasi—baik secara halus maupun agresif.

Intimidasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan pengaruh untuk menekan seseorang agar memilih atau tidak memilih. Intimidasi dapat mengambil banyak bentuk, baik secara halus maupun agresif. Bentuk-bentuk intimidasi yang halus antara lain dapat berupa gerak tubuh atau kata-kata yang dilontarkan saat menjelang pemungutan suara, penggunaan atribut partai atau kandidat di tempat pemungutan suara, atau narasi-narasi yang menyudutkan kelompok minoritas. Sementara bentuk-bentuk intimidasi yang agresif antara lain dapat berupa ancaman fisik serta ancaman ekonomi—seperti ancaman kehilangan pekerjaan, penghasilan dari shift kerja, atau jabatan.

Sementara pengusikan hak pilih (challenge to right to vote) dapat didefinisikan sebagai upaya penyalahgunaan wewenang untuk mempertanyakan eligibilitas seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih atau memberikan suara.

Intimidasi dan pengusikan hak pilih bertaut erat dengan adanya relasi pengaruh dan kuasa. Pihak yang punya pengaruh dan kuasa lebih kuat melakukan intimidasi terhadap kelompok rentan yang punya pengaruh dan kuasa lebih lemah atau tidak punya kuasa sama sekali.

Ada tiga kasus intimidasi dan pengusikan hak memilih yang mencuat selama Pemilu 2019 dan Pilkada 2020

Intimidasi dengan pelintiran kebencian

Pada konteks Indonesia, kelompok minoritas atau kelompok rentan diintimidasi secara halus dengan dijadikan objek pelintiran kebencian. Pelintiran kebenciaan adalah penghinaan dan ketersinggungan yang sengaja diciptakan dan digunakan sebagai strategi politik yang mengksploitasi identitas kelompok guna memobilisasi pendukung dan menekan lawan politik. Pelintiran ini dilakukan oleh elite politik yang memanipulasi emosi-emosi terdalam masyarakat dengan menggunakan teknik-teknik persuasi—dari retorika biasa hingga penggunaan fitur dalam media sosial. Elite politik ini termasuk pemimpin organisasi politik, pemimpin agama, bahkan pejabat pemerintahan yang diuntungkan dengan menyamarkan upaya mereka mencari kekuasaan di balik kedok sentimen populer berbasis identitas (George, 2017).

Dari penelusuran terhadap daftar pengecekan fakta pada website cekfakta.com—proyek kolaboratif MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dan beberapa media online yang tergabung di AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan AMSI (Asosiasi Meda Siber Indonesia)—dapat dikemukakan bahwa konten-konten pelintiran kebencian yang berbasis sentimen agama lebih banyak dibandingkan sentimen yang lain (17 konten). Konten yang memuat pelintiran kebencian berbasis sentimen ras ditemukan sebanyak 15 konten; dan berbasis sentimen terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender sebanyak 6 konten.

Masifnya narasi pelintiran kebencian dan perlakuan yang memojokkan kelompok rentan ini berpotensi menghilangkan hak pilih. Sebagai contoh, kelompok transgender mengaku segan dan tidak mau memilih sebab tak ada kandidat di Pilkada yang menunjukkan keberpihakan atau perlindungan kepada transgender. Kebencian terhadap transgender justru menjadi jualan politik para kandidat untuk meraup simpati pemilih yang masih menganggap LGBT bertentangan dengan nilai agama dan moral (Dominicha, 2021).

Pengusikan hak memilih orang dengan gangguan jiwa.

Pengusikan hak memilih di Pemilu Indonesia paling banyak terjadi pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang distigma sebagai orang gila pada Pemilu 2019. Salah satu yang paling mengemuka adalah serangkaian cuitan akun Twitter dengan jumlah pengikut lebih dari 600.000 yang menyerang hak pilih ODGJ. Pada tanggal 23 April 2019, juru kampanye salah satu pasangan calon tersebut mencuit,

“Katanya org gila nyoblos ada 13juta. Trus ada video nya? Ada catatannya? Ada formulir C1 nya? Masa gak ada yg rekam? Mana 13 juta itu?”

“Allah saja tak memberi kewajiban apa2 thd orang gila… anda malah waiibkan ikut nyoblos. Yg gila siapa ya? Mudah2an yg curang menjadi gila…”

Sehari setelah tayang, cuitan tersebut telah di-retweet sebanyak 4.489 kali dan menuai lebih dari 1.500 komentar (Juliati, 2019). Cuitan itu kini sudah dihapus.

Hak pilih orang dengan gangguan jiwa sebetulnya telah dijamin oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK No. 135/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.”

Namun, elite politik memulai wacana dengan mempertanyakan eligibilitas orang dengan gangguan jiwa untuk memilih. ODGJ dijadikan komoditas politik yang berdampak pada stigma dan perundungan yang meluas di publik pada Pemilu 2019. Padahal, di Pemilu 2014, tidak ada tanggapan negatif dari masyarakat umum (Damayanti, 2021).

Tak sampai di situ, pelintiran kebencian terhadap ODGJ juga memengaruhi penyelenggara pemilu yang tidak memiliki pemahaman cukup baik terkait hak pilih disabilitas mental. Disinformasi yang disertai dengan pelintiran kebencian membuat penyelenggara pemilu ragu dalam mendaftarkan hak pilih disabilitas mental. Di Bekasi pada Pemilu 2019, penghuni panti rehabilitasi yang tak memiliki KTP elektronik tak difasilitasi oleh KPU Daerah. Padahal semestinya, KPU Daerah dapat bertindak cepat melakukan pengecekan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Dukcapil dan mengurus surat pindah memilih bagi pemilih disabilitas mental yang berbeda domisili. Tindakan cepat penyelenggara pemilu dapat menyelamatkan hak pilih disabilitas mental yang terbatas mobilitas. Banyak pemilih disabilitas mental yang tak diizinkan keluar panti untuk mengurus kartu identitas, apalagi mengurus surat pindah memilih sebagai syarat memilih.

Intimidasi terhadap pekerja pabrik

Pada Pilkada 2020, ditemukan kasus intimidasi yang menghilangkan hak memilih dengan menggunakan ancaman ekonomi. Intimidasi ini dilakukan oleh perusahaan pertambangan kepada pekerja saat hari pemungutan suara Pilkada Halmahera Utara. Peristiwa ini bermula dari ketiadaan fasilitas TPS yang dapat dijangkau oleh 632 pekerja dan mitra kerja PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) berhak pilih. PT NHM meminta KPU Halmahera Utara untuk mendirikan TPS di sekitar lokasi tambang Gosowong, sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya, untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19.

Menanggapi permintaan tersebut, KPU Halmahera Utara menyelenggarakan rapat bersama dengan Bawaslu Kabupaten Halmahera Utara, Badan Kesbangpol Kabupaten Halmahera Utara, Gugus Tugas Penanganan Covid-19, PT NHM, serta Liaison Official dari pasangan calon pada tanggal 7 Desember 2020. Keputusan rapat tersebut tertuang dalam Berita Acara Nomor 397/PL.02.1-BA/8203/KPU-Kab/XI/2020.

Keesokan harinya, dilaksanakan rapat evaluasi persiapan penyelenggaraan pemilihan. Rapat tersebut menyepakti bahwa permintaan untuk membentuk TPS di lingkungan PT NHM tidak bisa dilaksanakan karena dianggap rawan dan tidak ada dasar hukum untuk mendirikan TPS khusus di area pertambangan.

Pekerja PT Nusa Halmahera Minerals yang terdaftar dalam DPT pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Halmahera Utara tetap dapat menggunakan hak pilihnya pada TPS tempat pekerja terdaftar dalam DPT. PT NHM juga wajib meliburkan semua pekerja agar pekerja dapat memberikan hak pilihnya di TPS tempat pekerja terdaftar. Hari pemungutan suara telah ditetapkan sebagai hari libur berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2020 tentang Hari Pemungutan Suara Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota Tahun 2020.

Namun, berdasarkan penuturan Hanny Nina, pekerja PT NHM yang sudah bekerja selama 27 tahun, PT NHM tidak meliburkan pekerjanya. Hal ini mengakibatkan sebanyak 105 pekerja yang berhak pilih tidak dapat memberikan hak pilihnya karena tetap diwajibkan bekerja sesuai dengan rotasi kerja (shift). Pekerja juga tidak bisa meninggalkan tempat kerja untuk sementara karena PT NHM mewajibkan tes usap mandiri untuk keluar masuk tempat kerja di luar waktu yang sudah ditentukan dan menuggu sekitar tiga hari untuk mendapatkan hasilnya.

Hal tersebut menjadi salah satu dalil permohonan perselisihan hasil Pilkada Halmahera Utara 2020 yang diajukan Joel B. Wogono dan Said Bajak—pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut dua—ke MK. Perolehan suara Joel B. Wogono dan Said Bajak sebanyak 50.078. Perolehan itu terpaut 619 suara (0,61 persen) dari Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi yang memperoleh suara sebanyak 50.697.

MK dalam putusan No. 57/PHP.BUP-XIX/2021 193 menilai perusahaan yang tidak meliburkan beberapa pekerja pada hari pemungutan suara dan mengakibatkan tidak dapat memberikan hak pilih telah mencederai hak pilih pekerja sebagai warga negara dalam memberikan hak pilih. Salah satu hak konstitusional warga negara adalah hak untuk memilih (right to vote) dan hak tersebut dijamin oleh konstitusi, undang-undang, maupun konvensi internasional. Sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.

MK juga menilai peraturan KPU No 8/2018 yang menentukan bahwa TPS khusus hanya dapat dibentuk di rumah sakit dan rumah tahanan dapat dikesampingkan karena ada kondisi pandemi Covid-19. Untuk memenuhi hak pilih pekerja yang belum memberikan suaranya dan dalam rangka melindungi hak pilih warga negara untuk memberikan suara dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara Tahun 2020, perlu dibuat TPS khusus yang berada di lingkungan PT Nusa Halmahera Minerals. Pembentukan TPS khusus tersebut dilakukan melalui koordinasi antara KPU Kabupaten Halmahera Utara dan PT Nusa Halmahera Minerals, termasuk dalam melakukan validasi terhadap data-data karyawan yang terdaftar di dalam DPT.

MAHARDDHIKA & NURUL AMALIA SALABI

Kami memetakan bentuk-bentuk voter suppression atau gangguan terhadap hak memilih di Pemilu Indonesia. Tulisan ini adalah tulisan ketiga dari seri tersebut. Simak tulisan-tulisan pada seri ini: