January 24, 2025

Menyoal Penjabat Kepala Daerah OLEH MOCH NURHASIM

Dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, pemerintah dan DPR telah bersepakat bahwa tidak akan ada pilkada pada 2022 dan 2023.

Penyatuan pilkada serentak dilakukan pada November 2024, sebagaimana disebut pada Pasal 201 UU No 10 Tahun 2016. Peniadaan pilkada serentak 2022 dan 2023 ini menyebabkan pemerintah harus mengisi 272 jabatan kepala daerah agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan pada pemerintahan daerah.

Peniadaan pilkada serentak 2022 dan 2023 sempat menimbulkan perdebatan dalam proses legislasi nasional. Wacana perubahan UU No 10 Tahun 2016 mencuat seiring dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019. Putusan ini memaknai pemilu serentak (legislatif, presiden, dan pilkada) yang konstitusional.

Isu perubahan UU Pilkada salah satunya berkaitan dengan penjabat kepala daerah yang waktunya dianggap terlalu panjang, berkisar 2-3 tahun. Kekhawatiran yang mengemuka, panjangnya masa jabatan penjabat kepala daerah berdampak buruk bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah, apalagi pada tahun 2024 Indonesia akan menghadapi agenda politik strategis, pemilu nasional dan pilkada secara bersamaan.

Opsi pengisian penjabat

Secara konseptual, pengisian penjabat kepala daerah dibagi menjadi dua, yakni untuk jabatan gubernur yang akan diduduki oleh jabatan pimpinan tinggi madya, sementara untuk jabatan bupati/wali kota diisi dari jabatan pimpinan tinggi pertama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 201 UU No 10 Tahun 2016 terlalu ”sumir” mengatur tata cara dan mekanisme pengisian penjabat gubernur, bupati, dan wali kota.

Peniadaan pilkada serentak 2022 dan 2023 sempat menimbulkan perdebatan dalam proses legislasi nasional.

Dalam penjelasannya hanya disebut ”… Penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota masa jabatannya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun berikut dengan orang yang sama/berbeda…”. Tidak ada penjabaran bagaimana cara pengisiannya?

Bagaimana mekanismenya? Apakah kewenangannya sama dengan posisi gubernur, bupati, dan wali kota hasil pilkada serentak? Apakah jabatan pimpinan tinggi madya dan pratama hanya berasal dari sipil ataukah militer (TNI) dan kepolisian?

Kekosongan pengaturan akan selalu menimbulkan perdebatan akademik di satu sisi, dan menimbulkan efek tarik-menarik secara politik. Perdebatan akademik mempersoalkan adanya potensi dan peluang ”hak prerogatif” pemerintah pusat dalam pemaknaan sempit secara politis dalam penentuan penjabat kepala daerah.

Desain pengisian penjabat kepala daerah seperti disinyalir oleh Mendagri, di mana Presiden akan memilih tiga nama penjabat gubernur yang diusulkan oleh Kementerian Dalam Negeri, seharusnya bukan opsi tunggal.

Perlu ada opsi lain yang jauh lebih demokratis, sebagai konsekuensi logis bahwa kepala daerah adalah pejabat publik yang dipilih oleh masyarakat secara langsung. Penggantian penjabat, meskipun sifatnya ”sementara”, dengan masa baktinya hampir separuh dari kepala daerah dalam pilkada langsung, idealnya digantikan oleh mekanisme dan cara yang sebanding, sama-sama demokratis.

Artinya, mekanisme penentuan penjabat kepala daerah tak semata-mata dimaknai secara sepihak sebagai kewenangan pusat tanpa melibatkan daerah. Alasannya, Indonesia menganut prinsip demokrasi dan desentralisasi dalam sistem pemerintahan negara kesatuan (unitary state).

Semangat itu tecermin pada Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan, ”… Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis…”.

Frasa demokratis ini bisa juga berlaku dalam penentuan penjabat yang akan menggantikan kedudukan yang sama, apalagi hingga saat ini belum ada peraturan lain yang menjabarkan mandat dari Pasal 201 UU No 10 Tahun 2016.

Makna demokratis menurut konstitusi berkaitan dengan pelibatan kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi yang kita anut. Bagaimana ketika pilkada tidak diselenggarakan, apakah ada mekanisme demokratis lain yang bisa menjadi alternatif. Terhadap hal ini, ada tiga opsi yang bisa dipilih pemerintah.

Pertama, pengusulan penjabat gubernur, bupati, dan wali kota dilakukan secara demokratis, tetapi terbatas. Keterbatasan ini dapat dimaknai bahwa pemilu serentak 2019 telah menyediakan perwakilan atas kedaulatan rakyat di setiap parlemen lokal (DPRD).

Bagaimana ketika pilkada tidak diselenggarakan, apakah ada mekanisme demokratis lain yang bisa menjadi alternatif?

Sebagai ganti dari demokrasi langsung, demokrasi perwakilan bisa menjadi alternatif, di mana parlemen lokal (DPRD) menjaring nama-nama calon penjabat gubernur yang kemudian diusulkan kepada Presiden melalui Mendagri. Sementara untuk penjabat bupati dan wali kota, parlemen lokal (DPRD) menjaring nama-nama calon penjabat bupati/wali kota yang diusulkan kepada Mendagri.

Kedua, pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, bersama-sama dengan parlemen lokal membentuk panitia ad hoc yang bertugas menjaring nama-nama penjabat gubernur, bupati, dan wali kota yang akan menduduki jabatan gubernur, bupati, dan wali kota untuk periode yang telah ditetapkan. Panitia ad hoc semacam ini sudah lazim dalam pengisian jabatan di kementerian dan lembaga, dan tak bertentangan dengan konstitusi.

Ketiga, model kombinasi antara hak suara pemerintah pusat sekitar 30 persen seperti dalam pemilihan rektor, dan sisanya diserahkan kepada parlemen lokal sebagai salah satu mekanisme alternatif untuk pengisian penjabat kepala daerah. Calon yang maju akan dipilih oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dan parlemen lokal (DPRD provinsi dan DRPD kabupaten/kota).

Ketiga pola pengisian jabatan kepala daerah tersebut jauh lebih memenuhi unsur frasa demokratis sebagaimana dimaksud Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945. Argumentasinya jelas, sesuai dengan Pasal 1 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yakni kedaulatan rakyat dimaknai sebagai ”kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.

Meskipun dalam prosesnya tidak ada jaminan terbebas dari distorsi dan penyimpangan politik, semangatnya adalah untuk mengembalikan semua tatanan dan konsep tata kelola pemerintahan pada konstitusi.

Hal itu akan menghindarkan kegaduhan politik, menjaga wibawa pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, menghindarkan konflik kepentingan dan bias politik nepotisme.

Melalui proses yang demokratis itu, siapa pun yang terpilih sebagai penjabat telah lulus uji prosedur birokratis, baik dari sisi proses maupun tahapan pemilihan.

Tata cara itu bisa jadi jaminan apabila ada gugatan uji materi (judicial review) atas peraturan yang dikeluarkan presiden, sekaligus mencegah latar belakang penjabat terpilih (sipil atau militer/kepolisian) yang kurang sesuai karena prosesnya dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Argumentasi proses juga bisa menjadi sandaran bahwa semangat pengisian penjabat gubernur, bupati, dan wali kota sesuai dengan mandat konstitusi, dilakukan secara demokratis.

Kewenangan ”terbatas”

Selain soal pengisian penjabat gubernur, bupati, dan wali kota, isu lain yang juga penting ialah seberapa besar kewenangan penjabat tersebut? Wacana penjabat kepala daerah yang periode berkuasanya terlalu lama memerlukan perubahan batas kewenangannya.

Memang tidak bisa seluas kewenangan pemerintah daerah terpilih melalui pilkada sebagaimana diatur dalam UU No 23 Tahun 2014, tetapi tetap perlu kejelasan kewenangan.

Mengantisipasi tahun politik pada 2024 dengan dua agenda politik strategis, yakni pemilu nasional serentak dan pilkada serentak, serta tuntutan peran dan fungsi pemerintahan daerah dalam pemenuhan kewenangan wajib (fungsi dasar dan pembangunan), kewenangan ”terbatas” penjabat tidak boleh abu-abu.

Kejelasan kewenangan tidak hanya mendorong tata kelola pemerintah daerah yang demokratis, transparan, dan akuntabel, tetapi juga memberikan kepastian, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang penjabat kepala daerah. Kepastian kewenangan, sekalipun terbatas sifatnya, dapat mencegah timbulnya politisasi birokrasi dan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pemerintahan daerah.

Moch Nurhasim, Peneliti pada Pusat Riset Politik-BRIN

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi  di halaman 6 dengan judul “Menyoal Penjabat Kepala Daerah”. https://www.kompas.id/baca/opini/2021/10/07/menyoal-penjabat-kepala-daerah/