Banyak dari masyarakat hingga pegiat pemilu merespon skeptis terhadap netralitas tim seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Timsel dipertanyakan karena diisi sejumlah orang yang diduga berhubungan erat dengan pemerintah dan partai politik tertentu. Tudingan dibantah oleh tim seleksi yang menyebut keputusan mereka akan diambil secara bersama-sama, tanpa didominasi satu atau dua orang anggota. Adapun DPR, yang juga akan berperan dalam penyiapan berbagai hal terkait pemilu, menjamin para komisioner baru KPU tidak dapat main mata dan menguntungkan pihak tertentu.
Tapi, kenyataannya memang, ada sejumlah masalah yang pantas jadi dasar kita menggugat Timsel KPU Bawaslu ini.
Yang pertama merupakan hal yang paling mencolok. Presiden Joko Widodo yang menjadikan Juri Ardiantoro sebagai Ketua Tim Seleksi anggota KPU Bawaslu. Juri memang punya rekam jejak di bidang kepemiluan. Ia pernah menjabat sebagai anggota KPU periode 2012-2017. Namun netralitas Juri sebagai pimpinan tim seleksi diragukan. Dirinya pernah terlibat dalam Tim Kampanye Joko Widodo-Ma`ruf Amin pada Pemilu Presiden 2019.
Kedua. Dari 11 anggota Timsel, lima orang di antaranya memiliki jabatan struktural yang bertanggung jawab terhadap presiden. Sampai tulisan ini dibuat, belum ada respon dari Juri Ardiantoro, Bahtiar, Edward Omar Sharif Hiariej, dan Poengky Indarty. Keempat nama dimaksud menjabat dalam jabatan struktural yang berada di bawah dan bertanggungjawab terhadap Presiden. Tentu saja, hal ini akan dapat menambah dugaan yang berpotensi mengganggu penilaian masyarakat atas independensi Timsel.
Ketiga. Dari 11 nama anggota Timsel terdapat empat nama dari pemerintah. Keempat nama itu adalah Deputi IV KSP Juri Ardiantoro, Dirjen Polpum Kemendagri Bahtiar, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej, dan Komisioner Kompolnas Poengky Indarty. Padahal jika dilihat Pasal 22 ayat (3) UU 7/2017 tentang Pemilu, syarat Timsel KPU-Bawaslu terdiri atas tiga orang unsur pemerintah, empat orang unsur akademisi, dan empat orang unsur masyarakat. Artinya, pengangkatan Timsel empat orang unsur pemerintah tidak sejalan dengan amanat undang-undang pemilu.
Negara ruang etika
Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Alfred Stepen (Stepan, 2000). Demokrasi bukanlah sekedar menyediakan prosedur standar. Demokrasi juga tentang upaya negara memberikan ruang yang sama bagi kelompok-kelompok berbeda untuk mengaktikulasikan kepentingan. Selain itu juga negara harus mendorong keterlibatan kelompok marjinal dalam pengambilan keputusan kehidupan bersama. Proses demokratis seperti ini memungkinkan lahirnya kebijakan yang adil dan inklusif bagi setiap warga Negara.
Dengan mengangkat pimpinan tim seleksi yang pernah terlibat dalam Tim Kampanye Joko Widodo-Ma`ruf Amin pada Pemilu Presiden 2019 artinya pemerintah abai terhadap etika yang paling fundamental dalam mengelola negara demokrasi. Etika memberikan kita penilaian pantas atau tidak pantas, baik atau tidak baik, etis atau tidak etis. Ketika seseorang mengabaikan etika sebagai sebuah prinsip dasar, maka seseorang itu secara otomatis melanggar sebuah kesepakatan bersama. Pelanggaran moral itulah yang membuat seseorang akhirnya berbuat sewenang-wenang dan tidak peduli lagi terhadap sebuah aturan tertulis.
Menurut hemat penulis, demokrasi sering disalah artikan sebagai sebuah kebebasan mutlak, sehingga inilah yang akhirnya membuat orang bertindak sewenang-wenang. Tantangan baru muncul ketika etika yang menjadi garda terdepan untuk membuka jalan menuju sebuah kebaikan bersama yang hakiki menjadi terabaikan oleh kebebasan individu yang rakus dan tamak terhadap kekuasaan. Penguasa merasa bisa melakukan apa saja yang penting bisa memuaskan hasrat dan kepentingan individu dan kelompoknya.
Kita bisa ambil penjelasan Rachels (2004) tentang tindakan manusia yang dimotivasi oleh kepentingan diri yang disebut sebagai sebuah egoisme. Egoisme terkadang dapat menimbulkan konflik, karena egoisme membuat orang lain merasa dirugikan. Namun pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik. Hal inilah yang perlu dijadikan sebuah pertimbangan mengapa etika seharusnya dapat mengontrol ritme demokrasi agar menjadi sebuah kebaikan bersama yang hakiki.
Dalam praktiknya, etika memiliki substansi dan fondasi yang jelas guna mengatur sebuah tata kelola masyarakat secara tidak tertulis. Etika mengarah terhadap kesadaran individu dengan hati nurani. Sebaliknya, hukum adalah sebuah paksaan.
Berdasar etika dan hukum, Ketua Timsel mantan Timses Pilpres dan empat anggota menjabat jabatan struktural pemerintah, merupakan pelanggaran etika dan hukum sekaligus. Pemerintah serta menabrak UU pemilu dengan mengangkat timsel unsur pemerintahan yang tidak sesuai dengaan amanat UU pemilu. Persoalan ini kemudian menimbulkan tafsiran bahwa kecurangan pemilu sudah dimulai sejak pembentukan Timsel anggota KPU Bawaslu.
Opini publik bisa terus terbangun sampai pada saat proses sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi. Yang kalah akan mudah menuduh pihak lawan dengan beberapa item persoalan di atas.
Bagi penulis, terlepas dari pemilu itu harus Jurdil, hal yang tidak kalah penting adalah membangun opini publik dan meyakinkan masyarakat dan semua pemangku kepentingan bahwah perhelatan pesta demokrasi akan berlangsung secarah fair, terbuka/transparan, dan tanpa campur tangan dan intervensi dari pemerintah, baik elite pemerintahan dan partai politik yang berkuasa.
Jika pengangkatan Timsel sesuai dengan undang-undang dan amanat publik maka perhelatan Pemilu Serentak 2024 akan menjadi perhelatan yang bukan saja Jurdil tapi juga keberkahan bagi Indonesia. Yang menang tidak jumawa dan yang kalah juga mengakui kekalahannya. Semua menyadari bahwah yang menang sesungguhnya adalah masyarakat Indonesia.
Masih ada waktu pemerintah untuk melakukan perbaikan dari komposisi Timsel di atas. Hanya dengan jalan perbaikan dengan bersumber pada etika dan hukum bersama kita mampu melewati ruang gelap demokrasi menuju Pemilu 2024 yang Jurdil. []
NASARUDIN SILI LULI
Pegiat Kebangsaan dan Kenegaraan