Senin malam, 14 Februari 2022, Komisi Pemilihan Umum (KPU) meluncurkan Hari Pemungutan Suara Pemilu Tahun 2024 secara nasional. Pengumuman hari H pesta demokrasi ini diikuti KPU provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pimpinan partai politik, dan pihak terkait secara daring. Dari sekian banyak hal yang didiskusikan peserta forum itu, ada satu yang ingin penulis ulas, yaitu alokasi kursi DPRD. Pertanyaannya, “bagaimana dengan daerah pemilihan (dapil) DPRD kabupaten/kota dan alokasi kursi Pemilu tahun 2024?”
Kita maklum, dapil DPR dan DPRD provinsi, tidak mengalami perubahan. Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 tentang Pemilu telah terang benderang menetapkan dapil untuk pemilu DPR dan DPRD provinsi sebagaimana tercantum dalam lampiran III dan Lampiran IV undang-undang tersebut.
Namun, Pasal 195, mengamanahkan kepada KPU untuk menyusun dan menetapkan dapil DPRD kabupaten/kota, yang terdiri dari kecamatan atau bagian kecamatan atau gabungan kecamatan yang dibentuk sebagai kesatuan wilayah berdasarkan jumlah penduduk untuk menentukan alokasi kursi DPRD kab/kota sebagai dasar pengajuan caleg oleh partai politik, dan penetapan calon terpilih.
Ada tujuh prinsip penataan dapil yang wajib dipatuhi oleh KPU kabupaten/kota dalam menyusun alternatif usulan penataan dapil DPRD kab/kota untuk diujipublikkan sebelum ditetapkan oleh KPU. Tujuh prinsip ini diatur dalam pasal 185 UU 7/2017. Pertama, prinsip kesetaraan nilai suara. Kedua, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional. Ketiga, proposionalitas. Keempat, integralitas wilayah. Kelima, berada dalam wilayah yang sama. Keenam, kohesivitas. Ketujuh, kesinambungan dapil pada pemilu sebelumnya.
Penataan dapil dan realokasi Kursi DPRD kabupaten/kota sangat ditentukan oleh dinamika data wilayah administrasi dan jumlah penduduk. Kemendagri setiap enam bulan sekali mengumumkan dinamika itu dalam bentuk data agregat kependudukan dan dipublikasikan pada laman resmi atau laman resmi Disdukcapil kabupaten/kota. Berbagai pihak dapat mencermati semua data tersebut.
Penataan dapil dan realokasi kursi DPRD kabupaten/kota adalah suatu keniscayaan. Dari regulasi yang ada, penulis menyimpulkan setidaknya ada tiga penyebab keniscayaan ini.
Pertama, adanya dinamika wilayah administrasi kabupaten/kota. Contohnya: adanya kabupaten/kota hasil pemekaran pasca-Pemilu 2019, adanya Kab/Kota Induk yang sebagian wilayannya telah mekar, atau hilang karena bencana dan sebagainya, atau terjadinya penambahan atau pengurangan jumlah kecamatan di kabupaten/kota.
Kedua, adanya dinamika jumlah penduduk. Contohnya, seperti pertumbuhan dan pengurangan jumlah penduduk yang mengakibatkan alokasi kursi tiap dapil lebih dari 12 kursi atau kurang 3 kursi.
Ketiga, tidak terpenuhi lagi prinsip-prinsip penataan dapil itu sendiri. Ini bisa terjadi karena pendataan dapil DPRD kabupaten/kota Pemilu 2019 tidak memenuhi tujuh prinsip penataan dapil yang sudah kita kemukaan sebelumnya. Bisa jadi sebagian dari prinsip-prinsip tersebut perlu diperhatikan lagi, sehingga dapil DPRD kabupaten/kota wajib ditata ulang atau alokasi kursi tiap dapil DPRD kabupaten/kota perlu ditinjau kembali.
Adanya pengurangan atau penambahan penduduk pada satu dapil misalnya. Tentu prinsip kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sisten pemilu proporsional, dan prinsip proporsionalitas pada dapil DPRD kabupaten/kota tersebut perlu diperhatikan ulang, meskipun prinsip-prinsip penataan dapil yang lainnya sudah terpenuhi.
Terjadinya pengurangan atau penambahan jumlah penduduk pada satu dapil DPRD kabupaten/kota, dipastikan mempengaruhi bilangan pembagi penduduk (BPPd) sebagai acuan penghitungan pembagian alokasi kursi dapil. BPPd diperoleh dari jumlah penduduk kabupaten/kota dibagi dengan alokasi kursi DPRD kabupaten/kota.
Penerapan prinsip kesetaraan nilai suara wajib dilakukan dengan mengupayakan nilai suara atau harga kursi. Antara satu dapil dengan dapil yang lainnya harus setara. Memastikan kesetaraan dapil jadi bagian memastikan setiap satu suara pemilih yang berharga dan partisipasi pemilih dalam menggunakan hak politiknya menjadi tidak sia-sia.
Mengingat bahwa setiap dapil mendapat alokasi kursi sesuai dengan jumlah penduduk yang berdomisili di wilayah tersebut, KPU wajib menghitung kembali BPPd dan menghitung potensi realokasi kursi setiap dapil DPRD kabupaten/kota. Melalui proses ini, dapil lebih mungkin menjadi representatif dan prinsip persamaan kedudukan warga negara dalam pemerintahan dan prinsip one man, one vote, one value (Opovov) terwujud.
Selain itu, KPU juga memperhatikan keseimbangan alokasi kursi antar dapil, dan dinamika jumlah penduduk antar dapil. Dalam proporsi jumlah kursi besar, memang biasa menimbulkan kesenjangan. KPU harus menjamin seluruh partai mendapatkan kesempatan yang setara dalam memperoleh suara dan kursi di suatu dapil DPRD Kab/kota,
Penghitungan alokasi kursi dapil DPRD kabupaten/kota, berdasarkan Keputusan KPU 18/2018 tentang Juknis Penataan Dapil dan Alokasi Kursi DPRD Kabupaten/Kota. Regulasi ini mengatur beberapa langkah yang dilakukan KPU kabupaten/kota dalam menyusun usulan alokasi kursi sebelum ditetapkan KPU.
Pertama, menentukan jumlah kursi untuk kabupaten/kota. Mengacu pada pasal 191 ayat (2) UU 7/2017 tentang Pemilu, alokasi kursi DPRD kabupaten/kota berinterval 20 hingga 55 kursi dan jumlah kursi dalam tiap dapil berinterval 3 hingga 12 kursi.
Kedua, menetapkan BPPd. Caranya dengan membagi jumlah penduduk kabupaten/kota dengan alokasi kursi DPRD kabupaten/kota tersebut.
Ketiga, menata dapil DPRD kabupaten/kota yang terdiri dari bagian kecamatan atau 1 kecamatan atau menggabung 2 kecamatan atau lebih menjadi dapil-dapil tertentu. Ini dilakukan setelah memperhitungkan prinsip-prinsip penataan dapil dan memperhatikan estimasi jumlah alokasi kursi per kecamatan yang akan dijadikan satu dapil. Tujuannya agar proporsi alokasi kursi masing-masing dapil seimbang.
Keempat, menentukan alokasi kursi dapil dengan cara menghitung jumlah penduduk dalam satu dapil yang sudah ditata pada tahapan sebelumnya. Setelah ini dilakukan, kemudian membaginya dengan BPPd yang sudah ditentukan.
Contoh simulasinya sebagai berikut: Kota A berpenduduk 460.000 jiwa, terdiri dari 8 kecamatan. 4 kecamatannya adalah hasil pemekaran dari 4 kecamatan lainnya. Alokasi kursi DPRD Kota A adalah 40 kursi. BPPd lalu ditentkukan dengan cara 460.000 jiwa dibagi 40 kursi, diperoleh angka BPPd 11.500.
Alternatif dapil kemudian disusun dengan cara menggabungkan kecamatan induk dan pemekaran sehingga menjadi 4 dapil. Kita umpamakan dapil Kota A1 berpenduduk 127.000 jiwa, Kota A2 128.000, Kota A3 105.000, dan Kota A4 100.000.
Seluruh jumlah penduduk dalam tiap dapil dibagi dengan BPPd 11.500. Hasil alokasi kursi dapil pada penghitungan awal sebagai berikut: dapil Kota A1 11 kursi, dapil Kota A2 11 kursi, dapil Kota A3 9 kursi, dan dapil Kota A4 8 kursi. Total kursi dapil-dapil tersebut adalah 39 kursi.
Pada penghitungan tahap pertama masih terdapat sisa alokasi kursi, sebanyak 1 kursi lagi. Selanjutnya, sisa alokasi kursi dibagikan ke dapil dengan peringkat sisa hasil pembagian BPPd tertinggi. Yaitu dapil Kota A4 yang berpenduduk 100.000 jiwa dengan pembagian BPPd 11.500 menghasilkan angka penuh 8, dengan sisa pembagian 8.000. Maka pada penghitungan alokasi kursi kedua, kursi pada dapil Kota A4 ditambah 1 kursi, sehingga alokasi kursi pada Kota A genap 40 kursi. Harga kursi tiap dapil hasil simulasi ini diyakini kurang lebih setara dengan jumlah kursi yang proporsional.
Penulis mengajak pemilih, aktivis, dan pegiat pemilu untuk seksama memperhatikan dinamika wilayah dan jumlah penduduk pada tiap kabupaten/kota. Tujuannya agar penataan dapil dan realokasi kursi DPRD kabupaten/kota untuk Pemilu 2024 memenuhi prinsip penataan dapil dan seluruh pihak dapat menerimanya dengan bijaksana pula. []
ORY SATIVA SYAKBAN
Anggota KPU Kabupaten Padang Pariaman, Divisi Teknis Penyelenggaraan