August 8, 2024

Urgensi Meningkatkan Bantuan Keuangan Parpol

Wacana kenaikan Bantuan Keuangan Partai Politik (Banparpol) melalui APBN/APBD telah menjadi isu hangat dalam diskursus kepartaian di Indonesia. Terakhir, Kemendagri telah mengajukan peningkatan dana Banparpol dalam tahun anggaran 2022. Alasannya, untuk menguatkan konsistensi negara dalam melakukan reformasi kelembagaan partai di Indonesia.

Berbagai respons publik menghampiri isu ini, baik tanggapan positif maupun negatif. Tanggapan positif berpijak pada keyakinan bahwa Banparpol dapat menyelamatkan partai dari jerat kepentingan oligarki, terutama para donatur partai. Sementara tanggapan negatif hadir karena tingkat kepercayaan publik yang rendah kepada partai politik.

Kedua respons tersebut sebetulnya berdasarkan pada realitas parpol yang hanya digunakan sebagai perahu bagi oligarki bisnis dan politik. Parpol kerapkali terjerat oleh kepentingan pragmatis para donaturnya, dengan mendanai operasional partai. Padahal, parpol adalah barang publik yang berguna untuk mengakumulasi kepentingan rakyat dalam konstelasi politik.

Partai politik adalah barang publik

Dalam demokrasi, seluruh kepentingan rakyat wajib dipertimbangkan. Namun, mempertimbangkan kepentingan tiap individu warga sulit dilaksanakan (Iver, 1955). Karenanya, parpol hadir sebagai jembatan bagi masyarakat kepada negara, dengan mengakumulasikan kepentingannya.

Secara komprehensif, menurut Almond dan Powell dalam Budihardjo (2007), salah satu fungsi parpol adalah untuk mengagregasi kepentingan politik. Dalam konteks perwakilan, partai politik dibentuk untuk mengakumulasi kepentingan publik dan mengontrol pemerintahan, baik sebagai pendukung maupun oposisi pemerintah.

Dapat disimpulkan, partai berperan dalam menopang demokrasi. Secara institusional, partai juga diberikan peran besar untuk mengisi jabatan-jabatan penting dalam struktur ketatanegaraan seperti presiden, kepala daerah, hingga parlemen. Di samping itu, beberapa jabatan di luar eksekutif dan legislatif, juga dipengaruhi oleh kebijakan partai.

Dengan peran tersebut, parpol harus dipahami sebagai barang publik. Status ini dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, secara normatif status badan hukum parpol dapat meninjau teori E. Utrecht (1983). Ia membagi badan hukum menjadi dua, publik dan privat. Klasifikasi tersebut berdasarkan pembagian hukum publik (relasi negara dan masyarakat) dan privat (relasi antar individu).

Berdasarkan klasifikasi tersebut, menurut Marzuki (2008) badan hukum privat adalah organisasi di luar aktivitas politik dan kenegaraan, serta ditujukan untuk mencari keuntungan. Secara a contrario, pengertian ini dapat ditafsirkan bahwa partai politik adalah badan hukum publik karena bergerak dalam aktivitas politik dan tidak ditujukan untuk mencari keuntungan.

Kedua, dalam aspek politik, kepemilikan publik atas parpol berkonsekuensi pada beberapa hal. Parpol harus membuka kesempatan seluas-luasnya kepada publik, bukan hanya dalam rekrutmen namun juga dalam persaingan internal. Publik dapat menuntut transparansi parpol, baik secara finansial maupun aktivitas politiknya.

Namun kenyataannya parpol hanya dikontrol oleh segelintir orang. Kontrol tersebut, kerapkali didasarkan pada besaran donasi kepada partai yang tidak terbatas. Hal ini disebabkan kebutuhan pendanaan politik yang tinggi dan ketidakmampuan partai dalam menghimpun dana rakyat. Akhirnya, fungsi parpol sebagai agregasi kepentingan rakyat tereduksi menjadi hanya kepentingan kelompok bisnis semata.

Karenanya, kemandirian finansial parpol harus didorong. Selain melalui beberapa regulasi pembatasan penerimaan dan pengeluaran, parpol juga harus diberikan insentif dana politik dari negara. Ini penting agar parpol terlepas dari jerat oligarki dan kembali memperjuangkan kepentingan rakyat dalam kewenangan konstitusionalnya.

Meningkatkan dana Banparpol

Dalam perspektif negara, pemberian Banparpol hanya ditujukan untuk menguatkan kelembagaan parpol sebagai sarana pendidikan politik (PP 5/2009). Paradigma ini membuat negara mendanai parpol sekedarnya saja. Bahkan, dana Banparpol hanya cukup untuk memenuhi 1,32% kebutuhan partai (Supriyanto & Wulandari, 2012).

Karenanya, Banparpol harus dilihat dalam dua tujuan besar. Pertama, agar parpol mandiri secara finansial dan melepaskan ikatan donatur-donatur besar, sehingga bisa betul-betul menyuarakan kepentingan rakyat. Kedua, pemberian Banparpol dapat menguatkan kepemilikan publik atas partai politik. Hal ini merupakan implikasi status parpol sebagai barang publik.

Dengan demikian, fakta minimnya dana Banparpol harus dievaluasi. Negara harus meningkatkan dana Banparpol untuk mencapai dua tujuan utama tadi. Negara dapat memilih skema pendanaan, dengan membiayai seluruh keperluan operasional, atau setidaknya lebih besar dari perolehan sumbangan pihak ketiga.

Untuk meningkatkan Banparpol, juga perlu formulasi baru. Selama ini Banparpol hanya dihitung dengan jumlah pengalian antara perolehan suara dengan nilai bantuan yang telah ditetapkan. Ke depan, formulasinya harus lebih proporsional dengan mempertimbangkan pula satuan-satuan perhitungan ekonomi yang lazim, sesuai angka inflasi dan pendapatan perkapita tiap daerah.

Sebab, nilai ekstrinsik uang sangat bergantung pada waktu dan daerah. Karenanya penting untuk menyesuaikan besaran bantuan secara berkala, setidaknya setiap tahun. Selain itu, besaran bantuan harus disesuaikan dengan pendapatan atau kebutuhan ekonomis tiap daerah. Sebagai contoh, kebutuhan parpol di Jakarta dan Yogyakarta tentu berbeda, sehingga pendanaannya harus proporsional.

Di samping itu, dengan peningkatan Banparpol, kuasa publik atas parpol melalui negara semakin menguat. Ini menjadi legitimasi awal bagi Negara dalam memperkuat kerangka regulasi keuangan partai. Dengan begitu, negara dapat menjamin transparansi keuangan parpol, mekanisme audit, hingga batasan penerimaan sumbangan yang lebih tinggi.

Peningkatan Banparpol harus diiringi peningkatan kepercayaan publik terhadap parpol. Hal ini dapat dilakukan dengan membatasi sumbangan hingga pengeluaran. Selama ini regulasi pembatasan sumbangan masih terlampau besar, ditambah sulitnya men-tracking sumber sumbangan. Negara dapat memaksimalkan pembatasan sumbangan dan pengeluaran, agar peredaran uang dalam kontestasi politik dapat dilimitasi.

Selain itu, transparansi juga harus diperkuat. Negara dapat mewajibkan agar laporan keuangan partai dapat dipantau dengan mudah oleh publik. Di samping itu, mekanisme audit keuangan partai juga dapat diperkuat untuk menjamin transparansi. Misalkan dengan menghadirkan mekanisme audit investigatif dan penunjukkan akuntan publik secara langsung oleh KPU.

Meningkatnya dana banparpol juga akan mempermudah audit BPK. Selama ini, pendanaan program prioritas Banparpol seringkali tambal sulam dengan dana non-Banparpol karena besaran bantuan tidak memadai. Hal ini tentu akan menyulitkan pemeriksaan laporan penggunaan Banparpol oleh BPK, mengingat pembukuan dan pelaporan penggunaan Banparpol harus terpisah.

Di sisi lain, parpol kerap tidak menindaklanjuti kesimpulan dan rekomendasi Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. Parpol sering menganggap remeh karena selain tidak tersedianya mekanisme sanksi, juga karena besaran bantuan yang minim. Dengan peningkatan dana Banparpol, negara dapat menghadirkan mekanisme sanksi, dengan pengurangan atau peniadaan Banparpol tahun selanjutnya apabila LHP BPK tidak ditindaklanjuti.

Dengan peningkatan Banparpol pula, publik akan memiliki sense of belonging pada partai politik. Rasa memiliki ini akan menguatkan social control atas parpol, sehingga aktivitas politik yang dilakukan akan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Hal ini penting untuk lebih menguatkan konsolidasi demokrasi di Indonesia dan membersihkan kontestasi elektoral dari persaingan kekuatan finansial. []

KAHFI ADLAN HAFIZ

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)