Ada 101 kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya pada tahun 2022. 76 Bupati, 18 Walikota, dan 7 Gubernur ini merupakan kepala daerah yang mengikuti Pilkada Serentak 2017. Semuanya berakhir lebih awal masa jabatannya dari jadwal pungut hitung tahun 2024. Artinya penjabat sementara akan menjabat selama dua tahun lebih hingga masa pelantikan penjabat baru hasil Pilkada Serentak 2024.
Ada pula kepala daerah yang masa jabatannya berakhir Juni 2023. Jumlahnya 171 daerah. Rinciannya 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Daerah ini yang berpilkada serentak tahun 2018. Kurang/lebih satu tahun penjabat sementara akan memimpin sejumlah daerah tersebut.
Sementara daerah yang berpilkada pada tahun 2020, tidak ada penjabat sementara. Jumlahnya ada 270 daerah yang meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Malah, semua daerah ini masa baktinya kurang dari lima tahun.
Berlakulah ketentuan yang ditetapkan pada Pasal 202 Undang-Undang Pilkada. Bunyinya seperti ini: bahwa yang tidak sampai satu periode diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode.
Jadi, soal pengganti kepala daerah tersebut ada dua opsi. Pertama, apakah kepala daerah yang bersangkutan diberikan perpanjangan waktu. Kedua, dengan opsi lain yaitu digantikan oleh penjabat sementara. Mari kita lihat argumentasinya.
Opsi pertama, perpanjangan masa jabatan. Pemilihan kepala daerah adalah bentuk nyata pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Melalui Pilkada ini kepala daerah mendapat mandat langsung dari rakyat sehingga legitimasinya lebih kuat dalam menjabat.
Negara indonesia sebagai Negara demokrasi menempatkan kedaulatan rakyat sebagai kedaulatan tertinggi. Penempatannya menyertakan kedaulatan hukum dan kedaulatan negara. Soal kedaulatan ini menyertakan alasan lain pada konteks krisis dan pengendalian pandemi covid-19 yang dinilai lebih menjamin kestabilan.
Opsi kedua, diganti penjabat sementara. Dalam undang-undang Pilkada pasal 201 ayat 9, 10, dan 11, dituliskan bahwa, untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan tahun 2023, diangkat penjabat kepala daerah sampai dengan terpilihnya Gubernur melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
Dalam ketentuan tersebut, penjabat berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya dan menjabat sampai dengan pelantikan kepala daerah. Sedangkan untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada sisi lainnya, menempatkan penjabat hingga 2024, akan menciptakan ruang dan kesempatan setara sebagaimana peserta lainnya dalam Pilkada Serentak 2024. Kita tahu, seperti periode jabatan sebelumnya, kepala daerah yang bisa mencalonkan lagi sebagai peserta pilkada berikutnya bayak yang melakukan penyalahgunaan wewenang, anggaran, fasilitas dan aparatur negara secara langsung untuk kepentingan kekuasaannya.
Dengan meniadakan petahana kepala daerah yang bisa mencalonkan di pilkada berikutnya melalui pengisian penjabat, Pilkada Serentak 2024 akan mempunyai ruang dan kesempatan kontestasi yang lebih setara. Pengisian penjabat hingga 2024 akan menutup kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan kepala daerah. Korupsi politik, politik uang yang masif, dan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) akhir-akhir ini disebabkan karena banyaknya kepala daerah yang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya.
Dengan penjabat sementara ini pun, tidak serta merta penyelenggaraan Pilkada 2024 tanpa penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Kemungkinannya tetap terbuka. Alasannya, penjabat sementara adalah hasil proses kebijakan politik oleh Mendagri, meskipun sebelumnya diusulkan oleh masing-masing daerah. Perlu diingat, bahwa Mendagri yang diangkat langsung sebagai pembantu Presiden, merupakan jabatan politik.
Kita perlu mencermati daerah-daerah dengan segala tingkatannya. Khususnya 101 kepala daerah yang berakhir lebih awal masa jabatannya pada tahun 2022. Selama dua tahun lebih, kekuasaan daerah ini akan dipegang penjabat dalam waktu yang tidak sebentar.
Proses administratif penjabat yang dijalankan merupakan mekanisme yang sederhana. Keputusannya ada di tangan Mendagri. Maka, cukup logis dengan legitimasi yang kuat, pilihannya adalah perpanjangan masa jabatan bagi 101 kepala daerah. Namun, pilihan ini tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 201 Undang-Undang Pilkada, kecuali dilakukan perubahan.
Kedua opsi tersebut sama-sama berpeluang atas intervensi politik. Dari sini, yang perlu diperkuat adalah political will pemerintah dan pemerintah daerah itu sendiri. Maka pertimbangan kebijakan memutusnya perlu memperhatikan problem nasional dan lokal serta visi kebangsaan secara komprehensif.
Penting untuk mengesampingkan pragmatisme politik. Maka, sebetulnya bisa muncul opsi ketiga sebagai jalan tengah. Jadi, ini bukan menentukan siapa mendapatkan apa, tapi siapa figur yang tidak mudah mengorbankan kepentingan rakyat. Jalannya adalah, bisa saja daerah tertentu diputuskan untuk melanjutkan atau ditambah masa jabatannya.
Bahwa penunjukan penjabat sementara juga harus dilandasi dasar hukum yang kuat, dilakukan secara transparan dan bertanggungjawab, tentu menutup kemungkinan penyalahgunaan wewenang tersebut. Bila tidak demikian, maka itulah sebab intervensi politik yang menimbulkan kecemburuan dari pihak lain sehingga berakibat lahirnya kekacauan dan banyak pelanggaran di dalamnya.
Penjabat sementara yang dipilih adalah mereka yang memenuhi syarat tertentu. Paling tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, memahami otonomi daerah, memiliki sifat kuat kepemimpinan, memiliki kecekatan sikap mengatasi krisis, dan memahami agenda Pemilu dan Pilkada 2024. []
WARDIN
Pemerhati Hukum dan Demokrasi