August 8, 2024

PKPU Caleg Joki

Istilah “joki” seringkali disepadankan dengan seseorang yang cerdas dan tangkas menaklukan kudanya di sebuah arena pacuan. Profesi ini kemudian bergeser dalam makna yang berkonotasi negatif, karena dilekatkan pada praktik curang baik dalam seleksi untuk masuk di perguruan tinggi negeri, maupun dalam seleksi aparatur sipil negara. Joki, kini dimaknai sebagai orang yang  mewakilkan orang lain dalam mengikuti ujian tertulis, dengan suatu bayaran tertentu.

Saat tahapan pendaftaran Bakal Calon Anggota Legislatif (Bacaleg) mulai dibuka, isu partai politik menggunakan jasa joki dalam pengisian daftar Bacaleg sempat juga mencuat dan mendapat perhatian dari beberapa media. Namun isu tersebut ditepis oleh anggota Komisi Pemilihan Umum, Idham Holik sebagai hal yang tidak terlarang, karena admin dan siapa operatornya merupakan kebijakan internal partai.

Caleg Joki

Praktik perjokian yang sesungguhnya menjadi masalah dalam pendaftaran Bacaleg, kurang mendapat perhatian. Bahkan, masalah ini tidak ada yang dapat mendeteksinya. Bagaimana model Caleg Joki tersebut?

Begini contoh sederhananya. Si A merupakan pemuda yang baru lulus SMA, didaftar sebagai Bacaleg oleh partai politik (misalnya Partai X). Pada saat tahap pencermatan rancangan Daftar Calon Tetap (DCT), Partai X melalui persetujuan ketua umumnya menggantikan Caleg Si A dengan Caleg B yang berlatar belakang kepala daerah. Si A dalam keadaan ini hanya ditempatkan sebagai Caleg joki, dengan semata-mata untuk memenuhi syarat pendaftaran, minimal ada yang mengisi nomor urut untuk sementara waktu, sebab bagaimanapun nomor urut tersebut sudah dipatok kelak akan diisi oleh B.

Secara tekstual yuridik, praktik Caleg joki tersebut tidak ada masalah. Hal ini dibenarkan berdasarkan Pasal 81 ayat (1) huruf b dan Pasal 82 ayat (1) PKPU No. 10/2023 tentang Pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Tetapi cobalah dibandingkan dengan PKPU Pencalonan sebelumnya (PKPU No. 20/2018). Sama sekali Partai tidak dibenarkan untuk dapat diganti di tahapan pencermatan rancangan DCT atas kehendak dan mau-maunya saja ketua umum partai.

Bahkan, dahulu pada masa tahapan Daftar Calon Sementara (DCS) ke DCT, jika ada Caleg laki-laki mau mengundurkan diri, partai tidak dapat melakukan penggantian. Ini berdasar pada Pasal 23 ayat (4) PKPU No. 20/2018.

Dahulu, saya sempat juga berpikir kalau Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5) PKPU No. 20/2018 cenderung diskriminatif. Ketentuan ini tidak membenarkan penggantian untuk Caleg laki-laki yang mengundurkan diri. Padahal, boleh dilakukan penggantian kalau Caleg perempuan yang mengundurkan diri.

Lalu hadirlah PKPU No. 10/2023. Berdasar hukum KPU ini, partai dibebaskan seluas-luasnya mengganti calegnya, baik yang karena mengundurkan diri maupun yang karena “hak veto” ketua umum partai.

Ternyata, ada celah hukum yang memang sengaja didesain oleh KPU. Lembaga  mandiri yang dijamin konstitusi ini malah memberikan keistimewaan kepada partai dalam mengusung Caleg-caleg yang berlatar belakang ASN, TNI, Polri, Kepala Daerah, dan anggota legislatif yang hendak pindah partai.

Ketentuan itu menghadirkan sejumlah keistimewaan kepesertaan pemilu.  Bagi mereka yang punya kewajiban mengundurkan diri dari jabatannya, jadi punya waktu hingga bulan September 2023 nanti. Fase ini masih bisa mendapatkan kenikmatan jabatan dan gaji dari negara.

Aturan sebelumnya tidak membolehkan hal tersebut. Jika para pejabat sudah didaftarkan sebagai Bacaleg oleh partainya, masing-masing pada bulan Mei kemarin, sudah harus mengajukan surat pengunduran diri ke instansi atasannya masing-masing.

Lebih ekstrim lagi, syarat harus mundur jabatan itu rata-rata dikhawatirkan oleh sejumlah kepala daerah. Bupati atau Walikota yang didorong oleh partainya agar maju sebagai Caleg, akan Kemendagri proses dengan cepat melalui surat keputusan pemberhentian untuknya.

Karena itulah, beberapa elite partai merasa penting menggunakan jasa “Caleg Joki”. Caranya dengan menyetor nama-nama pemuda yang kelak dikemudian hari dapat diganti oleh mereka yang rata-rata berlatar belakang dengan jabatan wajib untuk mengundurkan diri guna memenuhi persyaratan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Melanggar Asas

Dari situ, mengemuka sebuah pertanyaan. Apakah Caleg Joki tersebut merupakan bentuk penyimpangan atas asas-asas kepemiluan?

Bagi saya, ini jelas akan menimbulkan pemborosan anggaran negara. Aturan yang mengistimewakan partai ini akan menghabiskan pembiayaan dua kali untuk verifikasi. Pertama verifikasi Caleg yang diganti. Kedua, verifikasi Caleg penggantinya.

Seandainya, dengan menggunakan PKPU yang dahulu, KPU beserta dengan perangkat-perangkatnya bisa menghemat anggaran. Para Caleg yang wajib mengundurkan diri, bisa dipaksa melalui peraturan agar mendaftar sejak awal. Mereka tidak dibiarkan menggunakan jasa joki, karena kepentingan pribadi dan syahwat kuasanya, yang masih enggan meninggalkan jabatan lamanya. Jelas dalam hal ini, atas dibenarkannya penggantian Caleg di tahap pencermatan rancangan DCT melanggar asas efisiensi kepemiluan.

Selain itu, lumrah dan lazim terjadi praktik transaksional antar Caleg melalui peristiwa jual beli nomor urut. Dengan menempatkan Caleg joki di masa pendaftaran dan pengajuan bakal calon, siapalah yang bisa mendeteksi ini semua, termasuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ini menjadi sulit terkualifikasi sebagai tindak pidana pemilu (mahar politik), kalau di antara Caleg yang diganti, Caleg pengganti, dan partainya saling berbagi uang dengan objek jual beli berupa nomor urut. Lagi-lagi, luwesnya penggantian Caleg dalam PKPU tersebut jauh dari kata asas pemilu yang jujur dan adil.

Suka atau tidak suka, PKPU pencalonan sekarang diliputi banyak masalah dan isu krusial. Mulai dari isu keterwakilan 30 persen perempuan yang dipangkas dengan angka pembulatan nonafirmatif. Dihapusnya kewajiban melaporkan harta kekayaan bagi Caleg. Pengecualian jeda lima tahun bagi Caleg eks Napi yang pernah mendapat hukuman tambahan pencabutan hak politik dari pengadilan. Caleg bisa pindah Dapil. Hingga Caleg berstatus ASN, TNI, Polri, Kepala Daaerah, dan Caleg yang berstatus sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang dicalonkan oleh partai yang berbeda dengan partai yang diwakili di DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. Semua ini tidak perlu dicoret, tidak perlu dibatalkan, walupun satu hari sebelum penetapan DCT tidak menyampaikan Surat Keputusan Pemberhentiannya. []

DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI

Praktisi Hukum