September 13, 2024

Perludem Sebut Syarat Pernah Kawin Seolah Membenarkan Praktik Perkawinan Anak

Perbedaan usia anak yang terdapat dalam Undang Undang (UU) 35 Tahun 2014 tentang Anak dengan UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan UU Nomor  11 tentang Partai Politik sempat disoal Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Aturan yang dipersoalkan, yakni mengenai frasa 17 tahun atau pernah kawin pada saat Rancangan Undang Undang (RUU) yang sekarang menjadi UU 7 Tahun 2017. Namun, hal tersebut tidak diindahkan dan regulasi tersebut tetap dilanjutkan.

Peneliti Perludem, Usep Hasan Sadikin menerangkan, sebelumnya ada undang undang versi masyarakat sipil yang di mana usia pemilih minimal 18 tahun, bukan 17 tahun dan menghapus ketentuan atau pernah kawin. Padahal, tambah ia, ada spirit untuk melindungi anak dari pernikahan usia dini dan pemerintah tidak menyesuaikan kedewasaan berpolitik dengan kawin.

“Adanya ketentuan atau pernah kawin, berarti UU Pemilu dan UU Pilkada membenarkan praktik perkawinan usia anak. Ya karena dengan dimaknainya anak yang sudah kawin itu, jadi punya politik dalam hal ini hak memilih itu dikatakan sebagai kedewasaan, maka itu keluar dari semangat Perlindungan Anak. Ya kami konsisten menolak,” tegasnya kepada Kantor Berita RMOLJabar, Sabtu (8/7).

Dari RUU hingga Judicial Review, Usia Pemilih Tak Berubah

Selain mengajukan RUU dengan menghapus ketentuan pernah kawin dan menaikkan usia pemilih jadi 18 tahun yang gagal, jelas Usep, Perludem juga melakukan judicial review ketika UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disahkan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus frasa pernah kawin sebagai syarat menjadi pemilih.

Sebab dengan adanya ketentuan tersebut, Perludem menilai Pemilu seperti membenarkan praktik perkawinan anak lantaran memaknai anak yang sudah kawin menjadi dewasa secara politik.

“Jadi kenapa Perludem menghapus ketentuan tersebut, karena dengan seperti itu kita mengetahui juga bahwa perkawinan anak adalah menolak perlindungan anak. Ya masuk pada kejahatan terhadap anak karena menikahkan warga negara yang belum dewasa dan melanggar semangat Perlindungan Anak. Sayangnya hakim MK nggak setuju tuh sama judicial reviewnya Perludem dan ditolak,” imbuhnya.

Menurut Mahkamah Konstitusi, tukas Usep, ada setting opinion dari Profesor Maria pada saat itu, yang secara umum hakim punya pemahaman bahwa warga negara yang sudah kawin itu dewasa, jadi bisa memilih.

“Kenapa harus dipermasalahkan kata mereka gitu, jadi analoginya kawin aja mampu apalagi memilih, kayak gitu. Nah itu kan sesat pikir. Hakim yang harus kita sayangkan ya yang tidak berpihak pada semangat perlindungan anak gitu,” pungkasnya.

SYAMSUL ARIFIN

Artikel ini telah dipublikasi oleh rmoljabar.id pada 8 Juli 2023, dengan dukungan Program RESPECT yang diampu oleh Perludem.