Situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menginformasikan bahwa representasi pemuda hasil Pemilu DPR 2019 hanya 12,5% (72/575). Persentase pemuda dalam lembaga keterwakilan ini masih amat jauh dari persentase total jumlah warga muda di Indonesia. Disampaikan secara resminya angka ini oleh DPR merupakan hal baik mengingat, pada hasil pemilu sebelumnya, jumlah pemuda DPR malah belum jadi perhatian.
DPR mengartikan politisi muda adalah yang berusia di bawah 35 tahun. Jika pengertian pemuda merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, persentase itu kemungkinan akan lebih sedikit. Karena pemuda menurut hukum negara Indonesia adalah warga berusia 16-30 tahun.
Jumlah pemuda jadi jauh lebih sedikit jika kita membandingkannya dengan lembaga/jabatan eksekutif. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum malah melarang pemuda mencalonkan sebagai presiden/wakil presiden dan mensyaratkan usia minimal 40 tahun. Dalam undang-undang yang sama, pemuda pun dilarang menjadi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Undang-Undang Pilkada pun melarang pemuda mencalonkan sebagai gubernur/wakil gubernur. Syarat usia minimal gubernur adalah 30 tahun, sedangkan pemuda adalah warga berusia 16-30 tahun. Syarat diskriminatif ini jadi sebab struktural, tidak ada pemuda yang bisa menjadi gubernur/wakil gubernur.
Syarat usia minimal pencalonan pilkada kabupaten/kota adalah 25 tahun. Bisa dibilang, tidak ada pemuda yang menjadi bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Kalau pun ada pemuda bisa terpilih menjadi bupati/walikota, lebih sebagai bentuk perpanjangan politik dinasti orangtuanya.
Yang menyedihkannya lagi, pemuda tidak pernah menjabat sebagai menteri yang memimpin Kementerian Kepemudaan dan Olahraga. Merujuk usia awal menjabat para menteri kepemudaan dari pemerintahan 1999-2004 sampai 2019-2024, usia rataan menteri kepemudaan adalah 49,1 tahun. Menteri kepemudaan termuda adalah Dito Ariodtedjo (33 tahun) yang menjabat pada periode akhir Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin (2019-2024). Menteri Pemuda tertua adalah Muhadjir Effendy (67 tahun) yang malah menjadi menteri pertama dari Kabinet Pemerintahan Reformasi Hasil Pemilu 1999 buah dari penggulingan Soeharto oleh mahasiswa dan kaum muda. Selama ini, hak prerogatif presiden belum dioptimalkan presiden secara afirmatif untuk pemberdayaan pemuda.
Selain itu, berdasarkan informasi yang didapat dari pemberitaan, tidak ada organisasi kemasyarakatan pemuda yang dipimpin ketua umum yang berusia muda sesuai UU 40/2009 (16-30 tahun). Semuanya di atas 30 tahun, dengan rataan usia 49,5 tahun. Yang termuda adalah Dzulfikar Ahmad (36 tahun), Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah. Yang tertua adalah Japto Soerjosoemarno (74 tahun), Ketua Umum Pemuda Pancasila. Bagi para penggiat organisasi ini, pemuda dimaknainya sebagai semangat muda, bukan usia.
Ageisme dan kualitas
Hukum diskriminatif serta pemerintahan yang belum cukup melibatkan pemuda tersebut, bisa jadi berhubungan dengan ageisme. Ini merupakan pandangan penilaian terhadap seseorang atau sekelompok berdasarkan usia (Butler 1969). Salah satu bentuk pandangan diskriminatif usia ini adalah meragukan pemuda menjadi pemimpin .
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan, ageisme mengacu pada stereotip (bagaimana kita berpikir?), prasangka (bagaimana kita merasa?), dan diskriminasi (bagaimana kita bersikap?) yang ditujukan kepada orang-orang berdasarkan usia mereka. Itu bisa institusional, interpersonal, atau mandiri. Ageisme institusional mengacu pada hukum, aturan, norma sosial, kebijakan, dan praktik institusi yang secara tidak adil membatasi peluang dan secara sistematis merugikan individu karena usia mereka. Ageisme interpersonal muncul dalam interaksi antara dua atau lebih individu. Ageisme mandiri terjadi ketika ageisme diinternalisasi dan berbalik melawan diri sendiri (Gutterman 2022).
Pandangan ageisme terhadap pemuda mirip dengan patriarkisme terhadap perempuan. Identitas politik perempuan sebelumnya tidak diterima, juga karena keraguan kualitas. Perempuan pernah dilarang memilih di pemilu karena tidak layak. Salah satu lembaga survei Indonesia (2023) menyampaikan bahwa, lebih dari 50% responden berpendapat bahwa presiden Indonesia harus laki-laki.
Secara umum, pemuda masih dipersepsikan banyak orang di Indonesia sebagai kelompok usia yang belum layak menjadi pemimpin. Pengalaman pemuda masih sedikit dan kemampuannya belum cukup baik (Wahyudi 2021).
Hal itu juga jadi bagian pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menolak judicial review syarat pencalonan kepala daerah. Berdasarkan Putusan Nomor 58/PUU-XVII/2019, para hakim penjaga demokrasi dan konstitusi ini berpendapat, penentuan usia pencalonan dalam pemilu bukan kewenangan MK sehingga diserahkan kepada lembaga legislatif bernama DPR.
Ketika syarat pencalonan politik menjadi usia pemuda kita harapkan disetujui DPR, kemungkinannya menjadi lebih kecil. DPR sebagai cabang kekuasaan legislatif tidak punya insentif untuk mengabulkannya. Keanggotaan DPR dipilih melalui pemilu sehingga cenderung untuk membuat syarat yang eksklusif. DPR yang berisi fraksi partai politik terhubung dengan partai politik yang semuanya dipimpin oleh orang tua. Sehingga, DPR cenderung tidak mau membuat syarat usia muda dalam pencalonan pemilu. Semua pimpinan ketua partai politik ingin jadi presiden/wakil presiden dan tidak mau menambah kompetitor dari kalangan pemuda.
Dari daftar nama ketua partai politik DPR, tidak ada yang berusia sesuai dengan pengertian pemuda dalam Undang-Undang Kepemudaan (maksimal 30 tahun). Usia rataan ketua partai politik adalah 63 tahun. Ketua termuda adalah Ketua Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (46 tahun) yang merupakan anak dari Ketua Partai Demokrat sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden Indonesia, 2004-2009 dan 2009-2014). Ketua partai politik tertua adalah Megawati Soekarno Putri (77 tahun), ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan partai politik pemilik kursi fraksi DPR terbanyak. Untuk mengesahkan syarat usia pemuda pada pencalonan presiden/wakil presiden dan anggota KPU/Bawaslu, dibutuhkan lebih dari 50% kursi DPR, yang sayangnya didominasi anggota tua dan kepemimpinan orang tua di partai politik.
Dominasi orang tua dalam kepemimpinan partai politik berkaitan dengan Undang-Undang Partai Politik yang memuat syarat amat berat dalam pendiriannya. Ini berdampak pada kelembagaan partai politik yang jauh dari pemuda. Syarat ini membuat kecenderungan, hanya orang tua yang bisa mendirikan partai politik dan keanggotaannya jauh lebih banyak diisi orang tua. Dominasi orang tua ditubuh partai politik berdampak pada sulitnya pemuda bergabung dengan partai politik karena dianggap tidak berdaya secara kualitas dan finansial.
Klarifikasi perlawanan untuk membela kualitas pemuda bisa berupa pertanyaan balik. Jika pemuda dituntut berkualitas, kenapa tidak ada tuntutan kualitas terhadap anggota dewan berusia tua yang justru mendominasi parlemen? Global Corruption Barometer (2020) menempatkan parlemen (DPR/DPRD) sebagai lembaga terkorup merupakan gambaran kelembagaan negara yang dikuasai kaum tua. []
USEP HASAN SADIKIN