November 15, 2024

Urgensi Transparansi dan Akuntabilitas Pemilu 2024

Transparansi dan akuntabilitas amat mendesak diwujudkan dalam Pemilu 2024. Tanpa kedua hal ini, pengeluaran anggaran besar dalam politik akan menghasilkan pemerintahan yang tidak berintegritas. Ekosistem hukum yang belum belum baik mendukung penting diimbangi dengan kepedulian dan sikap untuk membuka dan mempertanggunjawabkan keuangan para peserta pemilu dalam budaya politik.

“Sistem politik kita ini overkill bagi lahirnya alternatif politik. Korupsi politik akan mudah lahir di tengah situasi yang tidak inklusif seperti ini,” kata anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam diskusi “Bersiap Menuju Pemilu 2024: Memerangi Korupsi Politik”, Jakarta (26/10).

Titi menjelaskan, integritas keuangan politik di Indonesia sangat sulit naik kelas karena tidak adanya ekosistem yang mendukung. Uang yang semakin dominan dalam politik tidak disertai dengan skema akuntabilitas yang jelas dan rigid.

“Kalo mau mulai, mulai dulu dari akuntabilitas dana politik. Sebagai ilustrasi sumbangan dana kampanye dari pemilu ke pemilu itu terus dinaikkan,” terang Titi.

Dalam Pasal 326 dan 327 Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa batasan sumbangan maksimal kampanye dalam pemilu dari individu hingga korporasi adalah Rp 2,5 miliar. Jika sumbangan berasal dari badan hukum usaha, jumlah maksimalnya Rp 25 miliar untuk satu kali menyumbang.

Masalah lainnya, Indonesia tidak mempunyai institusi dan aktor yang saling terhubung untuk mengawasi dana kampanye. Titi menyebut, rekening khusus dana kampanye yang dilaporkan sangat tidak transparan, banyak dana yang masuk di rekening yang tidak resmi. Ia berpendapat, Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) tidak dirancang untuk mampu mengawasi dana kampanye. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun dibuat tidak terhubung dengan pengawasan dan kampanye.

“Dugaan saya, tidak ada cukup itikad baik untuk mewujudkan akuntabilitas keuangan politik yang merupakan hulu dari persoalan korupsi di Indonesia,” jelasnya.

Selain masalah itu, ada masalah lain yang menonjol yaitu infrastruktur demokrasi di sekitar keuangan politik. Menurut Titi, beberapa waktu terakhir masalah dalam pemilu berasal dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia mencontohkan, sebelumnya KPU mau menghapuskan Laporan Penerimaan dan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), soal masa jeda bagi mantan terpidana untuk mencalonkan diri sebagai legislator, dan minimal keterwakilan perempuan yang dikorupsi pengaturannya.

“Pendekatan kita sebagai masyarakat sipil untuk membangun aktivisme hukum dan gerakan sosial, kerjanya jadi nambah. Bukan hanya mengawal pasangan calon, tapi juga nambah mengawal penyelenggaranya,” pungkas Titi.

Pendiri Transparency International Indonesia, Todung Mulya Lubis dalam sambutannya mengatakan, terdapat problem integritas dalam politik di Indonesia. Padahal, integritas merupakan pondasi untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. Lemahnya integritas itulah yang menyebabkan penanganan kasus hukum dan korupsi dilakukan secara tebang pilih.

“Melalui reformasi birokrasi dan penanganan korupsi itu, kita menghasilkan peta jalan Indonesia menuju yang lebih baik. Yang kita lakukan, digitalisasi dan tata kelola pemerintahan adalah bagian dari upaya itu,” ujarnya.

Komitmen peserta pemilu

Dalam acara Indonesia Integrity Forum 2023 itu, juga turut hadir tiga tim pemenangan bakal calon presiden-wakil presiden. Mereka berkomitmen untuk mewujudkan politik berintegritas. Pertama, juru bicara capres-cawapres Anies-Muhaimin, Sudirman Said. Kedua, Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Arsjad Rasyid. Ketiga, perwakilan Tim Pemenangan Koalisi Indonesia Maju (KIM, Dahnil Anzar Simanjuntak.

Mengenai komitmen antikorupsi, Arsjad Rasyid mencontohkan sejumlah terobosan dari Ganjar Pranowo selama menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Ada pembangunan 209 desa antikorupsi dan digitalisasi di Jawa Tengah sebagai upaya pencegahan kebocoran anggaran.

“Itu komitmen yang sudah dilaksanakan oleh Ganjar bukan hanya retorika, dan ingin melakukan di seluruh Indonesia, pak Mahfud juga begitu,” kata Arsjad.

Upaya yang perlu dilakukan, menurut Arsjad adalah edukasi nilai-nilai antikorupsi dengan pemerintahan yang bersih dan tulus melayani masyarakat. Ia memberi contoh salah satunya melalui program “Lapor Presiden”, yang bisa siapapun bisa melaporkan keluhan apapun mengenai pelayanan publik.

Sementara itu Sudirman Said mengatakan lingkungan sangat menentukan tingkat korupsi. Menurutnya, perbaikan itu mulainya dari Presiden dan Pemilu 2024. Ini adalah kesempatan baik untuk melakukan penyegaran kepemimpinan. Ia juga menyarankan perlunya negara ikut campur soal pendanaan partai politik, dari pada dengan alasan ongkos politik yang mahal partai-partai mencari jalannya masing-masing.

“Ke depan kita memberi satu visi tawaran yang lebih baik dari sekarang yang sudah ada,” kata Sudirman.

Ia menilai UU Perampasan aset bisa menjadi instrumen untuk membuat jera koruptor. Ini pun bisa mengembalikan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti pada gagasan awalnya, yakni tidak hanya penindakan tapi juga pencegahan terhadap korupsi.

Sementara Dahnil Anzar menampik pihaknya telah melakukan praktik korupsi dan nepotisme dengan mendaftarkan Gibran sebagai calon wakil presiden dari calon presiden Prabowo. Menurut dia, pendaftaran Gibran adalah proses hukum yang perlu dihormati. Selain itu, semuanya merupakan bukti kekuatan kaum muda. Selain itu, menurutnya, keberadaan klan politik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.

“Kita lihat track record Jokowi, tidak ada tujuan mengakumulasi ekonomi dan kekuasaan. Demikian juga anak-anaknya. Bagi saya sudah jelas, motifnya adalah ingin memberikan pelayanan kepada publik,” katanya.

Lebih lanjut, yang perlu dimasifkan adalah reformasi birokrasi dan gerakan-gerakan melawan korupsi, melalui pembudayaan sejak dini selain juga gerakan-gerakan struktural. Ia menyebut 17 di antara program Prabowo-Gibran adalah mendorong kebijakan antikorupsi.

“Penggunaan kekuasaan dan fasilitas negara bisa diawasi dengan sangat intensif oleh semua pihak yang terkait. Agak sulit kalo semua pihak lebih berani bersuara apabila ada pelanggaran-pelanggaran. Kami yakin tidak semudah itu ada praktek penyalahgunaan yang telanjang,” tutur Dahnil. []

AJID FUAD MUZAKI