August 8, 2024

Memaknai Politik Identitas Pemilu 2024

Dalam sejarah panjang umat manusia, dinamika identitas yang sehakikatnya berjalan dalam tataran fiksi diartikan bukan sebagai hal yang “tidak ada” melainkan terikat satu sama lain dalam keyakinan yang seragam atau intersubjektif. Bahwa pada akhirnya selalu menghantarkan manusia pada dinamika sosial politik yang unik, sekaligus mengerikan dalam beberapa periode tertentu.

Di Indonesia, apa yang kemudian jamak dikenal sebagai fiksi tersebut telah sampai pada satu kesatuan tunggal untuk mendirikan Republik Indonesia. Dalam prosesnya, pengisian kenegaraan dan kebangsaan Indonesia diisi oleh berbagai macam cara, sejarah telah mencatat ada begitu macam cara atau sistem yang telah diterapkan sebagai satu ikhtiar konkret mencapai the-not-yet atau yang belum tiba, suatu hal yang diambil di depan untuk diciptakan di masa lalu yakni semacam visi nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta turut menciptakan perdamaian dunia.

Dalam alam realitas manusia sesungguhnya, masyarakat Indonesia adalah suatu jenis masyarakat multikultural yang begitu berbeda secara rasial dan suku, keanekaragaman dalam hal ini menciptakan masyarakat Indonesia mempunyai pandangan yang beragam, termasuk dalam persoalan tata kelola kemasyarakatan; sosial politik, yang pada akhirnya kerap menjadikan manusia Indonesia dalam lumpur kesangsian perkelahian yang tunduk pada kealamian tabiat zaman. Partai politik sebagai wadah katalisator dalam komitmen merealisasikan cita-cita kemerdekaan Indonesia menjadi titik paling sentral dalam pengelolaan tata kelola negara dari dulu, kini, dan hingga nanti.

Identitas dalam partai politik

Partai politik diartikan sebagai “organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945” (UU 2/2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan UU 2/2011).

Dalam usaha untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politiknya tersebut, partai politik kerap menggunakan berbagai macam cara yang tentunya dalam idealisme partai politik selalu berangkat dalam ruang-ruang pelaksanaan cita-cita kemerdekaan bangsa serta penguatan politik dan demokrasi Indonesia.

Akan tetapi, dalam prosesnya justru kerap menggunakan hal-hal yang akan mengerosi demokrasi itu sendiri. Kemunduran demokrasi dalam tulisan ini dimaknai sebagai satu perilaku budaya politik yang mengedepankan semangat identitas masing-masing serta melupakan kepentingan khalayak banyak.

Senada dengan hal ini Luthfie Mukhasin dalam “Islamisme dan Kemunduran Demokrasi di Indonesia: Problema dan Tantangan ke Depan” menyatakan jika kemunduran demokrasi merupakan “sebuah proses perubahan gradual dan kecenderungan di mana kualitas demokrasi baik dari aspek kebebasan, partisipasi dan akuntabilitas mengalami kemerosotan karena rongrongan sistemik yang berasal dari para aktor dan lembaga demokratis yang seharusnya menjaganya”.

Isu politik identitas pun kerap digunakan sebagai ajang legitimasi konstituen bagi partai politik atau sengaja dimanfaatkan untuk meraup segmentasi pemilih partai politik. Penggunaan politik identitas ini memang tidak akan pernah mati di Indonesia, seolah ditarik pada persoalan lama. Beberapa fenomena politik disebut-sebut dapat memantik kembali sulut api pertentangan antara negara dengan agama sebagaimana yang telah terjadi dalam sejarah. Isu keagamaan pun kerap dimainkan sebagai komoditas politik yang berimplikasi logis pada terpopularisasinya masyarakat.

Efek proporsional terbuka

Jika ditilik lebih dalam, penggunaan politik identitas adalah sebab dari diterapkannya sistem multipartai dan proporsional terbuka di Indonesia. Dengan adanya sistem multipartai, maka gerakan keagamaan yang biasanya berbasis NGO atau serupanya menjelma satu kekuatan entitas politik baku sebagai suatu upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai kepercayaannya pada sistem politik yang ada. Selain itu, gerakan keagamaan yang bertransformasi dalam sistem multikepartaian ini menjadi katalisator perkawinan antara agama dan politik yang mempromosikan nilai-nilai keseimbangan (washatiyah) atau toleransi dalam kerukunan antarsesama warga negara.

Sistem multipartai juga berimplikasi pada banyaknya partai politik yang sebenarnya mempunyai akar ideologis yang sama, analoginya meskipun namanya berbeda-beda tetapi bahan utama masakannya sama. Hal ini nampak misalnya dalam partai politik Islam.

Jika di era Orde Lama dan Orde Baru masing-masing partai Islam terwakilkan dalam Masyumi dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), akan tetapi saat keran-keran demokrasi dibuka selebar-lebarnya maka yang nampak adalah partai-partai yang kemudian tercecer. Misalnya, terdapat Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Ummat yang senyatanya memiliki jejak historis pendiri yang sama, atau PKS dengan Partai Gelora, Demokrat dengan PKN.

Dampak sederhana dari fenomena ini adalah biasnya pandangan ideologi sebagai dasar pijak partai politik dalam usaha mentransformasikan nilai-nilainya di dalam segala bentuk kebijakan negara. Yang muncul, justru pragmatisme dan sentimen politik serta penonjolan politik identitas dalam segala bentuk perilakunya ditambah dengan gimmick-gimmick politik menggelitik.

Politik pragmatis

Tak heran, jika kemudian politik identitas sendiri akan menjadi niscaya, secara pragmatis-hal ini sebagai suatu upaya paling konkrit untuk tetap mempertahankan basis konstituen. Meskipun dalam waktu yang panjang, penggunaan politik identitas akan berdampak kronis terhadap demokrasi-politik tanah air.

Penjualan atribut keagamaan, slogan-slogan dan iklan-iklan berbasis identitas keagamaan menjadi hal sentral di Indonesia, hal ini tidak lepas dari jumlah penduduk Muslim Indonesia yang hampir menyentuh angka 90% dari total populasi. Selain itu, di dalam salah satu keyakinan muslim, diwajibkan bagi mereka untuk memilih pemimpin dari golongannya, hal yang masih menjadi perdebatan, bukan hanya bagi Masyarakat Indonesia pada umumnya melainkan di dalam tubuh umat Islam sendiri.

Hal yang kemudian perlu diperhatikan, ialah isu keagamaan ini seolah-olah dimainkan untuk menarik simpati dan bahkan menjadi bahan kampanye negative bagi pasangan tertentu. Kasus Ganjar Pranowo yang menampilkan dirinya dalam azan maghrib salah satu televisi swasta, memantik berbagai macam reaksi politik lainnya. Atau penggunaan politik identitas yang digunakan Anies-Uno dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 yang kemudian memanfaatkannya dengan “penyerangan” terhadap kubu Ahok-Djarot.

Jika ditilik dalam konsepsinya, senyata-nyatanya apa yang kemudian tampak sebagai politik identitas merupakan hanyalah tataran fiksi yang dipercayai sebagai suatu realitas intersubjektif antar sesamanya. Partai politik kemudian menginstitusionalkan hal tersebut menjadi bentuk konkrit. Sehingga, yang menjadi fiksi tersebut sebenarnya tidak bisa lagi dipercayai, karena kebenaran dalam tataran fiksi-yang senyata hanya ada dalam tataran idealisme-akan runtuh di hadapan alam realitas. Tak heran, jika term baru politic of fictions untuk menggambarkan politik identitas tidak perlu lagi diragukan.

Melawan yang fiksi, tentunya harus dilakukan dengan yang fiksi kembali. Dalam hal ini ialah dengan menciptakan satu ruang bersama jika penggunaan politik identitas dan isu-isu keagamaan lainnya yang kemudian marak dalam pergaulan politik tanah air pascareformasi ini harus dikoreksi dengan satu jejaring makna dan fiksi baru, jika Indonesia-sebagai tataran intersubjektif bersama- perlu lebih diperhatikan ketimbang sentimen keagamaan, rasial, suku atau gender.

ISMA MAULANA IHSAN

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung