August 8, 2024

Regulasi Khusus AI dalam Pemilu Perlu Diatur

Penggunaan artificial intelligence (AI) dalam pemilu mengemuka sejak kasus eksploitasi data pribadi pada Pemilu Amerika Serikat 2016. Kala itu, Cambridge Analytica, perusahaan konsultan teknologi asal Inggris memberikan jasa konsultasi kepada salah satu calon presiden di Pemilu Amerika Serikat. Cambridge Analytica memberikan analisis terhadap data perilaku politik pemilih yang dijual oleh perusahaan media sosial Facebook. Sejak saat itu, muncul upaya untuk meregulasi penggunaan AI dalam politik dan pemilu, guna mencegah eksploitasi AI untuk tujuan politik elektoral.

Dalam konteks Indonesia, ada tiga institusi yang dapat mengatur tata kelola penggunaan AI di pemilu, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kominfo mengeluarkan Surat Edaran Kominfo mengenai Pedoman Etika Penggunaan Kecerdasan Buatan atau AI. KPU pun telah mengesahkan Peraturan KPU (PKPU) No.15 dan No.20 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum. Sementara itu, Bawaslu melakukan pengawasan terhadap proses kampanye.

Namun demikian, regulasi-regulasi yang ada tak cukup mencegah eksploitasi penggunaan AI di pemilu, karena tidak secara spesifik mengatur penggunaan AI dalam pemilu. Indonesia memang telah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang memuat sanksi pidana bagi pihak yang memproduksi dan menyebarkan konten disinformasi dan ujaran kebencian, namun tak ada norma yang spesifik mengatur penggunaan AI dalam pemilu.

“Jadi, kalau konten yang dibuat dengan AI mengandung disinformasi dan hatespeech, bisa ditindak oleh UU ITE. Ini bisa untuk menahan laju konten disinformasi yang dibuat dengan AI. Tetapi, norma yang ada masih sangat ambigu, tidak spesifik mengatur penggunaan AI dalam pemilu,” urai asisten peneliti Center for Digital Society (CfDS), Alifian Arrazi, pada diskusi online “AI at the Polls: Unpacking AI’s Utilisation and Regulation on Indonesian Election” (26/2).

Surat Edaran Kominfo terkait Etika Kecerdasan Buatan juga masih menjadi tantangan. Meskipun surat edaran ini memberikan panduan penggunaan AI di Indonesia, tetapi juga tidak mengatur penggunaan AI dalam pemilu.

Begitu juga dengan PKPU Kampanye Pemilu. Aturan tersebut tidak memuat norma mengenai praktik penggunaan AI di pemilu.

Untuk menertibkan penggunaan AI di pemilu, Alifian menyarankan dua hal. Pertama, diaturnya spesifikasi penggunaan AI dalam pemilu, serta transparansi dan akuntabilitas penggunaan AI oleh peserta pemilu, termasuk adanya kewajiban untuk memberikan keterangan pada konten yang dihasilkan oleh AI. Kedua, meningkatkan kolaborasi antar institusi penyelenggara pemilu dan institusi yang menangani AI.

“Penting adanya mekanisme untuk mengidentifikasi AI generated content. Di Tiongkok misalnya, ada peraturan bahwa konten produk AI bisa ditandai bahwa itu merupakan konten berbasis AI. Pembahasan AI dalam pemilu juga sebaiknya tidak dilakukan sendiri-sendiri secara internal lembaga, tetapi harus ada kolaborasi,” tutup Alifian. []