August 8, 2024

Perilaku Otoriter Terlihat pada Penguasa, Uang, dan Pendapat

Kemenangan Prabowo Subianto pada Pemilu Presiden 2024 memunculkan sejumlah kekhawatiran. Terlebih, belum lama ini, Prabowo berpesan agar pihak yang tak ingin bekerjasama tidak menganggu jalannya pemerintahan. Pengamat politik Hendri Satrio menilai, ungkapan tersebut merupakan sikap otoritarian.

“Habis mengatakan begitu, lalu Dahnil Anzar menjelaskan bahwa yg dimaksud Prabowo adalah, mengkritik jangan asal bunyi atau tidak ada isisnya. Nah, asal bunyi (asbun) atau tidak ini hanya bisa dinilai oleh penguasa. Ketika bertentangan, pasti penguasa menilai suatu kritik itu asbun,” tutur Hendri pada diskusi online “Koalisi Besar Menuju Demagog Otoriter” (18/5) yang diselenggarakan oleh LP3ES.

Hendri kemudian menceritakan adanya temuan terkait kriteria baru pemimpin kepala daerah yang dikehendaki oleh masyarakat. Berdasarkan hasil survei lembaga yang diinisiasinya, yakni KedaiKOPI, kini masyarakat menginginkan pemimpin yang memberi hadiah. Kriteria ini sebelumnya tak pernah mengemuka diungkapkan oleh masyarakat pada pemilu atau pemilihan kepala daerah sebelumnya.

“Kalau ditanya akan memilih pemimpin yang bagaimana, biasanya jawabannya yang tegas, jujur, sederhana, taat beribadah. Lalu muncul kriteria baru, yaitu pemimpin yang memberi hadiah. Ketika diperdalam mengapa memilih pemimpin yang memberi hadiah, masyarakat mengatakan bahwa pada saat pemimpin menjanjikan kesejahteraan, maka pemimpin tersebut harus membuktikan dirinya sejahtera terlebih dulu. Cara membuktikannya adalah dengan memberikan hadiah atau uang,” ungkap Hendri.

Menurut Hendri, uang dapat mengubah seorang calon pemimpin menjadi pemimpin terpilih yang otoriter. Tatkala menduduki kekuasaan, sang pemimpin dengan sumber daya uang besar dapat memerintah sewenang-wenang, dan merasa cukup menenangkan masyarakat hanya dengan bantuan sosial seperlunya.

Selain itu, Hendri juga menemukan fenomena perilaku otoriter pada masyarakat. Ia mencontohkan kasus perbedaan pendapat terkait pelatih sepakbola Tim Nasional Indonesia, Shin Tae-yong, dalam percakapan di media sosial. Pendapat sebagian orang yang mengkritisi kebijakan Shin Tae-yong mengdapatkan serangan dan hujatan dari sebagian besar publik yang mengapresiasi kinerja Shin-Tae-yong.

“Bung Toel ini kan mengkritisi Shin Tae-yong untuk masalah naturalisasi. Dia mengungkapkan bahwa apabila pelatih lokal diberikan fasilitas seperti Shin Tae-yong, seperti naturalisasi dan pendanaan luar biasa, maka pelatih lokal juga bisa suskes seperti Shin Tae-yong. Lalu yang terjadi adalah, penolakan masyarakat atas pendapat Bung Toel. Bully-an terjadi kepada Bung Toel. Jadi, sikap untuk menyingkirkan orang yang berbeda sudah masuk ke ranah non politik. Kalau gak setuju, maka akan disingkirkan,” kisah Hendri.

Fenomena perilaku otoriter yang ditemukan pada figur pemimpin, uang untuk kekuasaan, dan ketidaksukaan pada perbedaan pendapat di masyarakat, menurut Hendri, perlu disikapi. Masyarakat sipil perlu memperkuat diri untuk menjadi oposisi bagi pemerintahan koalisi besar Prabowo-Gibran, serta memberikan pendidikan politik kepada masyarakat untuk menguatkan masyarakat sebagai demos yang bermakna mengawal pemerintahan.

“Bagi penguasa, paling enak adalah rakyat yang kosong. Fenomena buzzer yang merespon adanya kritik ke pemerintah, adalah cara termurah pemerintah untuk menghindari kritikan,” ujar Hendri. []