Dalam buku “The Coalition Presidents Make” (2023), Marcus Mietzner, seorang Associate Professor pada Australian National University menyoroti koalisi pemerintahan yang dibentuk oleh presiden-presiden terpilih. Pada kasus Indonesia, partai politik dari presiden pemenang pemilu tak pernah memperoleh suara mayoritas.
2004, Partai Demokrat pimpinan presiden terpilih Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya memperoleh suara sebesar 7,45 persen dari total suara sah nasional. 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai tempat Presiden Joko Widodo atau Jokowi berkader, memperoleh suara 18,95 persen. Kemudian 2024, partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dipimpin oleh presiden terpilih Prabowo Subianto hanya memperoleh suara sebanyak 13,22 persen.
Dalam situasi rendahnya suara partai, dengan demikian perolehan kursi parlemen, baik SBY maupun Jokowi berupaya membangun koalisi besar di periode kedua pemerintahan. Hal yang sama tak berlaku pada Prabowo. Prabowo telah menghimpun dukungan untuk koalisi super besar sejak awal periode pertama.
Hal tersebut dinilai oleh pengamat politik Hendri Satrio sebagai tanda peringatan. Koalisi super besar dapat memunculkan demagogi otoriter.
“Prabowo kali ini mengajak semuanya bergabung di koalisinya langsung di periode pertama.
Kita perlu waspada, harus tetap terjaga agar demagogi otoriter tidak semakin menjadi,” tukas Hendri pada diskusi online “Koalisi Besar Menuju Demagog Otoriter” (18/5).
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto mengatakan bahwa gejala-gejala demagogi otoriter telah terlihat sejak awal Reformasi. Terdapat upaya sistematis untuk melemahkan partai politik, salah satunya dengan mengkooptasi partai untuk menjadi bagian kekuasaan. Ada kecenderungan untuk melemahkan pendapat berbeda, guna mengefektifkan jalannya pemerintahan.
“Partai-partai diintervensi. Ada konflik di sana, dan ketua barunya berpihak pada kekuasaan. Kemudian anti pada suara yang berbeda,” ujar Wijayanto pada diskusi yang sama.
Wijayanto juga menyayangkan tidak berfungsinya parlemen sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif. Selama 2019-2024, fungsi legislasi didominasi oleh eksekutif. Revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Omnibus Law, dan UU Ibu Kota Negara disahkan tanpa adanya kritisisme yang signifikan di parlemen.
“Oleh karena itu, kita perlu kembali pada penegasan pemisahan trias politica. Mesti ada perimbangan kekuasaan. Jika tidak ada penyeimbang di parlemen, institusi demokrasi akan dilemahkan. Ada revisi UU Mahkamah Konstitusi yang sedang dibahas saat ini, yang sangat mungkin melemahkan institusi peradilan, yang menjadi bagian dari trias politica,” tegas Wijayanto.
Demagog adalah gambaran seorang pemimpin politik yang berusaha meraih dukungan dengan cara memanfaatkan emosi, prasangka, dan ketakutan politik masyarakat. Seorang demagog kerap mengabaikan fakta dan rasionalitas, serta menggunakan retorika populis untuk menarik perhatian dan mengeksploitasi isu-isu kontroversial untuk mempertahankan kekuasaan. []