Indonesia Corruption Watch menyebut perlu ada pengawasan ketat dana hibah Pilkada 2024, karena kasus korupsi dana hibah pilkada marak terjadi. ICW mencatat, sepanjang tahun 2023 terdapat 17 kasus korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum, 11 kasus di antaranya berkaitan dengan korupsi dana hibah pilkada, dengan kerugian keuangan negara mencapai Rp 38,2 miliar.
“Tak kurang sekitar Rp 41 Triliun anggaran publik akan digelontorkan untuk memilih pemimpin baru di 541 daerah di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut naik hampir dua kali lipat dari biaya pilkada sebelumnya yang menghabiskan biaya sebesar Rp 20,4 Triliun pada tahun 2020, Rp 15,15 Triliun pada tahun 2018, dan Rp 5,9 Triliun pada tahun 2017,” tulis ICW dalam siaran pers (31/7).
Sesuai ketentuan Pasal 166 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, dinyatakan bahwa pendanaan kegiatan pilkada dibebankan kepada APBD dan dapat didukung oleh APBN. Pendanaan berasal dari APBD itu selanjutnya dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dengan alokasi pendanaan pilkada masing daerah berasal dari anggaran 2023 sebesar 40% dan tahun anggaran 2024 sebesar 60%. Kemudian, dana hibah tersebut akan diberikan kepada KPU dan Bawaslu provinsi untuk pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, serta KPU dan Bawaslu kabupaten/kota untuk pemilihan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota.
Dilansir dari publikasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), hingga pertengahan Juli 2024 realisasi NPHD antara Pemda dengan KPU Daerah sudah mencapai 76,9%, atau senilai Rp 22,11 triliun dari 541 daerah. Realisasi dana hibah untuk Bawaslu Daerah senilai Rp 6,31 triliun, dan realisasi dana hibah dari pemda untuk TNI sudah disalurkan sebesar Rp 567.43 miliar, dan untuk Polri disalurkan sebesar Rp 1,71 triliun.
“Anggaran publik, terlebih jika berjumlah besar, selalu rawan untuk disalahgunakan. Tak lupa bahwa kasus korupsi anggaran publik seringkali melibatkan banyak aktor. Kerentanan ini patut disikapi serius, terlebih telah ada banyak kasus penyelewengan anggaran pilkada pada tahun-tahun sebelumnya,” jelas ICW.
Menurut ICW, anggaran pilkada termasuk dana hibah yang didistribusikan di setiap daerah membuka ruang konflik kepentingan kepala daerah atau pejabat yang berwenang. Mereka berpotensi merekayasa anggaran agar dapat menguntungkan pihak yang didukung, atau dirinya sendiri jika ia maju dalam kontestasi pilkada 2024. ICW memandang, praktik korupsi pada masa pemilu dapat menjadi awal dari mata rantai korupsi.
“Oleh karena itu, penting untuk mendorong komitmen dan integritas seluruh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada termasuk pemerintah daerah, KPU dan Bawaslu di daerah. Selain itu, peran pengawasan dan dorongan transparansi anggaran Pilkada perlu dilakukan oleh aparat penegak hukum, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), dan publik luas,” tegas ICW. []