Pegiat kepemiluan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merespon cepat dugaan pencatutan data warga untuk pencalonan perseorangan Pilkada DKI Jakarta. Ia menyebut, adanya indikasi dan temuan awal, Bawaslu tidak perlu menunggu adanya laporan, karena hal tersebut berindikasi menjadi pelanggaran, bahkan tindak pidana pilkada.
“Dalam undang-undang pilkada kita, pada pasal 185 dan pasal 186 disebutkan, penggunaan keterangan yang tidak benar ataupun dukungan palsu terhadap pencalonan perseorangan merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara minimal 12 bulan, dan paling lama 36 bulan dan denda minimal 12 juta maksimal 36 juta,” jelas Titi melalui siaran Instagram pribadinya (16/8).
Menurut Titi, indikasi temuan penyalahgunaan data perlu direspon cepat Bawaslu, karena jika terbiarkan bisa tereskalasi menjadi spekulasi, dan kontroversi yang berujung menggerus kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pilkada 2024. Selain itu, ia juga menghimbau masyarakat yang namanya atau datanya dicatut, untuk bersedia melaporkannya ke Bawaslu terdekat, sehingga bisa diproses hukum dan bisa memberikan efek jera pada yang melakukan pencabutan atau pelanggaran.
“Tindak lanjut yang responsif dan segera dari Bawaslu bisa menjaga kredibilitas calon yang diduga mencatut dukungan,” imbuhnya.
Sebelumnya, pada 15 Agustus 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta menyatakan pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana lolos verifikasi faktual tahap akhir sebagai bakal calon gubernur (cagub) dan wakil gubernur (cawagub) jalur independen untuk maju pada Pilkada Jakarta 2024. Namun banyak warga Jakarta mengaku menjadi korban yang identitas Nomor Induk Keluarga (NIK) KTP dicatut sepihak untuk mendukung pasangan calon independen Pilgub DKI Jakarta.
Selain itu, Titi menjelaskan, penyelenggara pemilu mulai Panitian Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), hinigga KPU Daerah yang tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi atas syarat dukungan perseorangan juga merupakan tindak pidana. Tindakan itu diancam pidana penjara minimal 36 bulan, dan maksimal 72 bulan, serta denda minimal 36 juta maksimal 72 juta. []