Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk bertanggung jawab untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan. Karena jika merujuk pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999, setidaknya ada beberapa kelompok yang disebut sebagai kelompok rentan di antaranya perempuan, lanjut usia, penyandang disabilitas dan masyarakat hukum adat.
“Pelindungan HAM sebagaimana yang dimaksud dalam tanggung jawab negara merupakan tanggung jawab dari KPU dan penyelenggara pemilu lainnya, juga lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung (MA) untuk menjamin bahwa perempuan tidak dihilangkan haknya untuk dipilih sebagai calon legislatif melalui peraturan kuota 30 persen,” kata Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu di Ruang Sidang DKPP, Jakarta (23/10).
Menurut Atnike, perempuan berada dalam posisi rentan secara sosial, ekonomi, maupun politik sehingga memerlukan kebijakan afirmasi bagi perempuan. Ia menjelaskan, aturan afirmasi keterwakilan perempuan melalui kebijakan minimal 30 persen calon legislatif sudah tertuang dalam UU maupun peraturan lainnya yang terikat.
Lebih lanjut, dalam Pasal 28I ayat 4 UUD 1945, hal terkait perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara. Untuk itu, KPU harus memastikan ketersediaan 30 persen keterwakilan perempuan untuk memberikan kepastian hukum serta pemenuhan rasa keadilan kelompok perempuan dalam pemilu.
Sementara Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah menegaskan bahwa isu keterwakilan perempuan dalam politik, KPU harus melihatnya pada tiga dasar yakni prinsip non-diskriminasi, kesetaraan substantif, dan kewajiban negara. Ia juga menekankan bahwa sistem kuota 30 persen merupakan kewajiban konstitusional.
Selain itu, kebijakan afirmasi politik kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam pemilu merupakan sebuah kebijakan global yang telah diadopsi Indonesia. Menurutnya, kuota 30 persen tersebut akan berkontribusi pada praktek yang sama menduduki jabatan publik dan proses rekrutmen yang terbuka.
“Proporsi kursi yang ditempati di pemda dan pempus harus memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Dan sebagai penyelenggara negara, KPU tidak boleh mereduksi kebijakan global berupa afirmasi, hanya karena hal-hal yang berkaitan dengan administrasi dan formatif,” tegasnya. []