Pilkada 2024 yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Tapi Muhammad Rizky, sepertinya masih galau akan menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon pasangan gubernur dan pasangan calon bupati yang ada. Pria 30 tahun asal warga Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten itu tak punya pilihan yang baik.
Rizky sadar betul kedua pasangan kandidat yang akan dipilihnya di provinsinya berafiliasi dengan politik dinasti. Dia menduga politik dinasti dilakukan lantaran ingin Banten tetap menganut sistem seperti kerajaan, dengan tahta turun temurun kepada keluarganya.
“Politik dinasti banyak disalahartikan sebagai suksesor atau penerus pemimpin sebelumnya, dan itu menciderai demokrasi,” kata Rizky, kepada IDN Times, Selasa (26/11).
Rizky menyangkan politik dinasti justru terjadi di Banten, tempat tinggalnya. Menurut dia meskipun melalui proses Pilkada, warga Banten tidak mendapat pilihan lain, selain pasangan calon yang terkait politik dinasti.
“Pendapat pribadi hal itu sangat disayangkan dan berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia karena politik dinasti cenderung menguntungkan sebagian pihak terutama lingkaran penguasa daripada kepentingan rakyat,” katanya.
Rizky beranggapan di era teknologi informasi yang bebas sekarang ini, Banten seharusnya memiliki calon pemimpin yang bukan hanya mengandalkan politik dinasti, melainkan sosok yang benar-benar layak dan kompeten memimpin Banten.
“Harus fokus pada kelayakan calon yang akan memimpin Banten, harus jelas visi misinya dan harus bekerja untuk kepentingan rakyat karena Banten Salah satu provinsi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan tinggi di Indonesia,” katanya.
Berbeda dengan Rizky, Prayudha, warga Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, mengaku tidak masalah memiliki calon gubernur atau pun bupati yang berasal dari politik dinasti, asal memiliki integritas dan berkualitas memimpin daerahnya.
“Setiap orang kan sebenarnya boleh saja mencalonkan diri menjadi gubernur Banten atau Bupati Tangerang, tapi harus yang berintegritas dan ingin memberikan solusi untuk permasalahan di Banten,” kata pria 28 tahun itu.
Namun, Prayudha tidak akan memilih paslon yang memiliki keterikatan dengan politik dinasti, apalagi yang memiliki rekam jejak buruk. Sebab, dia beranggapan politik dinasti tetap tidak baik untuk proses demokrasi di Banten ke depannya.
“Karena nanti yang maju untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin di Banten, hanya yang memiliki latar belakang politik dinasti agar supaya menang,” kata pria yang akrab disapa Yudha.
Dia ingin sosok pemimpin Banten dan Kabupaten Tangerang benar-benar bisa mengentaskan masalah-masalah yang telah berakar di Banten. Apalagi, pemimpin di Tanah Jawara ini mayoritas terjerat kasus korupsi.
“Saya ingin agar pemimpin ke depan dapat menganggap serius pendidikan bagi warga Banten ya, dari fasilitas dan kualitas yang mumpuni,” ungkap Prayudha.
Sementara, Ahmad Romli, warga Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, mengaku mengetahui adanya politik dinasti, namun tidak begitu mempermasalahkan. Sebab, politik dinasti tidak berpengaruh lantaran masyarakat tetap memilih langsung kandidat yang ditawarkan.
“Kalau menurut saya sih gak masalah ya, kan tergantung pilihan rakyat, kalau rakyat milih yang dinasti, ya mau gimana?” kata ujar pria 40 tahun itu.
Namun, menurut Romli, paslon yang memiliki kaitan dengan politik dinasti tetap harus memiliki kemampuan memimpin yang baik, serta memiliki program yang pro rakyat, bukan hanya mengandalkan dinasti.
“Kalau programnya bagus, tidak masalah dinasti atau tidak, yang penting bisa bikin lapangan kerja banyak, pendidikan gratis, jalan-jalan diperbaiki, sembako murah,” ungkapnya.
Meski begitu, Romli tetap berharap, siapapun yang memimpin Banten dan Kota Tangerang Selatan bisa benar-benar menepati janji politiknya terhadap rakyat yang memilih, bukan kepada partai atau pun pengusaha.
“Jangan sampai, begitu duduk di kursi Gubernur atau Wali Kota, jadi hilang ingatan, karena yang harusnya pertama diberi ucapan dan perlakuan terimakasih adalah rakyat yang memilih, bukan partai atau pengusaha,” katanya.
Banten memang menjadi salah satu wilayah dengan praktik politik dinasti yang cukup kuat, sejak pertama kali berpisah dari wilayah Jawa Barat pada 4 Oktober 2000. Banten pertama kali dipimpin penjabat yang ditunjuk pemerintah pusat kala itu, yakni Sekretaris Daerah Jawa Barat, Hakamuddin Djamal, sebelum akhirnya diadakan pilkada dan digantikan Djoko Munandar dan wakilnya Ratu Atut Choisiyah pada 11 Januari 2002.
Sayangnya, belum genap lima tahun menjabat, Djoko Susilo terjerat kasus korupsi hingga dinonaktifkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu. Kursi Banten 1 lantas diisi wakilnya, Ratu Atut Choisiyah. Djoko divonis bersalah di tingkat pertama dan banding terkait kasus penyalahgunaan dana Rp14 miliar untuk memperkaya anggota DPRD Banten. Djoko divonis dua tahun penjara dan denda Rp100 juta. Djoko meninggal dunia pada 4 Desember 2008 pada usia 60 tahun, sementara putusan kasasi keluar pada 2009.
Pada 2011, Ratu Atut Chosiyah bersama Rano Karno mencalonkan diri sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Banten dan menang. Mereka dilantik pada 30 Oktober 2011. Sayangnya, pada 2014, Atut terjerat kasus korupsi dan didakwa bersalah. Rano Karno lantas menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur kala itu, hingga 2016 dan digantikan Nata Irawan sebagai Plt Gubernur menunggu proses Pilgub Banten 2017.
Lalu, pada 2017, Rano Karno menggandeng Embay Mulya Syarif mencoba mencalonkan diri melawan Wahidin Halim-Andika Hazrumy. Diketahui, Andika merupakan anak Ratu Atut Chosiyah, yang lantas berhasil memegang kekuasaan Banten.
Tak hanya di tingkat gubernur, politik dinasti juga terjadi di kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten, seperti Pandeglang, Lebak, hingga Tangerang Selatan. Bahkan, terdapat tiga klan kuat di Banten, yakni Klan Jayabaya yang menguasai Lebak, Klan Ratu Atut yang menguasai Tangsel, dan Klan Natakusumah yang menguasai Pandeglang.
Pandangan Masyarakat Terhadap Politik Dinasti
Populix dalam survei bertajuk Partisipasi dan Opini Publik Menjelang Pilkada 2024: Politik Dinasti dan Politik Uang, menemukan sebagian besar pemilih cenderung mewajarkan praktik politik dinasti ketimbang politik uang. Hasilnya, mayoritas mengaku akan menolak dan cenderung siap melaporkan praktik politik uang. Kesimpulan ini didapatkan melalui survei kepada 962 responden yang didominasi Gen-Z dan Milenial.
Populix menemukan 65 persen responden cenderung mewajarkan politik dinasti. Bahkan, lebih dari 21 persen responden menyatakan bisa menerima politik dinasti. Sedangkan yang benar-benar menolak hanya sekitar 10 persen dari total responden.
Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat Tamara, menjelaskan politik dinasti merujuk pada kekuasaan di bidang politik yang dikuasai sekelompok orang yang masih terikat hubungan keluarga. Meskipun tidak serta merta melanggar demokrasi, pola politik ini cenderung bertentangan dan mengancam konsep desentralisasi kekuasaan yang menjadi landasan sistem demokrasi. Sebab dalam sebuah dinasti, keputusan publik cenderung diabaikan.
Nazmi menjelaskan, sebanyak 74 persen responden yang mewajarkan politik dinasti beralasan karena mereka tidak masalah, selama kandidat memiliki kompetensi yang baik.
“Temuan ini senada dengan hasil penelitian kami sebelumya tentang kriteria calon pemimpin daerah. Di mana publik kini cenderung lebih berfokus pada sosok calon pemimpin daerah, dengan rekam jejak dan visi-misi sebagai kriteria utama,” tutur dia dalam keterangannya, Rabu, 20 November 2024.
Selain kompetensi kandidat, proses pemilihan umum secara langsung menjadi alasan 54 persen responden menerima politik dinasti. Hal ini menunjukkan kepercayaan publik terhadap integritas proses pemilihan umum di Indonesia.
“Kemudian lebih dari sepertiga responden percaya, keberlanjutan dinasti akan menjamin keberlanjutan kebijakan dari periode sebelumnya. Alasan ini mungkin mewakili keresahan publik terhadap perubahan kebijakan yang terjadi setiap pergantian kepemimpinan,” tutur Nazmi.
Lebih lanjut, Nazmi menjelaskan, politik uang disodorkan kepada seluruh kalangan pemilih. Temuan Populix membantah adanya anggapan politik uang hanya ditawarkan kepada masyarakat kelas menengah ke bawah.
Politik uang sendiri merujuk kepada praktik pemberian atau janji menyuap agar mereka tidak memilih atau memilih sesuai arahan dari si pemberi suap. Aksi ini biasa dilakukan menjelang hari pemilihan, atau bahkan di pagi hari sebelum pemilihan yang biasa disebut ‘serangan fajar’.
“Survei Populix menyebut 50 persen responden mengaku pernah ditawari uang atau hadiah saat akan mencoblos. Berbeda dari asumsi bahwa politik uang cenderung terjadi di kalangan menengah ke bawah, 47 persen responden dari kalangan atas mengaku pernah ditawari suap,” ucap Nazmi.
Menurut hasil penelusuran Populix, tim sukses kampanye menjadi agen politik uang yang paling sering ditemukan di lapangan, disusul dengan pengurus partai politik. Tak hanya ‘orang partai’, teman atau tetangga sekitar juga ketua RT maupun RW juga ditunjuk sebagai perantara suap, demi memuluskan kemenangan bakal calon pemimpin daerah.
Meskipun gencar dilakukan, hanya 35 persen responden yang mewajarkan praktik politik uang. Selebihnya dengan tegas menolak praktik suap ini. Bahkan 77 persen dari orang yang menolak politik uang cenderung akan melaporkan pelanggaran ini kepada panitia pemilu maupun pihak berwajib lainnya.
Pengumpulan data survei ini dilakukan pada 23 sampai 26 Mei 2024, dengan melibatkan 962 responden secara online dari seluruh wilayah Indonesia. Kriteria responden terdiri dari laki-laki dan perempuan, dengan beragam latar belakang pendidikan, mulai dari SMP hingga S2. Selain itu, para responden juga mewakili tiga status sosial-ekonomi, mulai dari tingkat bawah (18 persen), menengah (43 persen), juga atas (38 persen).
Sebaliknya, hasil survei Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) mengenai sikap responden terhadap pilihan politiknya di Pilkada 2024 sedikit berbeda. Survei ini mengambil sampel di Kalimantan Timur (Kaltim) yang dilakukan di tujuh kabupaten pada 1-7 Agustus 2024.
Dalam surveinya, LPI menggunakan metode wawancara tatap muka langsung dan wawancara secara daring. Sedangkan, margin of error pada survei tersebut sekitar 4,27 persen, pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hasilnya, mayoritas responden menolak memilih politik dinasti.
“Sebanyak 50,3 persen responden tidak akan memilih yang melakukan praktik dinasti politik. Sementara 67,6 persen masyarakat menyatakan menolak praktik politik uang,” ujar Wakil Direktur LPI, Ali Ramadhan, dalam konferensi pers paparan hasil survei di Jakarta, Senin, 12 Agustus 2024.
Ali mengatakan, dinasti politik bisa menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, dia meminta masyarakat mengawal proses demokrasi dengan baik.
“Ya bagaimana kita dapat mengawal praktik tata kelola yang sehat dan setimbang, antara trimatra kekuasaan seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif bila, seluruh pucuk matranya berada dalam kendali atau jaringan dinasti politik? Yang sudah-sudah, teramat banyak kepentingan bisnis-politik dinasti bekerja melalui kuasa politik,” kata dia.
Kala itu, Ali memprediksi Pilgub Kalimatan Timur berpotensi menghadirkan dua pasangan calon, Rudy Mas’ud-Seno Adji dan Isran Noor-Hadi Mulyadi. Dan kini pun terbukti, dua pasangan calon itu menjadi kandidat di Pilkada 2024.
“Di atas kertas, pasangan Rudy Mas’ud-Seno unggul dalam hal perolehan dukungan politik partai untuk memenuhi persyaratan pendaftaran sesuai ketentuan undang-undang. Namun, apakah pasangan ini juga akan mampu meyakinkan pemilih terhadap praktik politik dinasti yang tidak disukai oleh masyarakat dan itu tergambar dari temuan survei,” kata dia.
Diketahui, Rudi Mas’ud berasal dari keluarga politikus. Kakak Rudi, Rahmad Mas’ud merupakan mantan Wali Kota Balikpapan. Rahmad juga pernah menjadi Wakil Wali Kota Balikpapan masa jabatan 2016-2021.
“Di Golkar, Rahmad menjabat sebagai Ketua DPD Golkar Balikpapan. Ada pula Hasanudin Mas’ud, kakak Rudy lainnya, yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPRD Kaltim dan Ketua DPD Golkar Kutai Kartanegara. Selain sumber daya politik, klan Mas’ud ini dikenal juga mempunyai bisnis di sektor minyak dan bisnis turunannya. Tetapi apakah seluruh modal politik dan ekonomi ini mampu dikerahkan untuk kemenangan politik pasangan Rudi-Seno Aji, kita belum bisa pastikan,” kata Ali.
Hasil survei Lembaga survei Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2023 yang salah satunya menanyakan kepada 2.567 responden mengenai politik dinasti di Indonesia, juga menyatakan, pandangan masyarakat terhadap politik dinasti cenderung negatif.
Survei ini dilakukan pada 16-20 Oktober 2023 kepada warga Indonesia yang berusia 17 tahun atau sudah menikah. Survei juga dilakukan sebelum pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka resmi dideklarasikan sebagai capres dan cawapres untuk Pilpres 2024.
Hasil survei menunjukkan pandangan masyarakat terhadap politik dinasti cenderung negatif. Sekitar 47,6 persen cukup atau sangat khawatir atas politik dinasti di Indonesia. Sementara 33,7 persen merasa biasa saja, lalu 7,5 persen tidak khawatir, dan 11,3 persen tidak menjawab.
Politik Dinasti Tumbuh Subur Bak Kanker yang Terus Menjalar
Sebuah studi oleh Yuliartiningsih dan Adrison (2022) terkait perhelatan Pilkada pada rentang waktu 2017-2020, memperjelas eksistensi politik dinasti yang tersebar di banyak daerah di Indonesia. Pada 2017-2020 terdapat tiga kali Pilkada tingkat kabupaten/kota di Indonesia, yaitu Pilkada 2017 yang diikuti 94 kabupaten/kota, Pilkada 2018 yang diikuti 153 kabupaten/kota, dan Pilkada 2020 yang diikuti 261 kabupaten/kota. Sehingga total peserta Pilkada adalah 508 kabupaten/kota.
Hasil studi itu mengungkapkan, dari total 508 kabupaten/kota peserta Pilkada, terdapat 247 kabupaten/Kota yang terindikasi politik dinasti, di mana terdapat kandidat bupati/wakil bupati/walikota/wakil walikota memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pimpinan nasional atau pimpinan kepala daerah atau anggota dewan yang berada di DPR atau DPRD, baik yang masih berkuasa atau pun berkuasa pada periode sebelumnya.
Lalu, dari 247 kabupaten/kota tersebut, kandidat politik dinasti menang di 170 kabupaten/kota atua sekitar 69 persen. Sementara, jumlah kandidat bupati/wakil bupati/walikota/wakil walikota yang terindikasi politik dinasti adalah 305 orang atau 10 persen dari total 3.030 orang jumlah kandidat.
Walau pun hanya 10 persen jumlah kandidat yang terindikasi politik dinasti, namun rasio kemenangan politik dinasti mencapai 69 persen. Sehingga kandidat bupati/wakil bupati/walikota/wakil walikota yang terindikasi politik dinasti memiliki probabilita yang besar untuk memenangkan Pilkada.
Tak hanya itu, hasil riset Nagara Institute juga mengungkap jumlah kandidat calon pemimpin daerah yang terafiliasi dengan politik dinasti meningkat dari waktu ke waktu. Pada 2005-2014, tercatat jumlahnya 59 kandidat, lalu meningkat menjadi 86 orang pada Pilkada 2015, 2017, dan 2018. Pada Pilkada 2020, naik menjadi 124 orang, sembilan di antaranya di pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Salah satu pemicu suburnya praktik politik dinasti disebut lantaran Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015. Putusan MK tersebut menghapus Pasal 7 huruf r pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang sebelumnya mengatur calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Secara hukum, dinasti politik memang bukan sebuah pelanggaran. Namun pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Arya Budi menilai hal itu merupakan sebuah patologi atau penyakit bagi sistem demokrasi. Sebab praktiknya hanya menguntungkan bagi keluarga maupun kroni dan jaringan bisnis mereka yang memegang kekuasaan. Ada potensi perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di sana.
Lolosnya Gibran pada Pilpres 2024 melalui palu hakim konstitusi MK sebagai cawapres Prabowo dianggap membuka jalan bagi elite-elite dinasti lokal untuk maju Pilkada 2024. Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menilai, palu hakim konstitusi yang meloloskan Gibran telah mematikan etika dan moral dalam bernegara.
“Makanya aduh MK juga sama, kenapa bisa diintervensi oleh kekuasaan? Nampak jelas melalui keputusan terhadap perkara nomor 90 yang menimbulkan banyak antipati, ambisi kekuasaan sukses mematikan etika moral dan hati nurani, hingga tumpang tindih kewenangannya dalam demokrasi yang sehat,” kata Megawati, saat menyampaikan pidatonya dalam Rakernas V PDIP, Ancol, Jakarta Utara, Jumat, 24 Mei 2024.
Sementara, hasil penelitian terbaru kolaborasi antara Institute for Advanced Research (IFAR) Unika Atma Jaya, Election Corner Fisipol Universitas Gadjah Mada dan pusat riset politik dan pemerintahan PolGov UGM, menunjukkan 605 kandidat dengan latar belakang politisi dinasti ikut dalam kontestasi Pilkada 2024.
Sebanyak 384 kandidat dinasti mencalonkan diri sebagai kepala daerah di tingkat provinsi dan kotamadya atau kabupaten. Kemudian, sebanyak 221 kandidat lainnya mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah. Sedangkan, jumlah total pasangan calon yang maju dalam Pilkada 2024 adalah 1.553 pasangan calon atau 3.106 orang. Artinya, persentase politisi dinasti dari angka itu adalah 19,5 persen. KPU sendiri menyebut, total daerah yang akan mengikuti penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 terdapat 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota.
Peneliti IFAR Unika Atma Jaya, Yoes C Kenawas, menilai angka tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan gelombang pemilu sebelumnya.
“Saya cukup kaget ketika menemukan fakta ini, kenaikan ini mencapai dua kali lipat. Seakan-akan tidak terbendung lagi jumlah pertumbuhan dinasti yang mengikuti Pilkada 2024,” ujar Yoes dalam media briefing yang disampaikan secara daring, Rabu 20 November 2024.
Yoes khawatir tren ini dapat meningkat di Pilkada selanjutnya. Menurut dia, apabila itu terjadi, maka pemilihan calon pemimpin di Indonesia akan menyerupai kondisi di Filipina, di mana setiap gubernurnya merupakan bagian dari politik dinasti.
Dari 605 kandidat dengan latar belakang politik dinasti, sebanyak 441 di antaranya laki-laki. Sisa 164 kandidat lainnya perempuan. Menurut Yoes, kandidat perempuan dari latar belakang dinasti politik selalu disorot.
“Sebab, dianggap kandidat boneka dan sengaja dipasang oleh kerabat laki-laki untuk pilkada,” kata dia.
Yoes memaparkan, sebanyak 605 kandidat dengan latar belakang politik itu bisa ditemukan di 352 provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Mereka ikut di 28 pemilihan calon gubernur. Sebanyak 324 pemilihan bupati atau wali kota juga terdapat politisi dinasti.
“Penambahan ini sudah menyerupai kanker. Pelan-pelan tapi sekarang hampir menyebar di seluruh daerah,” kata dia.
Dalam penelitiannya, Yoes juga menemukan adanya daerah-daerah baru yang sebelumnya tidak ada kandidat dengan latar belakang politik dinasti, kini ada. Daerah-daerah tersebut antara lain Kabupaten Belu, Kendal, dan Tabalong.
“Lagi-lagi yang saya khawatirkan, semua akan menjadi dinasti pada waktunya dan ini tentu tidak baik untuk iklim demokrasi Indonesia ke depannya,” ujar dia.
Yoes juga menyebut masih ada sejumlah provinsi yang calon gubernurnya tidak terafiliasi dengan politik dinasti. Namun, apabila dilihat dalam pemilihan calon wali kota atau calon bupati di provinsi tersebut, tetap ada latar belakang kandidat dari politik dinasti.
“Provinsi yang tidak ada cagub dari latar belakang dinasti misalnya dari Aceh, Sulawesi Utara, dan Papua,” kata dia.
Namun, ia menggarisbawahi, mayoritas daerah di Indonesia memiliki kandidat di Pilkada 2024 yang terafiliasi dengan politik dinasti. Prosentasenya mencapai 65,59 persen dari 545 daerah yang menghelat pilkada. Yoes mengungkap penyebab politik dinasti di Indonesia meningkat pesat pada Pilkada 2024. Pertama, banyak daerah yang sudah dipimpin kepala daerah selama dua periode.
“Mereka yang masih bertahan untuk mempromosikan anggota keluarganya untuk menggantikan dia atau bisa dikader dulu, Calon penggantinya ini dijadikan wakil bupati atau wakil wali kota dulu, sebelum nanti di Pilkada 2029 atau 2034 projection-nya mereka naik jadi kepala daerah,” kata Yoes.
Pemicu kedua, biaya politik yang mahal. Ia menemukan politisi incumbent atau pejabat yang berada di struktur partai politik di tingkat lokal.
“Sehingga mereka punya previlleged untuk memajukan anggota keluarganya. Sedangkan, kebanyakan masyarakat yang punya aspirasi dan mau maju, ini biayanya sangat mahal,” tutur dia.
Faktor ketiga, meningkatnya politik dinasti karena pemilih di Indonesia cenderung toleran terhadap politik dinasti. Data survei yang pernah dirilis Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan, calon pemilih di Indonesia tidak mempermasalahkan kandidat yang datang dari latar belakang politik dinasti.
“Asalkan mereka bilang kandidat dipilih secara langsung. Tapi, itu kan narasi dari elite untuk menjustifikasi politik dinasti,” kata dia.
Para elite politik ini pun, kata Yoes, sadar betul persepsi masyarakat bisa dibentuk. Salah satu caranya dengan rutin memberikan bantuan sosial. Dengan begitu, masyarakat tidak alergi terhadap kandidat dari dinasti politik.
Faktor keempat, pencalonan di tingkat partai yang tidak transparan, sehingga tidak jelas apa alasan partai memberikan rekomendasi terhadap anggota keluarga dari kepala daerah tertentu.
“Tiba-tiba yang dapat rekomendasi anak dari Bupati A saja. Dalam kebanyakan kasus, partai politik tidak transparan dalam proses pencalonan,” tutur dia.
Melihat situasi ini, kata Yoes, maka bisa disimpulkan ruang politik Indonesia makin menyempit dan menguntungkan kandidat dengan latar belakang darah biru.
Ruang politik semakin menyempit
Dengan suburnya politik dinasti, Yoes melihat ruang politik Indonesia semakin menyempit dan lebih banyak menguntungkan kandidat dengan latar belakang ‘darah biru’. Sebab, rata-rata mereka memiliki sumber daya finansial yang kuat. Apalagi, saat ini tidak ada aturan yang melarang kandidat dari dinasti politik untuk maju.
“Dulu sempat ada larangan bagi kandidat dari dinasti politik, tetapi kemudian dibatalkan oleh MK. Mulai dari situ seolah-olah kerannya seperti dibuka dan diberikan kesempatan seluas-luasnya. Otomatis yang bisa memenangkan pencalonan seperti itu hanya politisi dari dinasti politik,” kata dia.
Aturan yang dibatalkan MK dan berisi larangan bagi kandidat politik dinasti maju tertuang dalam Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 2015. Isinya mengatur calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Calon kepala daerah yang dimaksud adalah calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.
Yoes berharap perubahan aturan soal syarat pengajuan calon kepala daerah yang ditetapkan MK pada Agustus 2024 tidak diubah lagi oleh DPR. MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.
“Dengan begitu pemilu bisa kembali kompetitif dan tidak diborong oleh kandidat dari dinasti politik,” tutur dia.
Lebih parah lagi, Yoes mengatakan, dari 41 daerah yang melawan kotak kosong, sebanyak 19 calon kepala daerah di antaranya terafiliasi politik dinasti. Realita ini memperburuk keadaan Pilkada 2024. Dalam catatannya, jumlah peserta Pilkada 2024 menurun dibandingkan Pilkada sebelumnya.
“Sembilan belas daerah yang calon pemimpinnya melawan kotak kosong terafiliasi dengan dinasti politik. Jadi partai sudah diborong, tidak ada kompetitor, ditambah berasal dari dinasti politik pula,” ujar Yoes dalam talkshow politik dan pemilu GenZMemilih by IDNTimes, Rabu, 20 November 2024.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Politik Hankam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Nurhasim, mengatakan peran kelompok sipil sebenarnya bisa mencegah politik dinasti terjadi di Pilkada 2024.
“Ya suka atau tidak, kita harus mengakui bahwa peran kelompok masyarakat sipil untuk mencegah praktik dinasti politik ini dibendung atau setidak-tidaknya dibatasi, semakin berkurang setidaknya selama satu dekade terakhir. Nah, untuk mencegah hal itu sebenarnya dapat dipenetrasi melalui regulasi politik di parlemen. Meski hal itu memerlukan proses, tetapi langkah itu harus dilakukan,” ujar Nurhasim, dalam konferensi pers paparan hasil survei politik dinasti di Jakarta, Senin, 12 Agustus 2024.
Regulasi, Penegakan Hukum, Hingga Komitmen Elite Politik
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ilmu Politik-Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, mengatakan suburnya politik dinasti di Indonesia karena demokrasi tidak menjadi rule of the game yang dipatuhi aktor-aktor politik.
“Mekanisme demokrasi elektoral cuma dipakai untuk memperkuat oligarki partai dan politik dinastik. Akhirnya yang terjadi adalah pelanggaran norma, prosedur, dan prinsip demokrasi dalam pemilihan kandidat dan pelaksanaan Pilkada,” ujarnya, Selasa (27/11).
Hurriyah menjelaskan kemunculan politik dinasti yang terus meningkat bisa akibat beberapa hal. Pertama, adanya celah regulasi dan rekayasa kompetisi elektoral, di antaranya ambang batas pencalonan semakin tinggi dari Pilkada ke Pilkada, syarat calon independen semakin berat, dan pasca judicial review yang dilakukan politisi dinasti.
“Mahkamah Konstitusi pada 2015 menghapus pasal antipolitik dinasti pada UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan syarat calon kepala daerah tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana, denagn alasan membatasi hak politik dan hak konstitusional warga negara,” katanya.
Faktor kedua, kata Hurriyah, adalah problematika partai politik yakni parpol sebagai wujud monarki (family-ties), transparansi dan akuntabilitas parpol rendah, tidak ada kewajiban parpol melaporkan mekanisme rekrutmen calon, mahar politik tinggi, serta sentralisasi rekrutmen kandidat makin kuat, DPP dan ketua umum menjadi penentu.
Ketiga adalah sistem pemilu yang menitikberatkan pada calon. Kandidat sebagai tulang punggung utama pembiayaan politik selama pemilu atau Pilkada, dan akses terhadap sumberdaya politik serta finansial bergantung sekali kepada kandidat.
Keempat, problem pemilih seperti pragmatisme pemilih. Pemilu dipersepsikan sebagai hajatan politik, elite dan parpol yang punya hajat, serta pemilih dan rakyat cuma sebagai tamu, sehingga pemilih tidak terlalu perduli dengan politik dinasti.
“Tipologi pemilih beragam, di Indonesia pemilih masih didominasi oleh pemilih yang literasi politiknya rendah, tapi afeksinya terhadap calon/parpol tinggi,” kata Hurriyah.
Faktor kelima, adalah problem relasi parpol, politisi, dan pemilih, seperti keterputusan hubungan antara wakil dan terwakil, melemahnya ikatan ideologis antara parpol, politisi dan pemilih, serta pola relasi bersifat elite-massa. Hurriyah berpendapat jalan keluar untuk membenahi suburnya politik dinasti di Indonesia, adalah harus dari semua lini. Mulai dari regulasi, penegakan hukum, hingga komitmen para elite politik dan pemerintahan.
“Regulasi diperkuat, penegakan hukumnya juga. Komitmen elite jadi kunci utama. Parpol ini jadi sumber masalah. Paket Undang-Undang Politik harus direvisi untuk membenahi persoalan parpol. Kerja-kerja pendidikan politik oleh masyarakat sipil juga harus diperkuat agar literasi publik semakin baik, dan bisa membangun kritisisme untuk menolak politik dinastik,” tegas Hurriyah. []
Rochmanudin, Jurnalis IDN Times
Liputan ini telah terbit di IDN Times merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.