Menyongsong perhelatan demokrasi Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017, suasana politik menegang dan memanas.
Kebebasan bermanuver dan konflik politik pada paruh akhir tahun 2016 bertambah riuh gemanya, lebih-lebih dalam ruang media sosial, seperti Facebook, Twitter, Youtube, atau WhatsApp. Sebagian kalangan, baik akademisi maupun politisi, pun bertanya-bertanya tentang kualitas atau implementasi nilai-nilai demokrasi yang tengah berlangsung di Indonesia pada hari ini.
Pesimisme terhadap masa depan demokrasi pun tak ayal akhirnya bermunculan. Bahkan, skenario konflik terburuk seolah sudah terbayang di depan mata. Betulkah demokrasi di Indonesia sedang mengalami krisis?
Benarkah aksi-aksi politik yang terjadi beberapa waktu belakangan ini menjadi ancaman bagi demokrasi? Masih bisakah kita optimis untuk terwujudnya masa depan demokrasi yang lebih baik di Indonesia?
Paradoks demokrasi
Demokrasi memang menyimpan sebuah paradoks tersendiri. Pada satu sisi, ada semacam persepsi ketidakpastian atas mekanisme atau praktik demokrasi (Lerma and Etxabe 2013). Contohnya, hasil pemilihan presiden di Amerika Serikat terbaru yang memunculkan Donald Trump sebagai presiden yang menggantikan Barack Obama.
Sistem pemilihan presiden berdasarkan electoral vote itu dianggap kurang mencerminkan fairness, apalagi calon presiden lainnya, Hillary Clinton, ditengarai lebih unggul dalam perhitungan suara secara individual.
Pada sisi lain, demokrasi sebagai sebuah terma atau konsep masih menjadi mantra solusi yang memberi inspirasi perubahan sosial, khususnya di negara- negara dunia ketiga yang belum memiliki sistem politik yang demokratis.
Paradoks semacam ini membuat sebagian sarjana ilmu politik menempatkan demokrasi pada suatu horizon yang tidak tertandingi oleh sistem politik mana pun. Namun, pada saat yang sama, mereka mengakui kenyataan demokrasi yang tidak mampu menunaikan semua janji manis yang telah telanjur dirapalkannya.
Sesungguhnya demokrasi bukanlah sekadar sebuah pembentukan rezim pemerintahan yang begitu sekali terbangun, maka akan berlaku demikian seterusnya. Demokrasi merupakan sebuah proses politik yang di dalamnya berbagai macam bentuk paradoks terus berlangsung tanpa dapat dihindari. Inilah salah satu karakter demokrasi radikal, yang sering kali juga dikenal dengan istilah agonisme politik atau demokrasi agonistik.
Agonisme berasal dari kosakata Yunani Kuno agon. Dalam Bahasa Inggris, sinonimnya adalah struggle yang bermakna berjuang. Agonisme jangan dikacaukan dengan ”antagonisme”. Antagonisme memiliki arti sikap kontra atau perlawanan yang cenderung berkonotasi negatif. Sebaliknya, agonisme mempunyai makna yang cukup positif mencakup kompetisi atau kontestasi.
Asal muasal agonisme dapat ditelusuri pada pertandingan atletik pada zaman Yunani Kuno. Dalam pertandingan, tiap-tiap perseorangan termotivasi untuk berpartisipasi disebabkan keinginan narsistik mereka memperoleh kemenangan.
Agonisme dengan demikian adalah praktik aristokratis yang berkesesuaian dengan salah satu prinsip penting demokrasi, yaitu persamaan (Kalyvas 2009). Dengan prinsip persamaan ini, perlombaan atau kompetisi menjadi lebih cair dan berubah-ubah. Dalam bingkai inilah dapat dipahami mengapa demokrasi cenderung mengalami pasang surut dan tampak kurang stabil.
Dalam demokrasi agonistik, konflik politik merupakan hal yang tak dapat dielakkan. Sebab, justru konflik itulah yang memelihara keberlanjutan demokrasi. Konflik dalam tradisi politik agonistik berperan untuk: (1) memelihara pluralitas demi menghindari terjadinya polarisasi dan (2) menumbuhkan rasa segan terhadap kelompok yang berlainan identitas (Schaap 2009).
Singkatnya, demokrasi agonistik bertujuan untuk mencapai atau melakukan transformasi dari satu relasi yang antagonistik menjadi agonistik. Dalam ungkapan Mouffe (2000), keberhasilan demokrasi ditentukan oleh sejauh mana kemampuannya mengubah konfrontasi yang antagonistik menjadi relasi sosial yang agonistik.
Pandangan ini terkesan cukup optimistik. Konflik politik dalam beberapa bentuknya diyakini justru mengandung aspek positif.
Pesimistis atau optimistis
Pesimisme atau optimisme sebenarnya bergantung pada konsepsi demokrasi yang dijadikan landasan untuk mengamati kejadian-kejadian politik mutakhir di Indonesia.
Pesimisme mungkin dialami bagi mereka yang memahami demokrasi ala Rawls atau Habermas. Demokrasi dipahami sebagai sarana untuk menegosiasikan berbagai kepentingan guna mencapai konsensus, dan agar konsensus itu dimungkinkan untuk tercapai, maka para pihak perlu mengesampingkan kepentingan- kepentingan khusus mereka masing-masing dan mulai berpikir mencari titik temu dengan rasional obyektif.
Faktanya, dalam proses negosiasi, sering kali para pihak sulit untuk menerima tawaran melakukan kompromi, apalagi jika kepentingan yang diperjuangkan tersebut sudah menjadi harga mati.
Sebaliknya, optimisme dirasakan oleh mereka yang memaknai demokrasi dalam pengertian agonisme ala Mouffe. Jadi, sembari melakukan penyelesaian konflik politik, para pihak diminta untuk tidak hanya bersikap pragmatis dalam menghadapi konflik, tetapi juga pada saat yang sama bahu-membahu bekerja menciptakan sebuah ruang kompromi yang mampu mengatasi berbagai macam perbedaan.
Dalam demokrasi agonistik, setiap pihak yang bersaing dituntut untuk mengakui dan menghargai hak perlawanan mitra pesaingnya. Para pihak diminta memperlakukan satu sama lain sebagai penantang, yang secara setara (equal) bertarung untuk meraih kemenangan dalam posisi politik dan bukannya sebagai musuh yang harus dihancurkan. []
M ARSKAL SALIM GP
Guru Besar Politik Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/161216kompas/#/7/