Wawancara 22 calon anggota Bawaslu fokus pada soal integritas, independensi, dan pengetahuan isu kepemiluan terkini. Ide segar calon soal pembaharuan Bawaslu tak banyak muncul.
Dua puluh dua calon anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selesai menjalani wawancara di Gedung Kementerian Dalam Negeri, 18—20 Januari 2017. Tim Seleksi (Timsel) menguji integritas dengan cecaran tudingan; menyelidiki independensi dengan verifikasi rekam jejak; serta menjajal kompetensi dengan isu kepemiluan terkini.
Uji integritas dan independensi
Aspek integritas menjadi hal yang paling disoroti dalam jalannya wawancara. Jauh hari sebelum tahap akhir seleksi ini, Rambe Kamarul Zaman, yang kala itu masih menjabat ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mengingatkan Timsel untuk fokus menyeleksi calon yang berintegritas.
“Kami meminta timsel menyeleksi pada tahap terakhir dengan benar-benar ketat, supaya tidak ada celah untuk dipolitisasi DPR,” kata Rambe (5/1).
Timsel menguji integritas dan independensi calon dengan cecaran pertanyaan soal penggunaan fasilitas negara, konflik kepentingan dengan orang sedarah, relasi keluarga, dan kelindan dengan kepentingan politik.
Endang Wihdatiningtyas, anggota Bawaslu yang kembali mencalonkan diri, ditanya Hamdi Muluk soal domisili. Selama di Jakarta, Endang mengontrak rumah milik kakak iparnya di Bintaro dengan biaya Bawaslu. Pertimbangan Endang memilih rumah tersebut adalah lokasi yang tak jauh dengan rumah kakaknya. “Prosedur kontrak dijalankan sesuai prosedur dan dilakukan oleh sekretariat,” aku Endang (19/1).
Mohammad Najib, ketua Bawaslu DIY, ditanya Widodo Ekatjahjana soal dugaan penggunaan mobil dinas untuk kepentingan pribadi. “Bapak ini saya dengar sering kulakan batik mengambil dari Pati. Apa menggunakan mobil dinas?” kata Widodo (18/1).
Najib mengaku hal itu diduga dilakukan di waktu lampau, sekarang-sekarang ini tak pernah lagi.
Sakka Pati, dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dicecar soal status Facebook akun atas nama Sakka Pati. Di akun itu Sakka membuat pernyataan yang mendukung salah satu calon kepala daerah Sulawesi Selatan. “Semata-mata karena pertemanan saja,” jawab Sakka (18/1).
Timsel juga tak segan menanyakan hal personal seperti relasi keluarga. Yan Marli, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Nusa Tenggara Barat, ditanya Erwan Agus Purwanto soal status perkawinannya. Di daftar riwayat hidup, ia menulis satu istri. Padahal, berdasarkan catatan masyarakat, Yan Marli beristri dua. Yan mengaku menikahi dua istrinya secara legal. Ia telah mengantongi izin kedua istrinya untuk mendaftar Bawaslu, tapi istri keduanya tak mau ditulis dalam daftar riwayat hidup.
Ratna Dewi Pettalolo ditanya soal kekurangan diri. Setelah menjelaskan kekurangannya yang cenderung gampang marah, Widodo Ekatjahjana mengajukan pertanyaan lanjutan yang kelewat personal—meski dengan nada bercanda: apakah Ibu pernah marah juga pada suami?
Status perkawinan Mimah Susanti yang di daftar riwayat hidupnya tertulis pernah menikah juga ditanya Hamdi Muluk dan Widodo.
Pertanyaan-pertanyaan yang menguji integritas ini patut diajukan untuk mengonfirmasi dugaan-dugaan yang ditemukan di masyarakat. Penelusuran aktivitas dan transaksi bisnis penting untuk memeriksa dugaan transaksi mencurigakan. Sebab, tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk memeriksa aktivitas bisnis calon selain mengonfirmasi langsung. Calon kebanyakan belum melaporkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Masyarakat sipil juga sulit mengakses transaksi keuangan calon.
Komitmen calon soal integritas dan independensi juga dapat terlihat dengan mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas politik. Kedekatan dengan tokoh politik, rekam jejak di partai, potensi konflik kepentingan dengan anggota keluarga yang aktif di politik patut dipertanyakan untuk memastikan calon terpilih tak disusupi kepentingan politik.
Pertanyaan yang benar-benar menguji integritas mesti lebih difokuskan dengan mengurangi pertanyaan personal yang tak berkaitan dengan integritas dan independensi. Timsel juga mestinya mengajukan pertanyaan yang bertumpu pada hasil penelusuran internal timsel yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Menjajal pengetahuan kepemiluan
Timsel menjajal pengetahuan kepemiluan calon dengan pertanyaan tentang isu-isu terkini yang berkaitan dengan Bawaslu. Setidaknya ada empat hal yang sering ditanyakan Timsel: kewenangan mengadili dan menjatuhkan sanksi administrasi politik uang; penanganan politik uang yang terbatas hanya pada pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, massif (TSM) dan dilakukan 60 hari sebelum hari pemungutan suara; Panwas Kabupaten/Kota yang berubah jadi permanen; serta kewajiban berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.
Timsel menanyakan pendapat calon tentang salah satu kewenangan baru Bawaslu yaitu mengadili dan menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelanggaran politik uang. Kewenangan ini tercantum dalam UU 10/2016. Pasal 73 ayat 2 UU 10/2016 menyatakan, calon yang terbukti melakukan pelanggaran politik uang berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Namun, undang-undang membatasi: hanya pelanggaran politik uang bersifat TSM yang bisa ditangani. Endang Wihdatiningtyas mengaku kesulitan menerjemahkan maksud undang-undang ini menjadi peraturan teknis. Forum rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR dinilai membantu Bawaslu menemukan ketentuan yang pas untuk dirumuskan dalam Peraturan Bawaslu.
Peraturan Bawaslu No. 13 Tahun 2016 tentang tata cara penanganan pelanggaran administrasi terkait politik uang akhirnya terbentuk, tapi justru lebih buruk. Pasal 27 ayat 2 peraturan tersebut menyatakan, hanya pelanggaran politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis, massif (TSM) dan dilakukan 60 hari sebelum hari pemungutan suara yang bisa diterima Bawaslu. “Agar tidak mengganggu logistik,” kata Endang.
Syafrida Rachmawati Rasahan, ketua Bawaslu Sumatra Utara yang mencalonkan diri, menganggap peraturan ini menyulitkan jajarannya di bawah. Ia mesti menolak laporan dugaan politik uang yang dilakukan salah satu pasangan calon di Pematang Siantar. Tak ada bukti praktik politik uang dilakukan secara TSM. Laporan juga disampaikan di luar jangka waktu yang ditentukan peraturan.
“Money politics justru banyak di jelang hari pemungutan. Karena peraturan ini, sudah pasti tidak akan ada yang bisa terjerat,” kata Syafrida menjawab pertanyaan Saldi Isra, ketua Timsel (19/1).
Beda calon, beda pula pendapatnya soal kewajiban konsultasi ke DPR yang keputusannya mengikat. Bagus Sarwono, anggota Bawaslu DIY yang mencalonkan, berbeda pendapat dengan sikap lembaganya di pusat. Ia menilai kewajiban konsultasi mengganggu kemandirian penyelenggara pemilu.
Bawaslu RI menjadi pihak terkait dalam sidang uji materi yang diajukan KPU ke MK. Pasal di UU 10/2016 mengatur ketentuan pembuatan peraturan teknis harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam RPD yang keputusannya bersifat mengikat. Menurut Bawaslu, ketentuan tersebut tak mengganggu kemandirian dan independensi Bawaslu. Ketentuan itu justru membantu, salah satunya perumusan penanganan politik uang tadi.
Isu terkini lain yang ditanya Timsel adalah perubahan status pengawas di tingkat kabupaten/kota. Pasal 72 ayat 4 Rancangan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu yang dibuat pemerintah memproyeksikan Panwas Kabupaten/Kota yang bersifat ad hoc menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota yang bersifat permanen.
Calon yang mayoritas adalah pengawas pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota menyambut positif usulan pasal ini. Status ad hoc pengawas di kabupaten/kota adalah pemicu kongkalikong partai atau pasangan calon peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu. Status yang sementara itu membuat panwas mudah dipengaruhi dan tak berpikir panjang dalam mengeluarkan putusan atau rekomendasi.
Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan isu terkini baik untuk menguji pandangan calon terhadap tantangan nyata yang dihadapi Bawaslu saat ini. Namun demikian, karena fokus pada hal ini, jawaban calon berkisar pada evaluasi kelembagaan Bawaslu. Eksplorasi soal inovasi dan pembaharuan Bawaslu ke depan kurang muncul.
Catatan negatif tentang wawancara calon Bawaslu tersebut di atas, menurut saya kurang etis dimuat dalam laman perludem yang terkenal santun dan elegan. Memang calon Bawaslu memiliki kelemahan,tapi kalo diungkap ke publik seperti ini kan kasihan mereka. Semoga perludem lebih arif dalam memuat artikel atau opini.
salam demokrasi,
Guno Tri Tjahjoko