August 9, 2024

Penambahan Jumlah Kursi Parlemen Tak Diperlukan, Yang Penting Realokasi Kursi

Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu, empat fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, yakni Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Fraksi Partai NasDem, menyetujui penambahan kursi parlemen. Fraksi Partai Gerindra mengusulkan penambahan kursi dari 560 menjadi 570. Fraksi PKB mengusulkan menjadi 619 kursi. Angka 619 didapatkan dengan rumus besaran parlemen, yakni jumlah penduduk akar pangkat tiga.

Berkaitan dengan hal tersebut, para pengamat dan pakar pemilu dari Universitas Airlangga, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang bahwa penambahan kursi parlemen tak diperlukan. Yang perlu dibenahi yakni, alokasi kursi berdasarkan prinsip yang jelas dan berkeadilan.

Tanggapan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti

Ramlan beranggapan bahwa RUU Pemilu mesti memuat prinsip alokasi kursi yang jelas dan adil. Tujuannya, agar penataan alokasi kursi dapat berkontribusi menyelesaikan permasalahan di daerah pemilihan (dapil) dan mengejar ketertinggalan daerah. Prinsipnya, tak ada dapil yang kekurangan atau kelebihan representasi.

“Kita belum punya sistem alokasi kursi brdasarkan prinsip yang jelas dan adil. Orang Indonesia belum diperlakukan setara. Kursi di luar Jawa lebih mahal dari di Pulau Jawa. Daerah yang kursinya lebih tidak dikurangi,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, pada diskusi “Menuju RUU Pemilu yang Adil dan Proporsional”, di Menteng, Jakarta Pusat (2/3).

Ramlan menjelaskan bahwa menentukan besaran parlemen dan menata alokasi kursi harus mempertimbangkan jumlah dan keberagaman penduduk. Di Malaysia, Ramlan mencontohkan, daerah pemilihan (dapil) dengan kondisi perekonomian yang maju mendapatkan alokasi kursi lebih sedikit dari dapil yang belum berkembang.

Tanggapan Perludem

Perludem memandang bahwa besaran parlemen tak hanya ditentukan oleh rumus jumlah penduduk akar pangkat tiga. Negara memiliki otonomi untuk menentukan indikator tertentu berdasarkan konsensus yang disesuaikan dengan kebutuhan negara, seperti konteks sejarah, luas negara, kondisi geografis, dan jumlah wilayah administrasi.

“Kita bisa melihat besaran parlemen dan jumlah penduduk di banyak negara. Di Australia, India, Inggris, dan Jerman, rumus jumlah penduduk akar pangkat tiga tidak menjadi satu-satunya acuan untuk menentukan besaran parlemen,” kata Deputi Direktur Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyati.

Khoirunnisa kemudian mengatakan bahwa penambahan jumlah kursi parlemen tidak mampu menjawab masalah proporsionalitas representasi politik antara warga negara dengan wakilnya. Oleh karena itu, realokasi lebih utama dilakukan daripada menambah jumlah kursi.

Tanggapan ICW

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz, mengatakan bahwa melihat realitas DPR selama ini, peningkatan jumlah anggota DPR tak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas DPR. Kualitas anggaran dan regulasi yang dihasilkan menurun, dan banyak anggota DPR yang melakukan korupsi.

“Kualitas anggota DPT terlihat dari mark up Wisma Atlit dan skandal e-KTP. Produk UU sedikit dan kualitasnya buruk. Banyak UU yang rontok ketika diuji ke MK (Mahkamah Konstitusi),” tukas Donal.

Donal menambahkan bahwa UU Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, DPR Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau UU MD3 serta UU Partai Politik telah menghilangkan hak suara dan kewenangan anggota DPR secara individu. Suara dan wewenang anggota dilekatkan kepada putusan fraksi. Seorang anggota DPR tak dapat memberikan putusan secara sepihak, tetapi menunggu putusan fraksi, dan fraksi menunggu putusan ketua umum partai.

“Karena realitasnya seperti ini, ya gak usah banyak-banyak perwakilannya. Tiga saja sudah cukup. Penambahan anggota DPR tidak akan berdampak apa-apa, karena suara dan wewenang sudah dikatrol oleh fraksi,” tegas Donal.

Besaran parlemen Indonesia terus meningkat sejak 1955 hinga 2014. Pada 1955-1971, jumlah kursi parlemen sebanyak 260. 1971-1987 sebanyak 460. 1987-2004 sebanyak 500. 2004-2009 sebanyak 550. 2009-2014 sebanyak 560. Sepanjang sejarah, alokasi kursi belum berdasarkan prinsip yang jelas. Banyak daerah yang kekurangan atau kelebihan representasi.