Hari ini, 19 April 2017, menjadi hari yang sangat menentukan bagi masa depan Jakarta. Setelah seluruh rangkaian proses demokrasi elektoral pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilalui sejak pertengahan 2016, kini pemilih Jakarta akan menentukan langsung di bilik suara siapa yang mereka kehendaki untuk memimpin Ibu Kota.
KPU Provinsi DKI Jakarta sebagai penyelenggara pemilihan sudah berupaya melakukan berbagai perbaikan pelayanan berdasarkan evaluasi pelaksanaan pilkada putaran pertama, 15 Februari 2017. Misalnya, pemutakhiran data pemilih yang dikonsentrasikan di kantong-kantong pemilih yang banyak tidak terdaftar pada putaran pertama, yakni apartemen, perumahan elite, dan permukiman padat penduduk.
Optimalisasi bimbingan teknis bagi petugas pelaksana pemilihan dan penyediaan alat bantu bagi petugas untuk lebih mudah memahami informasi kepemiluan serta beragam aturan main pemungutan dan penghitungan suara. Logistik pun dijaga dan dipastikan betul agar tidak kekurangan ataupun kehabisan saat pencoblosan berlangsung.
KPU sudah pula menyediakan alat hubung bagi pemilih dan petugas pemilihan yang memerlukan informasi atau hendak mengadukan berbagai permasalahan seputar pemungutan dan penghitungan suara melalui call center 021-3908701 dan 081317293700.
Kendala Teknis
Meski harus diakui, sampai sehari sebelum pemungutan suara masih ada kendala yang ditemui terkait pelaksanaan dan kesiapan teknis pemilihan. Kejahatan terorisme demokrasi melalui praktik politik uang berkedok sembako murah dan ancaman intimidasi dengan mobilisasi warga non-Jakarta ke sejumlah TPS menjadi momok tersendiri jelang hari pencoblosan.
Pemantau Perludem masih menjumpai ada warga yang punya hak pilih, namun tidak terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT), pemilih sudah meninggal dunia tetap mendapatkan formulir C-6, serta beredar informasi bohong (hoax) terkait teknis, tata cara, prosedur, dan mekanisme pemungutan dan penghitungan suara.
Distribusi formulir C-6 ditemukan belum merata diberikan kepada pemilih yang sudah terdaftar di DPT alias masih ditemui pemilih di DPT yang belum menerima C-6. Temuan ini bahkan diikuti peredaran pesan berantai menyesatkan yang menyebut pemilih yang tidak memperoleh C-6, meski namanya ada di DPT, tetap tidak bisa mencoblos di TPS.
Sejatinya, formulir C-6 bukanlah syarat untuk bisa menggunakan hak pilih. Formulir C-6 berfungsi sebagai pemberitahuan tentang hari pemungutan suara. Meski pemilih tidak menerima C-6 sampai saat pencoblosan, sepanjang namanya ada di DPT, mereka tetap bisa menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan identitas diri berupa KTP/ KTP elektronik, paspor, surat nikah, atau identitas lain yang memuat nama, alamat, dan foto.
Untuk itu, pemilih bisa memastikan kembali apakah namanya masuk DPT atau tidak, melalui aplikasi Sistem Informasi Pendaftaran Pemilih (SIDALIH) KPU pada tautan daring
Didapati pula terjadi penulisan identitas nomor induk kependudukan (NIK) dalam formulir C-6 yang tidak sesuai dengan NIK yang ada di KTP elektronik. Kejadian yang dianggap human error (kekhilafan) oleh pihak KPU ini malah dikait-kaitkan sebagai upaya untuk berbuat curang pada hari pencoblosan dan bisa jadi dalih petugas KPPS untuk mempermasalahkan keabsahan hak pilih warga.
Padahal, rujukan NIK yang benar adalah NIK yang termuat di SIDALIH dan KTP elektronik pemilih. Kesalahan penulisan NIK pada formulir C-6 tidak berhubungan dengan keabsahan status pemilih, apalagi sampai berakibat pada hilangnya hak pilih.
Tidak boleh ada warga yang dipersulit menggunakan hak pilihnya akibat human error petugas. Kalau ada yang menghambat pemilih karena kesalahan penulisan NIK di formulir C-6, pemilih harus segera melaporkannya ke petugas pengawas TPS yang merupakan jajaran resmi Bawaslu dan ada di setiap lokasi TPS.
Problematika di atas bisa diatasi dengan kerja sama dan keterlibatan semua pihak agar saling mengingatkan dan berani memproses setiap dugaan penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi supaya ditindak sesuai aturan main oleh pihak berwenang.
Pelaporan penyimpangan oleh pemilih mestinya diikuti tindakan koreksi dan perbaikan pelayanan pada pemilih, serta penegakan hukum yang tegas dan memberi efek jera oleh aparat apabila penyimpangan itu melibatkan unsur kesengajaan dan niat jahat.
Karena itu, harus dipastikan bahwa petugas pelaksana pemilihan di TPS memahami tugas dan kewajibannya, menguasai aturan main dengan baik, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan hak pilih, tata cara, prosedur, mekanisme, dan teknis pemilihan yang lain.
Petugas pemilihan mesti memfasilitasi pemilih sebaik mungkin saat mereka menggunakan hak pilihnya. Jangan sampai dihambat, dihalang-halangi, ataupun dipersulit oleh aktor-aktor yang ada di TPS maupun pihak lain yang tidak menjadi bagian dari pemangku kepentingan Pilkada DKI Jakarta.
Pelaksana pemilihan (KPPS dan pengawas TPS) wajib netral, imparsial, berorientasi pada pelayanan pemilih, dan menjaga wibawa. Untuk menjaga kewibawaan petugas pemilihan, harus dipastikan bersama, jangan sampai terjadi tindakan untuk menekan, memengaruhi, apalagi mengintimidasi mereka dengan alasan, cara, dan dalam bentuk apa pun.
Selain itu, amat penting bagi pasangan calon juga untuk memastikan saksi-saksinya di TPS punya kapasitas maksimal untuk mengawasi dan terinformasi baik soal aturan main maupun prosedur pemungutan dan penghitungan suara. Dengan demikian, saksi pasangan calon akan menjadi instrumen militan dalam mengawal proses pilkada agar berjalan luber, jujur, adil, dan demokratis.
Kehendak Bebas
DKI Jakarta saat ini adalah etalase dan beranda demokrasi elektoral Indonesia. Mata Indonesia dan dunia menyorot pilkada putaran kedua dan menantikan demokrasi macam apa yang akan dipertontonkan oleh aktor-aktor demokrasi Jakarta. Karena itu, semua pihak punya kewajiban memastikan tidak terjadi gangguan, benturan, apalagi konflik yang bisa mengganggu proses pemilihan dan merugikan masyarakat.
Pemungutan suara hari ini bukan semata soal memilih figur yang akan membawa pengaruh pada kehidupan warga Jakarta lima tahun ke depan. Lebih dari itu, pemilih akan menentukan hal yang berdampak langsung pada hidupnya sebagai warga Jakarta, yakni bagaimana tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik Ibu Kota mendatang.
Tidak sekadar datang berduyun-duyun dan mencoblos di total 13.034 tempat pemungutan suara (TPS), pencoblosan hari ini merupakan artikulasi komitmen dan perwujudan kehendak bebas 7.218.280 pemilih Jakarta untuk masa depan yang lebih baik.
Pemilih harus dipastikan memilih dengan merdeka dan tanpa paksaan apa pun dalam memberikan suara hari ini. Berikan ruang seluas-luasnya agar mereka meyakini bahwa pilihan yang mereka coblos punya rekam jejak, kapasitas, dan kredibilitas baik untuk memimpin Ibu Kota.
Kemerdekaan memilih hanya akan tercipta saat pemilih bisa bebas, nyaman, dan gembira mencoblos kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mereka pilih. Dan, itu tugas kita semua. []
TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
https://nasional.sindonews.com/read/1198255/18/merdeka-di-putaran-kedua-1492530674/13