August 8, 2024

Populisme dan Kegagalan Membangun Kaum Demokrat

“Demokrasi tanpa demos yang mestinya didefinisikan sebagai rakyat yang memahami cara kerja demokrasi dan memahami modus untuk apa ia berdemokrasi, yang ada hanyalah kratos oleh kelompok ekslusif yang menggunakan paham demokrasi sebagai dalil yang dinilai konstitusional.”

 

Ada tiga hal yang menjadi kata kunci dalam artikel yang saya tulis kali ini, yakni populisme, demokrasi, dan kaum demokrat. Mari kita samakan persepsi atas definisi masing-masing terlebih dahulu.

Apa itu populisme?

Dalam kamus Cambridge online, populisme adalah political ideas and activities that are intended to get the support of ordinary people by giving them what they want. Populisme adalah gagasan dan aktivitas politik yang bermaksud untuk mendapatkan dukungan rakyat biasa dengan memberikan apapun yang rakyat biasa inginkan.

Apabila dikembangkan menurut para ahli, populisme kata Cas Mudde, seorang ilmuwan politik dari University of Georgia, adalah ideologi yang cair atau tipis. Saking tipis dan cairnya, ideologi ini dapat dilekatkan pada ideologi lain, seperti sosialisme, nasionalisme, atau rasisme, dengan tujuan untuk menjustifikasi agenda tertentu.

Dalam populisme, apa yang masyarakat pikirkan atau apa yang masyarakat inginkan selalu benar. Padahal, hal tersebut merupakan preseden buruk untuk dua elemen demokrasi, yakni hak-hak minoritas dan aturan hukum.

Saya ingin ingatkan pada sosok Soren Kierkegaard, seorang filsuf Denmark pada awal abad ke-19. Kata Kierkegaard, ketika kita berbicara soal pendapat umum atau pendapat masyarakat, kita perlu mempertanyakan siapa yang membentuk pendapat umum, dan siapa saja yang dimaksud dengan “umum”? Apakah media? Lalu, siapa pemilik media?

Selain Mudde, populisme juga dikembangkan oleh politisi sosialis dari Princeton University, Jan Werner Müller. Jan mengatakan bahwa seorang populis seringkali menganggap hanya dirinya sendiri yang merepresentasi masyarakat. Jan bahkan membedakan antara populisme inklusif dengan populisme eksklusif.

Populisme eksklusif biasanya melawan kelompok-kelompok terstigma. Contohnya, sikap masyarakat Eropa terhadap pengungsi. Sedangkan, populisme inklusif bergerak menuntut agar politik terbuka pada kelompok-kelompok terstigma (orang miskin, minoritas).

Selanjutnya, menurut Editor Ensiklopedia Britannica, Andre Munro, populisme adalah program atau gerakan politik yang bertujuan untuk memenangkan orang biasa, biasanya dalam pertarungan melawan elit. Doktor lulusan Northwestern University jurusan Ilmu Politik ini juga berpendapat bahwa dalam pemahaman kontemporer, populisme seringkali diasosiasikan dengan bentuk politik otoriter. Seorang populis diuntungkan dengan masih langgengnya impian masyarakat akan sosok pemimpin kharismatik yang muncul (baca: seringkali mengklaim) untuk mewujudkan keinginan masyarakat guna mengkonsolidasikan kekuatannya.

Seorang populis biasanya mempromosikan program ekonomi dengan platform untuk mengakomodasi kepentingan rakyat biasa dan negara secara keseluruhan, atau sebuah platform yang berusaha mendistribusikan kekayaan untuk mendapatkan popularitas, tanpa memperhatikan konsekuensi yang dapat ditimbulkan kepada negara. Misalnya,inflasi atau menumpuknya hutang negara.

Munro mencatat bahwa populisme merupakan gaya politik yang marak ditemui pada politisi Amerika Latin, seperti Juan Perón, Getúlio Vargas, dan Hugo Chávez.

Jika disimpulkan, populisme dapat terwujud dalam dua bentuk, yakni pertama, pragmatisme politik. Seorang populis cenderung fokus untuk memenangkan suara dengan berbagai cara: menjadi sosok yang diinginkan mayoritas, atau membuat kebijakan yang akan disukai oleh mayoritas. Tujuannya satu, semata-mata agar dirinya terpilih. A populist is a politician cowboy.

Bentuk kedua, populisme adalah politik rakyat atau gerakan menuju politik inklusif. Populisme ditujukan sebagai politik yang berbasis pada keinginan atau harapan rakyat, sekaligus sebagai penyeimbang politik elit. Populisme dibutuhkan untuk melawan kepentingan politik elit yang menggerakkan demokrasi secara eksklusif.

Populisme adalah suatu hal yang pelik, dan dalam hal ini, saya tak ingin bersikap biner. Ada keburukan dalam populisme, dan ada pula kebaikan, khususnya ketika menempatkan populisme dalam konteks Indonesia.

 

Selanjutnya, apa yang kita sepakati tentang definisi demokrasi dan kaum demokrat?

Demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang diambil dari pengalaman Athena pada abad ke-5 SM. Ia berasal dari kata demokratia, yang terdiri atas dua unsur, yakni demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan atau kekuatan. Secara umum, demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan oleh rakyat.

Kata demos dalam demokratia tak boleh sekadar dimaknai dengan rakyat biasa. Demos mesti dimaknai dengan rakyat yang memahami demokrasi: setidaknya mengerti mengapa ia berdemokrasi dan bagaimana cara kerja demokrasi. Sebab, rakyat yang tak memahami demokrasi, lalu dilempar dalam sistem demokrasi, ia hanya akan menjadi objek populisme negatif yang melihat rakyat sebagai suara yang bisa digerakkan untuk meraih legitimasi kekuasaan.

Demokrasi tanpa rakyat yang paham demokrasi atau kita sebut dengan kaum demokrat, akan bermakna pemerintahan oleh wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat yang tak sepenuhnya sadar atas pilihannya. Demokrasi yang seperti ini tak akan mencerahkan dan telah lama dikritik tak hanya oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles, tetapi juga Nietszche yang pemikirannya mengilhami Hitler, seorang pemimpin fasis yang lahir dari sistem demokrasi melalui pemilihan umum.

Demokrasi tanpa mayoritas rakyat yang paham tak akan menuju demokrasi deliberatif yang diidamkan oleh Jurgen Habermas, dan tak akan menghasilkan kesejahteraan atau kemakmuran. Demokrasi seperti itu mesti digugat, bahkan barangkali demokrasilah yang menggugat ketidaksanggupan negara membentuk demos atau kaum demokrat.

 

Termasuk Kaum Demokratkah Saudara?

Saya suka metode dialog. Socrates mengembangkan filsafatnya dengan bantuan mitra dialogisnya. Dialog ampuh untuk menguji sejauh mana pemahaman kita terhadap suatu masalah atau teorema.

Kepada pembaca artikel ini, jawablah lima belas pertanyaan sederhana saya: (1) Setujukah kamu pada sistem demokrasi?; (2) Menurutmu, adakah sistem lain yang lebih baik dari demokrasi?; (3) Apa elemen-elemen yang mesti ada dalam sebuah negara demokrasi?; (4) Kenapa kamu memilih pada hari pemungutan suara?; (5) Kriteria dan program apa yang membuat kamu klik pada seorang calon?; (6) Pentingkah mengawal pemerintahan yang dipimpin oleh calon terpilih?; (7) Apakah terbuka luas ruang untuk mengawal pemerintah terpilih?; (8) Adakah mekanisme untuk menggugat pemerintahan terpilih seandainya kebijakan yang dilaksanakan tak sesuai dengan apa yang dikampanyekan?; (9) Apa yang menyebabkan terjadinya korupsi di pemerintahan?; (10) Apa pendapat kamu soal partai politik?; (11) Partai apa yang menurutmu paling baik dan maukah kamu menjadi anggota partai politik tersebut?; (12) Apa menurutmu penyelenggaraan pemilu di Indonesia sudah jujur, adil, dan demokratis?; (13) Di antara tiga lembaga, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif, mana lembaga negara yang paling kamu percaya dan paling tidak kamu percaya?; (14) Kebijakan apa yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi-JK yang menurutmu paling menciderai demokrasi dan menguntungkan demokrasi?; (15) Pengaturan apa yang kamu harap ada pada UU Pemilu dan UU Partai Politik?

Jika Saudara mudah menjawab paling tidak sepuluh dari lima belas pertanyaan tersebut, selamat! Saudara memahami demokrasi, dan dengan demikian Saudara adalah kaum demokrat. Akan tetapi, jika kesulitan dan bahkan masa bodo, berarti Saudara bukan kaum demokrat.

Isu-isu demokrasi dan politik pemerintahan tak akan dipahami, bahkan tak menjadi sorotan oleh masyarakat yang tak memahami motif mengapa ia berdemokrasi. Demokrasi tak menjadi kebutuhan organik masyarakat. Masyarakat jauh dari diskursus demokrasi, tak akrab dengan demokrasi, dan tak merasa bertanggungjawab atas hasil-hasil dari proses demokrasi. Mengapa demikian?

 

Pendidikan, Kaum Demokrat, dan Populisme

Plato dalam Republik menegaskan bahwa ia menolak demokrasi apabila menghasilkan tatanan pemerintahan yang dipegang oleh awam. Awam, terpilih berdasarkan populisme, tetapi berpotensi besar merusak tatanan negara dan kepentingan masyarakat lebih luas, sebab tak memahami ilmu kenegaraan dan ilmu kebijaksanaan dalam pembuatan kebijakan publik dengan baik.

Plato kemudian mengatakan bahwa demokrasi berawal dari adanya persamaan kesempatan bagi semua orang untuk memperoleh pendidikan. Demokrasi tanpa pendidikan berkualitas baik yang merata bagi semua warga negara tak akan membawa negeri pada kesejahteraan dan justru mengakibatkan rusaknya tatanan negara. Pasalnya, pemungutan suara atau pemilu yang menjadi elemen penting dalam demokrasi memungkinkan orang yang tidak mampu melaksanakan tugas pemerintahan untuk terpilih. Demokrasi tak bisa bertumpu hanya pada “merebut suara mayoritas”, tanpa “mendidik dan mendemokratisasikan mayoritas”.

Aristoteles, murid Plato, juga berpendapat bahwa jika kesempatan yang sama akan pendidikan kepada warga negara tidak terjamin, maka demokrasi yang berjalan tak akan sehat. Demokrasi membutuhkan prasyarat, dan prasyarat penting itu adalah pendidikan.

Berangkat dari gagasan bahwa pendidikan adalah prasyarat demokrasi dan definisi demos yang kemudian saya sebut dengan kaum demokrat, serta setelah memperhatikan perkembangan demokrasi di Indonesia, saya menyimpulkan dua hal.

Pertama, selama kaum demokrat di negara demokrasi tak lebih dari enam puluh persen dari jumlah penduduk, populisme yang berangkat dari pragmatisme politik yang dangkal akan terus menjadi soal. Masyarakat akan terus menjadi objek pemungutan suara, dan masyarakat tak akan menyadari bahwa penting baginya untuk ikut serta dalam mengawal pemerintahan terpilih. Masyarakat hanya diperhatikan pada masa kampanye, dan pemilu sedikit sekali berdampak pada kesejahteraan dan keadilan untuk masyarakat.

Poinnya, demokrasi tanpa mayoritas kaum demokrat hanya menghasilkan kratos yang dipimpin oleh minoritas demos yag memahami demokrasi dan memanfaatkan pemilu untuk melanggengkan politik eksklusif. Padahal, demokrasi mestinya mampu menghilangkan dualisme politik elit dan politik rakyat.

Kedua, bila masyarakat telah memiliki pendidikan yang baik, pendapat umum yang akan dihasilkan juga akan lebih baik. Dengan demikian, demokrasi akan memunculkan tuntutan-tuntutan atas kebutuhan masyarakat yang didasari oleh kesadaran aktif sebagai kaum demokrat. Pada saat itu, kita tak perlu lagi khawatir pada populisme yang berangkat dari pragmatisme politik semata. Sebab, masyarakat telah memahami arti penting berdemokrasi, hubungan demokrasi dengan kemakmuran, dan hubungan pemilu dengan kebijakan publik.

Hanya apabila demokrasi telah menjadi kebutuhan organik masyarakat, demokrasi akan menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan.

 

Pelajaran bagi Indonesia

Penerapan demokrasi di Indonesia merupakan praktek dari sebuah sistem yang belum terbangun dengan baik prasyaratnya. Dengan kata lain, kita menerapkan sebuah sistem yang belum selesai landasannya, yakni kaum demokrat sebagai mayoritas.

Akibatnya, fenomena nondemokratis sering kita jumpai dalam kehidupan politik sehari-hari. Sebagai contoh, lakunya isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) pada Pilkada DKI Jakarta 2017, munculnya kelompok yang secara nyata menentang demokrasi, dan maraknya persekusi terhadap kelompok-kelompok yang dinilai bertentangan dengan pandangan kelompok mayoritas.

Kita perlu memecahkan mozaik kemelut demokrasi vis a vis kemakmuran. Apakah mayoritas kaum demokrasi mungkin terbentuk bila masyarakat masih jauh dari kondisi makmur? Apakah hanya apabila kemakmuran menjadi realitas, baru masyarakat terbentuk menjadi kaum demokrat?

Demokrasi dan kemakmuran tak semestinya menjadi topik diskursus berbeda. Sebab, demokrasi merupakan sistem politik yang kita sepakati untuk menciptakan pergantian kekuasaan secara damai, penghargaan atas hak-hak dan kebebasan tiap warga negara, dan menghantarkan pada cita-cita keadilan sosial. Demokrasi mesti dipandang sebagai bagian dari infrastruktur pembangunan.

Bila negara masih tak memperhatikan prasyarat demokrasi, krisis kepercayaan masyarakat atas elemen-elemen demokrasi dan rezim pemilu akan terus berkelanjutan. Masyarakat akan tetap tak mempercayai bahkan anti partai politik. Masyarakat antipati terhadap pemilu. Masyarakat mudah tergoda populisme pragmatis. Masyarakat mencurigai bahkan membenci pemerintah. Isu SARA kembali muncul. Dan akhirnya, kekuasaan oligarki dan elit hanya berganti baju pada apa yang kita sebut dengan demokrasi.

Maukah negara dan kita membangun prasyarat demokrasi? Pasalnya, tanpa pendidikan demokrasi yang baik untuk seluruh warga negara, sebuah negara demokrasi tak akan beranjak kemana-mana.

Tak kenal maka tak sayang. Tak akan jadi kaum demokrat jika mayoritas masyarakat tak akrab pada isu-isu demokrasi dan bahkan tak paham subtansi demokrasi.