September 13, 2024

Populisme Tumbuh dalam Stagnasi Demokrasi dan Ekonomi

Populisme tumbuh dalam perpaduan iklim demokrasi dan pertumbuhan ekonomi yang sama-sama mandek. 

Problem demokrasi representatif yang mengandung paradoks ditambah dengan pemerintah yang gagal membangun dan menumbuhkan ekonomi rakyat adalah tempat tumbuh bibit-bibit populisme. Rakyat akan dibuat frustasi ketika institusi demokrasi tak lagi bisa menampung kepentingan rakyat. Apalagi jika perekonomian ikut mandek. Rakyat akan makin memimpikan sosok Satria Piningit—sang penyelamat. Pada titik inilah, kaum Populis akan mengambil kesempatan.

Definisi populisme

Belum ada konsensus yang pasti atas definisi populisme dari para ilmuwan politik. Namun setidaknya, belantara pengertian populisme itu dapat disederhanakan melalui konsep yang ditawarkan Maswadi Rauf, Profesor Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia. Ia menawarkan dua konsep soal populisme: populisme (dengan huruf p kecil) dan Populisme (dengan huruf p kapital).

Terma populisme (dengan huruf p kecil) telah lama dikenal dalam demokrasi. Demokrasi adalah mekanisme yang didesain untuk menjamin dan mendorong kedaulatan rakyat. Demokrasi memaksa pemimpin partai untuk lebih memerhatikan kepentingan rakyat—lebih populis dalam pengertian sebenarnya

Sementara terma Populisme (dengan p kapital) mempunyai konotasi tertentu. Populisme menjadi gerakan politik buatan pemimpin politik yang membajak kepentingan rakyat untuk meraih kekuasaan politik melalui pemilu. Sebagai gerakan politik, Populisme biasanya diusung oleh pemimpin yang berkarisma untuk menarik perhatian rakyat. Ia mengusung isu stagnasi pemerintahan yang menyebabkan penderitaan rakyat dan menawarkan apapun yang diinginkan rakyat sebagai cara memenangkan pemilu.

“Kesulitan ekonomi rakyat akibat kegagalan pemerintah di bidang ekonomi telah dimanfaatkan oleh para pemimpin Populis untuk mendapatkan dukungan politik rakyat,” kata Maswadi saat menjadi pembicara kunci Konferensi Internasional “Indonesian Democracy in the Age of Populism” di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat (7/11).

Paradoks demokrasi

Demokrasi Indonesia terbilang mapan. Indonesia telah memiliki semua institusi yang dibutuhkan untuk menjalankan demokrasi sebaik-baiknya. Pembagian kekuasaan antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif telah berjalan. Partai-partai bebas berdiri dan berhak mengikuti pemilu yang telah dijalankan secara demokratis. Kini tantangannya adalah memfungsikan dengan baik institusi-institusi demokrasi tersebut. Tantangan memfungsikan institusi-institusi demokrasi itu dinilai berada di tangan para elite politik.

“Tabiat elite politik menyebabkan beberapa permasalahan dalam demokrasi Indonesia. Mereka tahu nilai-nilai demokrasi, tapi tidak bersikap demikian. Institusi demokrasi tidak dijalankan dengan nilai-nilai demokrasi,” kata Maswadi.

Hal ini telah menyebabkan pengejawantahan prinsip demokrasi—dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat—bermasalah. Elite politik menguasai institusi demokrasi dan melemahkan kedaulatan rakyat. Secara realitas, rakyat memang dilibatkan pada waktu pemilu, namun seluruh rakyat jelas tidak diikutsertakan dalam proses governing dan pengambilan keputusan.

Burhanuddin Muhtadi, dosen politik pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, menyebut krisis dan paradoks yang menjadi salah satu kelemahan demokrasi representatif ini telah menyemai kemunculan Populisme. Dalam opininya berjudul “Populisme; Madu atau Racun bagi Demokrasi?” ia menyebut kaum Populis akan menekankan pada kesenjangan proses pelibatan publik dalam sistem demokrasi. Kebijakan dalam beberapa atau banyak hal bukanlah manifestasi dari kepentingan banyak orang, tapi lebih merupakan hasil dari interaksi dan kompromi antaraktor atau elite.

“Ketika institusi demokrasi gagal mewujudkan mimpi dunia yang adil melalui partisipasi aktif warga yang berdaulat dan merdeka, maka kelompok populis siap mengambil alih melalui klaim putting the power back into the people’s hand,” tulis Burhanuddin Muhtadi.

Andreas Ufen, peneliti pada Institut Studi Asean, German Institute of Global and Area Studies, menyebut sistem presidensialisme turut memberi ruang bagi munculnya kaum Populis. Presidensialisme yang berfokus pada pemilihan presiden membuat pemimpin-pemimpin Populis lebih leluasa mematut-matut diri dan menjelma sosok yang diimpikan rakyat.

“Kemunculan populisme disebabkan oleh lemahnya partai dan penegakan hukum. Sistem parlementer yang kuat di Eropa biasanya mampu memeriksa kekuatan kaum Populis,” kata Ufen.

Kesulitan ekonomi

Permasalahan pada sistem demokrasi tak bisa serta merta memunculkan Populisme. Ada variabel lain yang sangat menentukan kemunculan Populisme. Takashi Shiraishi, Guru Besar Ritsumeikan University, Jepang, menyebut ada konteks stagnasi ekonomi yang menyebabkan Populisme bangkit di Eropa dan Amerika Serikat.

Pada hari kedua Konferensi Internasional “Indonesian Democracy in the Age of Populism,” ia tak setuju jika Asia disebut akan turut terdampak badai Populisme seperti di Eropa dan Amerika Serikat. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi di Asia sedang menanjak. Situasi ini berkebalikan dengan kondisi di Eropa dan Amerika Serikat.

Wahyu Prasetyawan, pengajar ekonomi politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, menganggap perkembangan politik di Indonesia ada pada tahap politik identitas. Ia menyitir Pilkada DKI Jakarta dalam penelitiannya untuk membuktikan bahwa politik Identitas—terutama agama dan etnisitas—menjadi variabel yang dimainkan untuk mendekati perilaku pemilih.

Perkembangan dari politik identitas ke arah Populisme sangat bergantung pada bagaimana pemerintah mengelola pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia sendiri, pertumbuhan ekonomi sejak 2014 hingga 2017 mengalami peningkatan dari 5 persen menjadi 5,2 persen. Meski ada pertumbuhan, kondisi ini disebut masih terbilang tidak terlalu baik. Apalagi Indonesia tengah mengalami defisit keuangan.

Kesenjangan ekonomi rakyat pada level akar rumput juga masih perlu diperhatikan. Mereka masih bergelut dengan persoalan pengangguran, pendapatan rendah, daya beli rendah, dan buruknya pelayanan publik.

Jika pemerintah tak berhasil menanggulangi ekspektasi masyarakat terhadap permasalahan ini, kaum Populis akan muncul. Meski tak antidemokrasi, populisme cenderung menimbulkan bahaya bagi demokrasi. Populisme mengandung fantasi masyarakat tunggal. Ini berbahaya bagi Indonesia yang plural, mulitikultural, dan menjunjung toleransi pada perbedaan etnis dan agama. Fantasi populisme ini tak hanya menciptakan polarisasi dan menyulut konflik, tapi juga mengancam lawan politiknya sebagai musuh masyarakat.

“Dengan meningkatnya kecenderungan politik identitas, terbuka kemungkinan muncul bentrokan antarsesama Indonesia,” kata Wahyu.