September 13, 2024

Dua Sisi Jalur Perseorangan di Pilkada, Jalan Pintas untuk Anggota Parpol?

Jalur perseorangan mulai menjadi fenomena nasional sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) No.12/2008. UU mengakomodasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.5/2007 yang membuka kesempatan bagi warga negara Indonesia untuk maju dalam kontestasi pilkada lewat jalur perseorangan. Jalur non partai politik (parpol) ini diharapkan mampu menyediakan pilihan calon pemimpin alternatif yang dapat dipilih masyarakat.

Namun, pada praktek di lapangan, jalur perseorangan tak jarang ditempuh oleh lagi-lagi kader partai politik yang tak dapat panggung di internal partai. Sejarah pilkada mencatat bahwa pada Pilkada 2015, kader Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) maju dan memenangkan kontestasi lewat jalur perseorangan.

“2015, jalur perseorangan sesungguhnya menyelamatkan parpol, terutama parpol yang terbelah. Golkar dan PPP, pada tahun 2015 mengalami dualisme kepengurusan. Nah, kader-kader potensialnya, maju dan menang,” jelas Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pada diskusi “Meneropong Calon Perseorangan di Pilkada 2018” di kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat (29/11).

Memperkaya penjelasan Titi, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Syamsuddin Alimsyah mengatakan bahwa terjadi tren pembajakan jalur perseorangan oleh anggota partai sejak 2015. Hal itu disebabkan oleh absennya terminologi calon perseorangan di dalam UU. UU tak menyatakan jalur perseorangan tak boleh ditempuh oleh anggota partai.

“Jadi, masalahnya adalah ketika tidak ada terminologi yang kuat untuk calon perseorangan. Apakah parpol atau non parpol,” tukas Syam.

Syam kemudian mengatakan bahwa sejak anggota partai menggunakan jalur perseorangan, muncul kasus-kasus manipulasi dukungan atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) palsu. Masalahnya, tak ada aturan di UU Pilkada yang menyatakan bahwa pelaku penyerahan dukungan palsu dapat didiskualifikasi.

Hal yang semakin ironi, kata Syam, ketika anggota partai mencalonkan lewat jalur perseorangan, pengurus partai hadir mendampingi bakal calon dalam proses pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Begitu pula saat kampanye berlangsung, anggota partai calon perseorangan menggunakan mesin partai.

“Begitu kampanye di lapangan, dia pasti menggunakan struktur parpol. Bahkan, ada parpol yang belum jadi peserta pemilu, tapi ketua atau anggotanya maju lewat jalur perseorangan,” ujar Syam.

Jalur perseorangan yang dibuka oleh MK tak seharusnya dibajak oleh anggota partai. Syarat dukungan yang harus dipenuhi oleh calon perseorangan yang mencapai 6,5 hingga 10 persen, apabila digunakan oleh anggota partai yang memiliki struktur organisasi hingga tingkat desa, akan semakin memperkecil kesempatan warga negara non anggota partai untuk ikut terfasilitasi.

“Misal ada partai yang sebenarnya cukup untuk mengajukan calon karena punya 20 persen kursi, tapi dia memilih jalur perseorangan. Jangan-jangan ini taktik untuk menutup hadirnya calon perseorangan murni,” tandas Syam.