September 13, 2024

Persiapan menuju Pemilu Serentak 2019

Menjelang Pemilu Serentak 2019, berbagai persiapan dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mulai dari regulasi, anggaran, hingga ketersediaan penyelenggara ad hoc. Ketua KPU RI, Arief Budiman, mengakui bahwa persiapan cukup rumit, sebab tahapan Pemilu 2019 berhimpitan dengan tahapan Pilkada 2018, adanya regulasi baru di Undang-Undang (UU) No.7/2017, dan merupakan pemilu lima kotak pertama di Indonesia.

Kebutuhan anggaran

Arief mengatakan bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk tahapan Pemilu 2019 di tahun 2018 adalah 15,6 triliun rupiah. Namun, anggaran yang disetujui Pemerintah hanya sekitar 12 triliun lebih. Anggaran dibagi ke dalam dua kategori, yaitu anggaran rutin dan anggaran penyelenggaraan.

“Kurangnya 3,16 triliun. Kami usul tambahan anggaran karena memang diperlukan. Misal, untuk pantarlih (panitia pemutakhiran data pemilih), masa kerja mereka enam bulan, tapi baru berjalan satu bulan,” kata Arief pada rapat kerja di di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senayan, Jakarta Selatan (30/11).

Kebutuhan anggaran akan bertambah jika jumlah maksimal pemilih di satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) berubah dari maksimal 500 orang menjadi 300 orang. Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan, pemungutan dan penghitungan suara akan lebih efektif jika jumlah pemilih per TPS adalah 300 orang.

“Kalau mengambil jumlah pemilih per TPS maksimal 500 orang, butuh waktu lebih dari 24 jam. Tapi kalau 300 pemilih per TPS, durasi yang dibutuhkan adalah 16 jam 30 menit,” terang Arief.

Penyelenggara ad hoc

Penyelenggara ad hoc hanya memiliki waktu selama empat hingga lima bulan untuk mengerjakan dua agenda pemilu. Sementara beban kerja meningkat, honor yang diterima adalah honor untuk satu beban pekerjaan. Regulasi tak mengizinkan penyelenggara ad hoc menerima honor dua kali lipat.

“Beberapa hal perlu diperhatikan, karena mereka tidak diperkenankan menerima honor double walau pekerjaannya double,” tukas Arief.

Kerumitan lain yang dihadapi pada saat rekrutmen penyelenggara ad hoc yakni jumlah yang berbeda untuk anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk pilkada dan pemilu. Untuk Pilkada, jumlah anggota PPK lima orang dan jumlah anggota PPS tiga orang. Sementara untuk pemilu, jumlah anggota PPK dan PPS adalah tiga orang.

Selain itu, perbedaan aturan juga terjadi terkait masa berakhirnya anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota. Di UU Pilkada, masa jabatan anggota KPU provinsi dapat diperpanjang apabila tahap penyelenggaraan pilkada masih berlangsung. Namun, di UU Pemilu, tak ada perpanjangan masa jabatan.

Terdapat 326 satuan kerja (satker) yang masa jabatannya berakhir antara Mei hingga Desember 2018. 23 satker berakhir pada bulai Mei, satu bulan sebelum pemungutan suara Pilkada 2018. 116 satker berakhir bulan Juni, bulan pemungutan suara. 39 satker berakhir  Juli, 10 satker pada Agustus, 7 satker pada September, 114 satker pada Oktober, 2 satker pada November, dan 40 satker pada Desember.

“Di bulan Juni itu, bervariasi. Ada yang satu minggu sebelum pemungutan suara, ada yang persis dengan tanggal hari pemungutan suara, dan ada yang satu hari setelah pemungutan suara,”

Kotak suara

UU Pemilu mengamanatkan agar kotak suara di Pemilu 2019 bersifat transparan. Untuk mengakomodasi hal tersebut, dengan mempertimbangkan efisiensi anggaran, KPU memutuskan untuk menggunakan kotak suara berbahan karton atau kardus tahan air berjendela. Kotak suara yang dibutuhkan adalah sebanyak 4,7 juta unit.

“Kenapa kami memilih karton kedap air, karena kalau bahan baku plastik utuh sepenuhnya harganya dua kali lipat. Dengan karton kedap air saja sebenarnya anggaran kami kurang. Jadi, kami memilih bahan itu karena itu yang paling murah dan pernah kami gunakan di Pilkada 2015,” jelas Arief.

Arief menjamin kotak suara tersebut tak akan rusak. Kotak akan ditempatkan di tempat yang terlindung dari hujan dan di bagian dalam diberikan kantor plastik untuk melindungi surat suara.

“Jadi, kalau kotaknya basah, dokumennya tidak akan basah,” ujar Arief.