September 13, 2024

Pilkada dan (Politik) Identitas

Tahun 2017 dimulai dengan tahapan Pilkada 2017 yang tengah mencapai puncak. Dinamika politik di daerah terus berlangsung hingga tahapan pungut hitung dilangsungkan pada 15 Februari 2017. Sengitnya rivalitas kontestasi calon di Pilkada DKI Jakarta membuat semua menoleh ke Jakarta dan berpaling dari helatan serupa di 100 daerah lain.

Politik identitas dan kemungkinan merebaknya populisme

Rivalitas kontestasi yang ketat itu berkelindan dengan isu politik identitas yang digunakan untuk menggerakkan mesin politik—meraup sebanyak-banyaknya suara. Politik identitas, jika tidak ditanggulangi dengan baik, akan terus dimainkan terutama di lumbung-lumbung suara di antara 171 daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2018. Tiga daerah lumbung suara itu adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jumlah pemilih di tiga daerah itu mencapai 48,38 persen dari total daftar pemilih tetap Indonesia pada Pilpres 2014 lalu.

Salah-salah, politik identitas akan berkembang jadi populisme yang mengandung fantasi masyarakat tunggal. Ini berbahaya bagi Indonesia yang plural, mulitikultural, dan menjunjung toleransi pada perbedaan etnis dan agama. Fantasi populisme ini tak hanya menciptakan polarisasi dan menyulut konflik, tapi juga mengancam lawan politiknya sebagai musuh masyarakat.

“Dengan meningkatnya kecenderungan politik identitas, terbuka kemungkinan muncul bentrokan antarsesama Indonesia,” kata Wahyu Prasetyawan, pengajar ekonomi politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, saat menjadi pembicara Konferensi Internasional “Indonesian Democracy in the Age of Populism” di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat (7/11).

KTP elektronik dan hak pilih yang tercederai

Omong-omong soal identitas, ada problem fundamental lain yang terjadi di hari pemungutan suara Pilkada 2017. Ada keributan soal manajemen pemilih dan ketersediaan surat suara yang, jika ditelusuri, berpangkal dari soal mandeknya proyek KTP-elektronik sebagai salah satu syarat wajib memilih. Taruhannya, hak pilih warga tercederai.

Permasalahan pertama muncul pada jenis pemilih yang belum melakukan perekaman KTP-el dan karenanya tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pada penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS), KPU mencatat jumlah pemilih yang belum merekam dan memiliki KTP-el sebanyak 1.550.109. Karena belum melakukan perekaman dan tak punya fisik KTP-el, ia tidak masuk dalam daftar potensial pemilih pemilu (DP4) sebagai bahan penyusunan DPT. Saat pemungutan suara pun, ia jelas tak bisa memilih, karena pasal 57 UU 10/2016 menyaratkan, dalam hal warga negara Indonesia tidak terdaftar sebagai pemilih, pada saat pemungutan suara menunjukkan KTP-el. Ini berbeda dengan Pilkada 2015 yang membolehkan pemilih membawa kartu keluarga atau surat keterangan domisili.

Permasalahan juga muncul pada pemilih yang telah mempunyai KTP-el atau surat keterangan, tetapi belum terdaftar di DPT. KPU menempatkan pemilih ini dengan kategorisasi pemilih tambahan yang didaftar di daftar pemilih tambahan (DPTb).

PKPU 14/2016 Pasal 10 dan Pasal 37 mengatur prosedur pemungutan suara bagi pemilih yang terdaftar di DPTb. Mereka menggunakan hak pilihnya dengan ketentuan menunjukkan KTP-el atau surat keterangan kepada KPPS. Hak pilih pemilih pada DPTb dapat digunakan di TPS yang sesuai dengan alamat yang tertera dalam KTP-el atau surat keterangan. Penggunaan hak pilih dilakukan satu jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS.

Pada implementasinya, penggunaan KTP-el oleh pemilih yang terdaftar di DPTb bersengkarut dengan penggunaan KTP-el oleh pemilih yang terdaftar di DPT tapi tak mendapat formulir C6.

Pasal 11 PKPU 14/2016 mengizinkan pemilih yang telah terdaftar di DPT tapi tidak mendapat atau membawa formulir C6 (surat pemberitahuan pemungutan suara) untuk memilih dengan menunjukkan KTP-el atau surat keterangan. Bedanya, pemilih yang terdaftar di DPT ini boleh memilih di jam 8.00—12.00, bukan di satu jam terakhir.

Selain bersengkarut dengan pengguna KTP-el pemilih di DPT, petugas KPPS juga mengacaukan aturan Pasal 37 PKPU 14/2016. Aturan itu menyebut, KPPS memberikan surat suara kepada pemilih yang terdaftar di DPTb apabila surat suara masih tersedia.

Namun, KPPS beranggapan, pemilih di DPTb, yang memilih dengan KTP-el atau surat keterangan, hanya bisa menggunakan surat suara cadangan. Anggota KPPS tak berani menggunakan surat suara untuk DPT karena khawatir para pemilih di daftar itu belum dan akan datang. Akibatnya, banyak pemilih yang pada akhirnya tak bisa memilih karena alasan ini.

“Ada kesenjangan pengambil kebijakan dan praktik di TPS,” kata Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) di Jakarta (4/3).

Permasalahan lain menimpa jenis pemilih yang terdaftar di DPT, sudah melakukan perekaman KTP-el, tetapi belum mendapatkan KTP-el. Kondisi ini terjadi karena blangko KTP-el yang sudah habis. Mereka bisa memilih dengan membawa surat undangan memilih (Formulir C6) dan/atau surat keterangan dari Disdukcapil bahwa yang bersangkutan telah melakukan perekaman KTP-el, tapi belum mendapat fisik KTP-el.

Ada kekhawatiran pemalsuan surat keterangan. Surat Keterangan Pengganti KTP-el, yang contohnya dilampirkan dalam Surat 471.13/10231/DUKCAPIL, tak disertai alat verifikasi memadai yang bisa menunjukkan keaslian surat. Di TPS tidak ada alat pemindai yang dapat memeriksa keaslian surat tersebut. Di DKI Jakarta, tercatat ada 230 ribu surat keterangan yang diterbitkan. Padahal, berdasarkan data Disdukcapil, surat keterangan yang terbit hanya sebanyak 84 ribu lembar.

“Data waktu itu kan ada 84 ribu surat keterangan yang diterbitkan Disdukcapil. Ternyata ketika Pilkada kemarin jumlahnya membengkak menjadi 230 ribu,” kata anggota Bawaslu DKI Achmad Fachrudin (4/3).

Kasus-kasus di lapangan ini sebenarnya adalah buntut dari aturan kepemilikan KTP-el sebagai syarat memilih yang terlalu dipaksakan. Masih banyak pemilih yang belum merekam. Kalaupun sudah merekam, fisik KTP-el belum kunjung didapat karena blangko KTP-el tak tersedia. Akibatnya, KPU mesti merancang peraturan yang di satu sisi mesti mengakomodasi hak pilih, di sisi lain mesti meminimalisasi kecurangan. Aturan terburu-buru dan sikap terlalu protektif petugas karena banyak isu kecurangan lah yang membuat hak pilih tercederai.

Di Pilkada 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan memutakhirkan data pemilih pada bulan Januari. Pramono Ubaid Thantowi, anggota KPU, menyebut masih ada 3.6 persen dari seluruh warga negara yang belum merekam KTP-el. Ada potensi cukup besar problem serupa yang terjadi di Pilkada 2017 berulang di Pilkada 2018.

“Kalau jumlah pemilih 190 juta, ada sekitar tujuh juta pemilih yang potensial mengganggu penyelenggaraan Pilkada terutama di daerah padat penduduk. Itu potensial persoalan meledak,” kata Pramono (20/12).

Ia mendesak pemerintah untuk mempercepat proses perekaman. Selain itu, ia juga berharap persoalan penyediaan blangko KTP-el bagi mereka yang telah merekam tidak terjadi lagi. Beban nonelektoral ini harus ditanggulangi agar persoalan tercederainya hak pilih tidak terjadi lagi.

***

Kami membaca ulang laporan-laporan yang kami tulis dalam beragam bentuk–dari mulai laporan jurnalistik langsung dari lapangan, tulisan mendalam yang memuat analisis, sampai opini pribadi. Berikut amatan kami atas peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di 2017: