September 13, 2024

Penyelenggara Pemilu dan Kewenangan Baru

Penyelenggara pemilu dengan fungsi dan kewenangan baru di UU Pemilu menimbulkan kontroversi pada pelaksanaan tahapan pertama Pemilu 2019: pendaftaran partai politik peserta pemilu. Kegaduhan akan berulang di tahapan berikutnya

Tanggal 11 April 2017, tujuh orang anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dilantik oleh Presiden Joko Widodo. Sebelum dilantik, mereka menjalani serangkaian seleksi panjang dari mulai tes tertulis, tes kesehatan, dinamika kelompok, dan wawancara oleh Tim Seleksi yang dibentuk Presiden. Mereka adalah orang-orang yang dipilih melalui proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Seleksi oleh Timsel dan fit and proper test di DPR berjalan di tengah dua situasi politik yang cukup tegang: uji materi konsultasi mengikat serta perumusan kewenangan baru di UU Pemilu yang merisaukan.

Estafet kemandirian KPU di tangan anggota baru

Saat proses seleksi, KPU tengah menguji materi perubahan UU 10/2016 yang memuat ketentuan bagi KPU dan Bawaslu untuk berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam menyusun dan menetapkan peraturan dan pedoman teknis pemilihan. Forum konsultasi berformat rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat mengancam kemandirian dan independensi penyelenggara pemilu.

Kemandirian KPU paling disorot oleh DPR dalam uji kepatutan dan kelayakan calon anggota KPU 2017-2022. Soal ini terus mencuat dalam rapat-rapat Komisi II DPR sejak KPU mengajukan uji materi tentang ketentuan pasal di UU Pilkada yang mewajibkan penyusunan peraturan KPU melalui konsultasi dengan DPR dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya mengikat.

“Definisi KPU yang independen dan mandiri itu membuat KPU tak ada hubungan dengan partai. Padahal KPU itu panitia pernikahan. Yang punya pesta pernikahan itu partai politik,” kata Komarudin Watubun, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, saat melakukan tanya jawab dengan calon anggota KPU di ruang rapat Komisi II DPR RI, Jakarta (3/4).

Pada saat itu, Wahyu Setiawan (44 tahun), meraih suara terbanyak pemilihan calon anggota KPU 2017—2022 melalui sistem voting oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu (5/4) dini hari.

Pada uji kelayakan dan kepatutan di hari Senin (3/4), ia mendapat tepuk tangan gemuruh dari para anggota Komisi II DPR RI saat ia menjawab dengan lugas pertanyaan soal komitmen keluar dari KPU jika secara institusi lembaga tersebut mengajukan uji materi yang mengganggu hubungan DPR-KPU.

“Jika ada judicial review dan saya kalah di rapat pleno KPU maka saya akan mengundurkan diri,” kata Wahyu Setiawan yang juga menjabat sebagai anggota KPU Provinsi Jawa Tengah 2013-2018 dalam uji kelayakan dan kepatutan calon anggota KPU di DPR (3/4).

Wahyu yang meraih suara terbanyak setidaknya menunjukkan bahwa proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR masih belum beranjak dari pemilihan yang lebih banyak ditentukan oleh selera dan preferensi politik—bukan atas jawaban-jawaban tangkas, bernas, dan cergas.

Kemandirian, independensi, dan integritas tak boleh digadaikan oleh anggota KPU baru. Sedetik saja tergoda, pemilu yang jujur dan adil jadi taruhannya. Ia tak akan terwujud jika penyelenggara pemilu diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak lain.

“Integritas dan kemandirian jadi tantangan tersendiri di tengah sorotan dan dinamika hubungan penyelenggara pemilu dengan DPR. KPU dan Bawaslu harus bisa membuktikan bahwa mereka tetap bisa menjaga integritas, kredibilitas, dan kemandiriannya di mata publik,” kata Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem (5/4).

Kewenangan ganda Bawaslu yang merisaukan

Tanggal 14 November 2017, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyelesaikan persidangan dugaan pelanggaran administrasi. Sidang itu adalah sidang pertama kali yang menempatkan para anggota Bawaslu sebagai majelis hakim. Undang-undang No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) memberi kewenangan baru bagi Bawaslu dalam menegakkan hukum pemilu. Selain sebagai pengawas, Bawaslu kini berperan sebagai penindak dan pemutus pelanggaran administrasi.

Dua kewenangan ini menempatkan Bawaslu dalam posisi yang bertolak belakang. Di persoalan sengkarut pewajiban penggunaan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) kemarin, misalnya, Bawaslu bersurat pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempertimbangkan penggunaan Sipol sebagai syarat untuk jadi peserta pemilu. Sikap Bawaslu ini membuat publik gampang menerka posisi Bawaslu dalam memutus sidang pelanggaran administrasi yang diajukan partai-partai yang dokumen persyaratannya dinyatakan tidak lengkap oleh KPU.

Ketua Bawaslu 2008-2011 Nur Hidayat Sardini, sebelum jalannya persidangan, mengingatkan Bawaslu agar surat yang dikeluarkan tersebut tidak menjerat Bawaslu dalam konflik kepentingan saat memutus aduan pelanggaran administrasi.

Nur Hidayat mengingatkan, parpol pasti akan menggunakan surat itu pada saat mengadukan pelanggaran administrasi. Dia khawatir Bawaslu akan menggunakan hasil pengawasan sebagai bahan pertimbangan atau penilaian. “Jangan sampai Bawaslu disodok angin oleh parpol yang mengadu dan serta-merta mengonfrontasi apa yang sudah dilakukan Bawaslu saat pengawasan,” kata Nur Hidayat Sardini, pada harian Kompas berjudul “Ujian Pertama Bawaslu” (26/10).

Didik Supriyanto, Pengawas Pemilu (Panwas) 2004, mengaku risau atas fungsi ganda Bawaslu ini. Fungsi pengawasan dan fungsi peradilan ini tidak bisa digabung. Ketika Bawaslu melakukan pengawasan, dia punya preferensi tertentu bahwa salah satu pihak melakukan pelanggaran. DI sisi lain, ketika Bawaslu melakukan fungsi peradilan, dia akan mempertahankan pendapat yang didapatkan dari hasil pengawasan.

“Ini double fungsi ini tidak bisa. Sebagai pengawas dia harus banyak ngomong harus kritis, sebagai hakim gak boleh ngomong. Jadi double fungsi ini merisaukan. Masih ada banyak tahapan ke depan. Masih banyak PKPU ke depan yang akan dilaksanakan dan dalam pelaksanaannya akan di-review siapapun,” kata Didik Supriyanto, dalam acara Bincang Live Facebook Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) “Meneropong Bawaslu dengan Kewenangan Baru” yang dipandu oleh Titi Anggraini (17/11).

***

Kami membaca ulang laporan-laporan yang kami tulis dalam beragam bentuk–dari mulai laporan jurnalistik langsung dari lapangan, tulisan mendalam yang memuat analisis, sampai opini pribadi. Berikut amatan kami atas peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di 2017: