August 8, 2024

Kinerja KPU 2017 Diapresiasi, Quo Vadis KPU 2018?

Menyusul Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang telah melaporkan hasil kinerja tahunannya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyelenggarakan diskusi Catatan Akhir Tahun. KPU mengundang DKPP, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) untuk memberikan catatan atas kinerja KPU selama 2017.

KPU mesti lolos dari siklus sepuluh tahunan

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan bahwa KPU periode 2017-2022 berada dalam siklus sepuluh tahunan yang rawan. Tak seperti KPU periode 2007-2012 yang berjuang menghapus stigma korupsi di internal lembaga dan memperbaiki penurunan tingkat partisipasi pemilih, KPU saat ini menghadapi stigma baik yang diturunkan oleh KPU periode 2012-2017. Oleh karena itu, tantangannya adalah mempertahankan kerja baik, inovasi dan transparansi, serta mensolidkan kelembagaan.

“Tantangan terbesar KPU 2019 adalah membalikkan stigma sepuluh tahunan yang biasanya menjadi sorotan. Apakah KPU mampu mengkonsolidasi kelembagaan KPU? Jangan sampai baik tidaknya KPU bergantung pada satu tokoh,”  ujar Titi pada acara “Catatan Akhir Tahun KPU 2017” di Gondangdia, Jakarta Pusat (22/12).

Titi juga mengatakan ada satu fenomena baru yang menunjukkan komitmen DPR terhadap kelanjutan kinerja KPU, yakni diteruskannya dua anggota KPU periode 2012-2017 ke dalam komposisi tim komisioner KPU periode 2017-2022. Kehadiran dua anggota lama menjadi hal baik dalam kesinambungan estafet kepemimpinan dan kinerja KPU.

“Sebelumnya gak pernah ada anggota lama yang terpilih kembali, tapi sekarang ada Pak Hasyim dan Pak Arief yang kembali terpilih,” tukas Titi.

Kinerja KPU diapresiasi

DKPP, Bawaslu, dan Perludem mengapresiasi kinerja KPU. Setidaknya ada empat hal yang disebut oleh ketiga pihak, yakni inovasi, transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan publik yang baik, termasuk meningkatnya jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) akses.

Di penghujung tahun, KPU meraih prestasi sebagai lembaga pemerintah yang paling transparan peringkat satu. Prestasi itu menambah bukti komitmen KPU pada keterbukaan informasi dan tahapan penyelenggaraan. Sebelumnya, dua lembaga survei menempatkan KPU sebagai lembaga yang paling dipercaya oleh masyarakat pada urutan keempat.

“Lembaga seperti kita, social trust itu sangat penting. Saya mgapresiasi KPU dapat peringkat satu. KPU naik dua tingkat, Bawaslu naik satu tingkat. Inovasi yang dilakukan KPU jadi hal yang membuat kepercayaan terhadap KPU naik,” kata Anggota Bawaslu RI, Muhammad Afiffudin.

Menyusul pujian Afif, Titi mengatakan salut pada slogan-slogan baru yang dikampanyekan oleh KPU. Slogan “KPU Melayani” memperluas makna pelayanan publik yang sebelumnya dipersempit dengan slogan “Melayani Pemilih, Melayani Hak Pilihnya”. Slogan “Pemilih Berdaulat, Negara Kuat” juga membuka ruang refleksi yang mengingatkan makna demokrasi substantif, yaitu rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Dua hal perlu diperbaiki

Dalam curhatan terbuka DKPP dan Bawaslu, keduanya mengutarakan bahwa KPU perlu meningkatkan komunikasi dan kerja sama dalam konsep three partied penyelenggara pemilu. Afif merekomendasikan ngopi dan ngobrol bareng, sedang Anggota DKPP, Alfitra Salamm, mengusulkan penyusunan standar, operational, procedure (SOP) agar setiap peraturan yang dibuat oleh masing-masing lembaga dapat dibicarakan sebelum draf dipublikasikan ke publik.

“Perlu ada three partied, agar di hulunya (peraturan) bisa dibicarakan dan tidak membuat kesalahpahaman. Berdayakan mantan-mantan komisioner sebagai stakeholder. Buat tim asistensi sendiri dari mereka,” kata Fitra.

Selain itu, KPU juga harus menjalin hubungan erat dengan generasi milenial. KPU memiliki tugas untuk menjembatani hak politik dan merubah sikap apolitis generasi muda. Penggunaan media sosial tak dapat disepelekan mengingat jutaan penduduk Indonesia memiliki akun facebook dan menggunakan whatsapp.

“KPU harus membangun jembatan dengan generasi milenial. Kalau tidak, target partisipasi hak pilih akan sulit tercapai,” tukas Fitra.

Quo vadis 2018

Dengan modal kepercayaan publik, produk-produk inovasi transparansi, dan kesinambungan tim komisioner KPU, KPU akan melangkah menuju 2018 dengan dua agenda pemilu yang beririsan, yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 di 171 daerah dan Pemilu 2019. Berjalannya dua agenda pemilu ini menjadi tantangan berat bagi KPU dari tingkat pusat hingga tingkat ad hoc, sebab pengelolaan pemilu bertambah kompleks. KPU periode 2017-2022 akan menjadi pelaku sejarah pelaksanaan pemilu serentak lima kotak.

“Pilkada 2018 dengan Pemilu 2019 hanya berjarak sepuluh bulan. Maka tantangannya memang luar biasa. Begitu banyak kompleksitas teknis yang akan kita hadapi nanti,” kata Ketua KPU RI, Arief Budiman.

Arief menggambarkan quo vadis KPU 2018. Untuk Pilkada, KPU tak mengalami hambatan. Anggaran Pilkada di 171 daerah telah disetujui oleh Pemerintah Daerah (Pemda) 100 persen. Perekrutan penyelenggara ad hoc juga telah dilakukan, bahkan telah diberikan pelatihan dan bimbingan teknis (bimtek).

“Anggaran, walau pencairannya ada yang terhambat, tapi tidak menimbulkan masalah yang berarti. Jadi, untuk urusan anggaran dan personil, kita sudah siap sampai tingkat desa,” tandas Arief.

Berbeda hal dengan Pilkada, KPU mengaku masih sulit mensinkronkan peraturan teknis KPU dengan Undang-Undang (UU) No.7/2017. Banyak perubahan aturan dan aturan baru di UU tersebut yang berimplikasi besar pada penyelenggaraan pemilu. Beberapa aturan, berkurang progresifitasnya.

“Contohnya, aturan penyelenggaraan hari H. Kalau semua yang ada di UU kita terapkan, butuh waktu 24 jam. Artinya, KPPS (Kelompok Panitia Penyelenggara Pemilu) harus bekerja penuh. Ini harus diperhatikan karena kalau orang sudah kelelahan, emosinya naik, tingkat kelalaiannya akan tinggi,” ujar Arief.

Selain itu, pembentukan badan ad hoc juga menyisakan persoalan teknis. Pasalnya, jumlah Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) untuk Pemilu berkurang menjadi tiga orang di tengah beban pemilu lima kotak dan rekapitulasi yang dimulai di tingkat kecamatan.

“Beban kerja PPK saat Pemilu 2019 nanti jauh lebih besar. Kalau pilkada, mereka hanya hitung satu jenis pemilu, sedangkan Pemilu hitung lima jenis pemilu. Selain itu, kalau Pilkada paling tidak hanya ada dua atau tiga pasangan calon, tetapi ini banyak sekali calon,” jelas Arief.

Anggota KPU RI, Hasyim Asyarie, mengatakan bahwa KPU kemungkinan akan membentuk tenaga pendukung PPK. Kegagalan pembentuk UU menangkap rumitnya penyelenggaraan pemilu serentak harus dijawab dengan partisipasi masyarakat yang lebih aktif, tak hanya sekadar memantau.

Tak berhenti di situ, kinerja KPU  akan berhadapan dengan ketidak progresifan aturan kedua, yakni dihapusnya jalan keluar yang semula tertuang di dalam UU Pilkada. Tak lagi ada perpanjangan masa jabatan bagi anggota KPU yang sedang menyelenggarakan tahapan pemilihan umum. Masalahnya, banyak anggota KPU daerah yang akan berakhir jabatannya pada waktu-waktu krusial tahapan, seperti H-1 minggu dan H-1 hari pemungutan suara Pemilu 2019.

Melanjutkan tradisi inovasi

Tantangan berat yang akan dihadapi KPU di 2018 mendorong KPU untuk terus mengadakan inovasi dengan pemanfaatan sistem teknologi informasi. Dalam pengadaan logistik misalnya, KPU akan menambah empat jenis logistik yang pengadaannya dilakukan melalui e-katalog.

Anggaran penyelenggaraan pemilu per daerah juga akan dibuka di masing-masing website KPU. Festival anggaran akan dilakukan dengan menampilkan angka global dan pengelompokan jenis anggaran guna mempermudah publik mempelajarinya.

“Jadi, di festival ini, semua satker (satuan kerja) KPU menampilkan jumlah anggarannya. Lalu kami minta mereka membagi ke dalam kelompok-kelompok tertentu seperti anggaran logistik, anggaran sosialisasi, dan lain-lain,” terang Arief.

Menurut Arief, dengan transparansi, kerja KPU justru akan lebih ringan. Dengan publik mengetahui semua kerja KPU, akuntabilitas KPU akan lebih terjaga. “Akuntabilitas inilah yang akan menolong kita jika ada yang mempertanyakan di kemudian hari,” tutup Arief.