August 8, 2024

Perludem: MK Gagal Melindungi Konstitusionalitas Pencalonan

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritik argumentasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang membawa putusannya pada kesimpulan bahwa ambang batas pencalonan presiden adalah konstitusional. Perludem mengemukakan dua kesalahan, kalau tidak bisa dikatakan “keanehan” logika MK.

Kesalahan tafsir frasa gabungan politik

Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan, “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

Penggunaan frasa “partai politik” dan “atau gabungan partai politik”, menurut Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, sangat mudah dipahami sekalipun oleh orang yang tak belajar ilmu hukum. Digunakannya dua frasa dengan jelas mengartikan bahwa yang berhak mengajukan pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden adalah setiap partai politik yang sudah ditetapkan sebagai peserta pemilu. Adapun “atau gabungan partai politik” merupakan pilihan yang dapat diambil atau ditinggalkan.

“Perihal partai ingin bergabung atau membentuk koalisi dengan partai politik lain dalam mengusung paslon presiden, itu menjadi pilihan bagi partai politik. Frasa partai politik dan frasa atau gabungan partai politik ada di dua derajat yang berbeda,” kata Fadli seperti yang termuat di dalam rilis pers yang diterima rumahpemilu.org (12/1).

Lebih lanjut, Fadli mengkritik pertimbangan MK  poin 3.14 yang memaknai Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai constitutional engineering yang bertujuan  mendorong partai-partai yang memiliki platform, visi atau ideologi yang sama atau serupa untuk berkoalisi dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden. Pemaknaan ini, kata Fadli, merupakan sebuah lompatan logika yang tidak tepat. Frasa “atau gabungan partai politik” tak bisa dipaksakan kepada partai politik.

“Hakim MK yang notabene adalah negarawan yang paham hukum dan konstitusi, bergelar profesor dan doktor, pastinya mahfum terhadap hal ini. Namun, entah mengapa lompatan logika MK kepada constitutional engineering untuk penguatan sistem presidensial tiba-tiba muncul. Sesuatu yang tak disebutkan eksplisit di dalam konstitusi,” tegas Fadli.

Penguatan sistem presidensial ala MK tak masuk akal

Argumentasi detil yang dibacakan MK terkait penguatan sistem presidensial di dalam syarat ambang batas pencalonan presiden merupakan sesuatu yang tidak ada di dalam teori sistem presidensial. Lagipula, presiden di dalam sistem presidensial Indonesia telah memiliki posisi dan wewenang yang kuat. Presiden dan lembaga legislatif memiliki kewenangan masing-masing, sehingga semestinya, pemilihan langsung atas keduanya tidak saling memengaruhi.

“Masing-masing punya mandat yang berbeda. Justru, semakin aneh ketika hasil pemilu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) pada pemilu sebelumnya yang menentukan pencalonan presiden di periode selanjutnya,” jelas Fadli.