August 8, 2024

Mesti Ada Cantolan Hukum untuk Tindak Tuntas Mahar Politik di Pilkada

Isu mahar politik kembali hangat diperbincangkan setelah munculnya laporan La Nyalla Mattalitti, mantan Ketua Umum Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI), bahwa dirinya diminta dan telah membayar sejumlah uang kepada Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) untuk menjadi calon gubernur Jawa Timur. Kasus ini bukan yang pertama terjadi di Pilkada 2018, lebih dulu terjadi aduan bakal calon gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengaku dimintai mahar politik oleh salah satu pengurus Partai Golongan Karya (Golkar).

Kasus-kasus mahar politik marak terjadi, tetapi tak satu pun yang berakhir dengan penegakan hukum. Hal ini, kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Sunanto, disebabkan oleh tak adanya aturan yang dapat menindak mahar politik di Undang-Undang) Pemilu. Seseorang yang belum ditetapkan sebagai calon peserta pemilu bukan objek hukum Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Penyelenggara pemilu gak bisa mengawasi mahar politik itu karena dia adanya di internal partai. Memang bukan kewenangannya. Jadi, kalau mau cepat tanggapannya, perubahan regulasi menjadi sangat penting agar semua proses seleksi di partai bisa diawasi,” ujar Nanto pada diskusi “Mahar Politik di Pilkada 2018” di media center Bawaslu RI, Gondangdia, Jakarta Pusat (17/1).

Kasus mahar politik menjadi bukti bahwa parsialitas penegakan hukum pemilu tak menguntungkan demokrasi. Semestinya, berbagai permasalahan yang acap kali terjadi selama proses pemilu dan demokrasi ditopang oleh kelengkapan aturan di berbagai UU.

“Banyak hal parsial dalam pemberlakuan UU. Di satu sisi melihat UU pemilu saja (sebagai cantolan penegakan hukum), tapi UU lain dilupakan. Harusnya kan bukan hanya UU Pemilu yang bergerak. Kelemahan di UU Pemilu bisa ditopang oleh UU yang lain,” tegas Nanto.