August 8, 2024

Mahar Politik di Pilkada Dapat Ditindak  dengan Pasal 47 UU Pilkada

Anggapan mahar politik tak dapat ditindak oleh Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tak selalu benar. Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, mengatakan bahwa kesaksian dari aktor yang mengalami langsung permintaan mahar politik dapat diproses secara hukum. Bahkan, pembuktian kasus akan lebih mudah.

Veri menjelaskan, ada dua mekanisme yang dapat ditempuh oleh penegak hukum, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yakni mekanisme administrasi dengan sanksi administrasi di Pasal 47 Undang-Undang (UU) No.10/2016 dan mekanisme pidana. Yang pertama kali dapat dilakukan adalah mekanisme pidana.

“Mekanisme pemidanaan butuh pembuktian materil, apakah benar terjadi mahar politik? Apakah benar memberi imbalan? Sudah diterima (imbalan) belum? Kalau di media kan menerimanya sudah. Nah, kalau aktornya yang ngomong, harusnya pembuktiannya lebih mudah,” jelas Veri pada diskusi “Mahar Politik di Pilkada 2018” di media center Bawaslu RI, Gondangdia, Jakarta Pusat (17/1).

Setelah pembuktian, penting agar pengadilan dapat memberikan sanksi administrasi, yakni pembatalan pasangan calon atau tak diperbolehkannya partai yang bersangkutan mencalonkan kandidat di pilkada selanjutnya.

“Di Pasal 47 itu, sepanjang imbalan yang dikeluarkan untuk bisa mengeluarkan rekomendasi pencalonan, itu sudah kena,” ujar Veri.

Yang perlu menjadi catatan, kata Veri, pemberian imbalan dalam proses pencalonan berbeda dengan biaya saksi atau biaya operasional pemenangan lainnya. Biaya saksi dibicarakan setelah ada penetapan pasangan calon, sementara mahar politik dibicarakan sebelum partai politik mendaftarkan calon ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).