Belakangan bermunculan pengakuan para bakal calon kepala daerah yang gagal mencalonkan diri dalam pemilihan umum kepala daerah 2018 karena terkait permintaan ”mahar” dari partai politik.
Walaupun persoalan mahar politik terbilang isu lama, pasca- munculnya pasal pidana terhadap mahar, kini isu bergeser pada ranah penegakan hukum, bukan lagi sekadar persoalan perekrutan calon kepala daerah di internal partai politik.
Setidaknya ada dua pasal di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang menjadi dasar untuk memidanakan mahar politik, Pasal 187B dan Pasal 187C. Dalam ketentuan itu, pemberi dan penerima mahar politik dapat dipidana.
Secara normatif ada beberapa unsur yang mesti dipenuhi agar dapat memidana mahar politik, yaitu (a) subyek pemberi adalah perseorangan atau lembaga, sedangkan subyek penerima adalah anggota partai politik atau gabungan partai politik; (b) pemberian ini termasuk sebagai perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang; (c) ada pemberian dan penerimaan imbalan; (d) peristiwa terjadi pada proses pencalonan gubernur/ wakil gubernur, wali kota/wakil wali kota, dan bupati/wakil bupati.
Sepintas pembuktian mahar politik mudah, cukup dengan adanya bukti pemberian saja sudah cukup bagi penegak hukum mengusut kasus ini. Namun, apakah penyelenggara pemilu dan penegak hukum punya cukup sumber daya untuk menuntaskan penegakan hukumnya?
Ilusi
Politik tanpa mahar ini seperti ilusi, baik dari sisi penegakan hukum maupun penyelenggaraan pemilu. Pemidanaan terhadap mahar politik hanya menyangkut satu tahapan saja dalam penyelenggaraan pemilu.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, tindak pidana mahar politik hanya akan dikenakan jika dilakukan dalam proses pencalonan. Secara materiil pemberian itu harus nyata (imbalan), bukan sekadar janji. Bagaimana jika pemberian itu baru dilakukan setelah penetapan pasangan calon? Ada problem normatif yang menyebabkan pasal ini sulit menjangkau praktik jual-beli dalam pencalonan kepala daerah.
Kedua, pasca-pencalonan, pasangan calon yang telah ditetapkan memungkinkan untuk memberikan sesuatu (uang) kepada partai politik pengusung dengan dalih dana kampanye. Dengan demikian, ini menjadi sesuatu yang legal, tidak lagi dinilai sebagai mahar politik.
Ketiga, bagaimana kesiapan penegak hukum dan penyelenggara pemilu dalam merespons tindak pidana mahar politik?
Bisa hilang
Dalam banyak hal, tindak pidana yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu akan hilang dengan sendirinya ketika pemilu berakhir. Padahal, tindak pidana mahar politik justru tidak ada batas waktu.
Kenyataannya, tindak pidana mahar politik ini memiliki sanksi ganda. Tidak hanya berupa pidana penjara/denda kepada pemberi dan penerima, tetapi juga memuat sanksi administratif, yaitu bagi partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima mahar politik.
Sanksi tersebut berupa larangan untuk mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama (Pasal 47 Ayat 2). Bahkan, penetapan pasangan calon, calon terpilih, atau bahkan telah menjabat sebagai kepala daerah dapat dibatalkan (Pasal 47 Ayat 5).
Jika mengikuti perkembangan yang sedang terjadi saat ini, baik penegak hukum maupun penyelenggara pemilu seperti kesulitan untuk mengusut kasus ini dan cenderung menunggu pengakuan serta bukti-bukti yang diberikan pihak lain, apalagi itu muncul dari pihak pemberi yang juga berpotensi dikenai pidana.
Sebagai tindak pidana baru, tantangan ini tentu harus dijawab dengan kesiapan yang mumpuni, baik bagi penyelenggara pemilu maupun penegak hukum.
Kesiapan ini tentu saja terkait dengan standar prosedur di internal lembaga masing-masing ataupun kemampuan aparat untuk menyelidiki dan menyidik tindak pidana mahar politik.
Jika berkaca pada pengalaman penegakan hukum pemilu, misalnya terkait tindak pidana politik uang untuk memengaruhi hak pilih. Dalam banyak hal justru tidak berdampak signifikan terhadap perbaikan penyelenggaraan dan kualitas hasil pemilu.
Padahal, praktik politik uang telah menjadi keseharian dalam banyak pilkada dan itu terjadi di depan hidung penyelenggara pemilu dan penegak hukum.
Kesiapan penegak hukum
Mungkin saja penegak hukum dan penyelenggara pemilu memang tidak cukup punya kemampuan untuk menangani tindak pidana politik uang yang begitu masif. Belum lagi soal keterbatasan waktu untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus tersebut.
Bahkan, dalam beberapa kasus politik uang justru tidak berproses dalam ranah hukum pidana, tetapi justru dibuktikan dalam proses sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Maka, bukan tidak mungkin tindak pidana mahar politik ini akan bernasib sama dengan tindak pidana politik uang sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum pidana pemilu.
Mahar politik, imbalan, atau apa pun namanya tidak bisa dipisahkan dari persoalan inti tentang politik biaya tinggi. Upaya untuk menekan biaya politik melalui instrumen pidana sebaiknya memang dijadikan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
Berbagai instrumen memang mulai dimunculkan, mulai dari menambah anggaran bantuan keuangan bagi partai politik, membatasi jumlah sumbangan politik, membatasi belanja kampanye, hingga kebijakan untuk subsidi kampanye dari anggaran negara. Akan tetapi, sekali lagi semua hal itu belum cukup ampuh untuk menekan biaya politik yang begitu tinggi.
Saya merasa bahwa pemidanaan terhadap mahar politik hanyalah sekadar menambah satu pasal pidana di dalam undang- undang. Bukan untuk menyelesaikan problem korupsi politik sebagai dampak dari proses penyelenggaraan pemilu yang korup.
Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia