Calon bermasalah hukum lolos seleksi bukan yang pertama kali terjadi di Pilkada. Hal ini jadi bukti rekrutmen calon di tubuh partai tak kunjung membaik. Partai lebih baik menarik calonnya dan berani bertanggung jawab menanggung konsekuensi—termasuk menanggung sanksi yang diatur undang-undang.
Nyono Suharli Wihandoko, Bupati Jombang yang kembali mencalonkan menjadi Bupati Jombang di Pilkada 2018, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sabtu (3/2). Marianus Sae, Bupati Ngada yang mencalonkan diri menjadi Gubernur Nusa Tenggara Timur menyusul. Minggu (11/2), sehari sebelum penetapan pasangan calon, ia terkena operasi tangkap tangan KPK.
Bukan yang pertama
Dua orang berstatus tersangka ini bukan yang pertama terjadi di pilkada. Pada 2017 tahun lalu, setidaknya ada empat calon yang tersangkut kasus hukum karena perbuatan korupsi.
Pertama, Ahmad Marzuki—Bupati Jepara—menjadi tersangka dugaan penyelewengan dana bantuan partai politik 2011—2012. Kedua, Burhanuddin—Bupati Takalar—menjadi tersangka dugaan penjualan tanah negara. Ketiga, Samsu Umar Abdul Samiun—Bupati Buton—menjadi tersangka dugaan suap ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Keempat, Atty Suharti—Walikota Cimahi—menjadi tersangka dugaan suap terhadap tender proyek pembangunan pasar. Semuanya merupakan petahana yang mencalonkan lagi di pilkada.
Bahkan pada 2012 lalu, Khamamik-Ismail Ishak sebagai Bupati-Wakil Bupati Mesuji terpilih hasil pilkada dilantik di rutan. Setelah melalui proses pengadilan dan tahapan pemilu, Ismail Ishak berstatus Terpidana hukuman satu tahun kasus korupsi dana BUMD Tuba (2006).
Konstruksi hukum UU Pilkada tak mampu membendung orang yang bermasalah hukum untuk menjadi calon kepala daerah jika belum ada keputusan hukum yang tetap.
“Sesuai regulasi, sepanjang putusan hukumnya belum inkracht ya dia tetap sah menjadi pasangan calon, sepanjang dia memenuhi syarat,” ujar Arief Budiman, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Senin (12/2).
UU 10/2016 Pasal 163 Ayat (6) bahkan tetap memberi ruang bagi tersangka untuk mengikuti seluruh tahapan pemilu hingga pelantikan jika ia terpilih. Dalam hal calon kepala daerah terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi kepala daerah.
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memandang ketentuan tersebut disusun dalam bangunan hukum yang berusaha memproteksi calon agar tidak serta merta dinyatakan tak memenuhi syarat atau diganti karena intrik atau konflik politik. Sementara situasi yang terjadi pada dua calon tersangka korupsi ini berbeda dari konstruksi hukum tersebut.
“Situasi hari ini adalah fakta hukum yang berbeda. Orang ditangkap KPK ada barang bukti bersama. OTT itu hanya mungkin ketika sedang melakukan tindak pidana dan ditangkap,” tandas Titi (13/2).
Tak bisa diganti
KPU mengaku masih ada pertanyaan dari partai politik pengusung untuk mengganti calon bermasalah hukum ini. Namun, penggantian itu tidak dimungkinkan karena status hukum belum terbukti bersalah dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Anggota KPU RI, Hasyim Asy’ari menegaskan, partai politik tak bisa menarik dukungan kepada kandidat yang diusungnya, baik setelah pendaftaran dilakukan maupun setelah penetapan peserta Pilkada. Ia mengacu pada Pasal 78 dan Pasal 79 Peraturan KPU No. 3/2017.
Bahkan, jika partai menarik dukungan dari kandidat dengan memberikan dokumen resmi penarikan dukungan kepada KPU, partai dikenakan sanksi. “Sanksi ini ada di Undang-Undang. Jadi, kalau partai tetap memberikan surat penarikan dukungan, ini tidak mempengaruhi pencalonan si kandidat. Malah, sanksi berjalan,” kata Hasyim di kantor Bawaslu RI, Gondangdia, Jakarta Pusat (12/2).
Pasal 191 Ayat (1) dan (2) menegaskan sanksi pidana bagi calon dan pimpinan partai politik jika mundur. Calon kepala daerah dan pimpinan partai politik yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan pasangan calon sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit 25 miliar rupiah dan paling banyak 50 miliar rupiah.
Mundur dan tanggung konsekuensinya
Titi menegaskan calon dan partai pengusung sebaiknya bertanggung jawab secara moral dengan menarik dukungan, mengundurkan diri, dan menerima segala konsekuensinya—termasuk sanksi pidana yang diatur undang-undang.
“Dalam sitausi seperti ini yang dituntut adalah tanggung jawab moral politik dan hukum partai politik. Memang ada ancaman pidana dan denda dan proses hukum terhadap pimpinan partai yang menarik atau membatalkan pencalonan. Tapi ini konsekuensi. Kalau kita berkomitmen pada pemberantasan korupsi, harusnya mau ditanggung partai supaya ada efek jera. Screening kalau mau mencalonkan harus jelas dan ketat,” tegas Titi.
Pemilih tak boleh dirugikan dengan diberi pilihan-pilihan yang buruk. Tingginya biaya penyelenggaraan pilkada yang didedikasikan pada proses demokrasi untuk menghasilkan pemimpin terbaik tak boleh terbuang sia-sia.