Pascapenetapan pasangan calon (paslon) kepala daerah dan wakil daerah (pilkada) secara serentak pada 12 Februari 2018, dan diikuti pengundian nomor urut paslon sehari setelahnya (13/2), KPU selanjutnya menggelar deklarasi kampanye damai pilkada 2018 secara serentak, Minggu (18/2).
Penyelenggaraan deklarasi dilakukan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) berpusat di Makassar, Sulawesi Selatan. Diikuti oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota di 171 daerah yang pilkada, meliputi 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten seluruh Indonesia.
Masa kampanye secara resmi memang sudah dimulai sejak 15 Februari dan akan berlangsung sampai 23 Juni 2018. Selama empat bulan lebih paslon akan bertarung menawarkan visi, misi, dan program guna meyakinkan pemilih agar memberikan suara untuk si paslon pada hari pemungutan suara Rabu, 27 Juni mendatang. Esensi kampanye sejatinya adalah aktivitas pendidikan politik melalui adu gagasan dan agenda kerja.
Sedangkan deklarasi kampanye damai bukan hal baru. Sejak pilkada langsung digagas di tahun 2005, sampai pilkada serentak gelombang ketiga tahun 2018 terselenggara, jargon damai selalu diteriakkan lantang. Deklarasinya, pilkada damai harga mati.
Damai merupakan hal mendasar dalam demokrasi. Tidak ada demokrasi dengan kekerasan dan manipulasi. Pilkada tidak boleh berujung permusuhan, kerusuhan, apalagi perpecahan. Pilkada mutlak ciptakan rasa tenang, tenteram, dan aman, sebagai refleksi kerukunan warga. Pilkada sudah semestinya menyatukan. Menyatukan pemilih untuk mencoblos yang terbaik bagi kepentingan pelayanan publik dan kepemimpinan daerah.
Sayangnya, mengawali tahapan kampanye, beberapa indikasi menunjukkan adanya upaya tidak sehat untuk memprovokasi pemilih dengan menyerang SARA (suku, agara, ras, dan antar golongan), menyebarkan berita bohong (hoax), fitnah, dan warta dusta, atau kampanye hitam atas peserta pilkada. Sebut saja isu LGBT pada salah satu paslon di pilkada Jawa Barat, akun palsu Ganjar Pranowo untuk menyerang Sudirman Said di pilkada Jawa Tengah, dan munculnya ratusan akun palsu yang menebar provokasi di pilkada Jawa Timur.
Segregasi dan provokasi SARA sangat mudah memicu sentimen dan gerak massa. Pemilih cepat irasional jika menyangkut SARA, apalagi di tengah absennya fungsi pendidikan politik oleh para calon. Masyarakat tidak akan bergerak dan bertindak melawan hukum tanpa ada upaya mobilisasi dari oknum-oknum yang berkepentingan dengan pilkada. Situasi ini bila tidak diantisipasi secara proaktif dan bijaksana, akan menghadirkan kontestasi yang jauh dari damai.
Ini peringatan dini bagi masyarakat agar menyadari situasi yang sedang dihadapi dan bijak mengambil sikap. Dan jadi peringatan bagi paslon agar mengedepankan kampanye yang terhormat dan bermartabat untuk mencegah perpecahan dan keterbelahan bangsa.
Kampanye yang membelah publik hanya memberi dampak buruk bagi pemerintahan daerah dan agenda pembangunan pascapilkada. Kampanye hitam, menyerang SARA, dan menyebarkan kebencian adalah kampanye jahat yang membuat defisit demokrasi. Cara rendahan untuk mendulang kuasa dengan mengabaikan martabat kompetisi.
Untuk itu, penting mengingatkan kembali para pihak, Pasal 69 UU No. 10/2016 mengatur sejumlah larangan yang tidak boleh dilakukan selama masa kampanye. Selain tegas mengharamkan politik uang, dalam kampanye juga dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau partai politik. Dilarang melakukan kampanye menghasut, memfitnah, dan mengadu domba. Serta dilarang menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan. Melanggar ketentuan ini berarti telah melakukan tindak pidana dan akan dikenai sanksi berat berdasar aturan yang ada.
Sehubungan itu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan penyelenggara pemilu, pemilih, dan paslon, agar kampanye damai bukan sebatas simbo artfisial. Pertama, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), institusi negara terkait, dan paslon, harus terus melakukan pencegahan dan sosialisasi yang terhubung dalam melawan kampanye jahat. Peta jalan bersama antara penyelenggara, kementerian/lembaga terkait, dan aparat penegak hukum harus disusun terintegrasi agar kerja pencegahan tidak sektoral dan kasuistis
Kedua, jika pendekatan persuasif telah dilakukan dan tetap terjadi pelanggaran, maka aparat penegak hukum harus menjalankan fungsi penegakan hukum secara tegas. Bawaslu sebagai pengawas, bersama aparat penegak hukum yang bernaung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) harus berani dan tidak boleh pasif. Kesepamahan dan kesamaan komitmen di antara mereka harus solid dari mulai elit sampai jajaran lapangan.
Bawaslu dan aktor negara terkait jangan hanya intensif menandatangani nota kesepahaman namun lembek saat berhadapan dengan pelanggaran di lapangan. Keterlambatan dalam proses pengungkapan dapat membuat perilaku yang sama menyebar tanpa kendali. Sikap pasif dan lambat jajaran Bawaslu, bisa berakibat ketidakpercayaan dari masyarakat dan peserta pilkada.
Bibit kampanye jahat harus ditindak dan diadili, tentu dengan cara-cara yang menjunjung tinggi penghormatan pada hak asasi warga negara. Agar ada efek jera bagi mereka yang mau coba-coba. Namun, Bawaslu sebagai komandan pengawasan pilkada, wajib transparan dalam memproses dan mengungkap kasus-kasus yang ada, baik politk uang, intimidasi, kampanye hitam, maupun penyebaran kebencian. Karena transparansi akan menghilangkan sekat-sekat kecurigaan di antara para pihak dan menjaga akuntabilitas kerja jajaran Bawaslu.
Ketiga, masyarakat harus bijak memilah dan mencerna informasi. Rawatlah nalar dan nurani dengan memelihara jiwa kritis dan perilaku tabayyun. Tabayyun jika benar-benar dipraktikkan umat, niscaya tak akan memberi ruang bagi hadirnya kampanye jahat dan provokasi pilkada. Tradisi tabayyun mengharuskan pemilih meneliti dan menyeleksi suatu berita, tidak secara tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu sampai jelas benar permasalahnnya, sehingga tidak ada pihak yang merasa dizalimi atas suatu keadaan.
Penting bagi pemilih untuk mengkonfirmasi atau menguji validitas data dan informasi yang diterima. Agar tidak terjebak dalam agenda jahat para oportunis pilkada.
Damai tak cukup dideklarasikan, damai harus dibuat nyata. Caranya, dengan mempraktekkan apa yang ada di dalam teks. Akhirnya, kedamaian pilkada akan terwujud jika kampanye benar-benar jadi ajang edukasi politik untuk adu gagasan dan program calon. Bukan sebaliknya marak pelanggaran, kecurangan, dan tindakan memecah.
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Republika edisi 19 Februari 2018 dengan judul “Mewujud Damai di Pilkada”.