August 8, 2024
Foto ini diambil dari situs greeners.co

Masyarakat Adat, Pemilu dan Demokrasi Lokal

Tema masyarakat adat seringkali absen dalam diskursus pemilu dan demokrasi. Padahal, bersamaan dengan kelompok disabilitas, masyarakat adat masuk ke dalam kategori kelompok rentan. Tak ada yang menyebutkan secara spesifik masyarakat adat saat pembuat kebijakan bicara soal penetapan daftar pemilih. Pun saat bicara soal sosialisasi pemilu, partisipasi pemilih, dan pengawasan pemilu. Isu masyarakat adat menjadi isu yang tak hanya sektarian, tetapi juga isu pinggiran.

Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencoba mengawali perbincangan mengenai masyarakat adat dan demokrasi lokal. Dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah dipertanyakan oleh masyarakat, akademisi, sekali pun oleh para pegiat pemilu.

Apa itu masyarakat adat?

AMAN mendefinisikan masyarakat adat sebagai sekelompok orang yang hidup di sebuah wilayah yang memiliki ikatan sejarah dan asal-usul yang jelas, dan mewariskan sistem pranata sosial, politik, ekonomi, kelembagaan adat, dan hukum adat secara turun-temurun. Masyarakat adat biasanya hidup dalam suatu komune besar yang mempertahankan nilai-nilai sakral tertentu.

Masyarakat adat telah ada sejak sebelum munculnya ide nation-state atau negara bangsa. Dengan kata lain, eksistensi masyarakat adat dengan sistem kepercayaan dan kebudayaannya mendahului eksistensi negara beserta seperangkat hukumnya.

Keberadaan masyarakat adat di dalam negara modern seringkali dirugikan. Sebagai contoh, kepemilikan tanah adat yang diambil alih oleh negara atas nama pembangunan atau konservasi dan pertambangan. Baru-baru ini, Peraturan Presiden (Perpres) No.88/2017 berkonsekuensi pemindahan 121 kelompok masyarakat adat yang tinggal di wilayah konservasi ke wilayah luar.

“Sejak Orde Baru, negara hadir di tengah-tengah masyarakat dalam bentuk perampasan wilayah, perampasan tanah, kriminalisasi. Padahal, negara harusnya hadir untuk mengakui keberadaan mereka, menjamin hak-hak mereka, menerima nilai-nilai kearifan mereka, dan meningkatkan kualitas hidup mereka,” kata Direktur Direktorat Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat, Abdi Akbar, pada diskusi “Partisipasi Politik Masyarakat Adat” di kantor Perludem, Tebet, Jakarta Selatan (23/2).

Hingga saat ini, telah ada 2.342 kelompok masyarakat adat yang terdaftar di AMAN.

Bagaimana kesadaran politik dan partisipasi masyarakat adat dalam politik dan pemilu?

Tak ada data tingkat partisipasi masyarakat di hari pemungutan suara. Namun, Abdi menjelaskan bahwa anggota AMAN yang terdiri dari masyarakat adat telah cukup banyak yang menjadi penyelenggara pemilu ad hoc. Selain itu, telah ada dua tokoh masyarakat adat di Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Namun, secara umum, tingkat partisipasi masyarakat adat diduga rendah. Sebab, faktanya, sosialisasi pemilu dan politik tidak sampai ke banyak kelompok masyarakat adat. Masyarakat tak tahu-menahu soal kandidat yang mencalonkan, visi-misi, dan dampak pemilu terhadap perbaikan kualitas hidup. Sebagai potret puncak kegagalan sosialisasi, masih ada masyarakat adat yang tak tahu bahwa telah berdiri sebuah negara modern berbentuk republik bernama Indonesia.

Hal ini menjadi ironi sebab masyarakat adat merupakan salah satu sasaran sosialisasi dan pendidikan pemilih. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), sejak 2013, mengamanatkan untuk memberikan pendidikan pemilih kepada masyarakat adat. Begitu pula partai politik yang memiliki tugas untuk melakukan pendidikan politik.

Berdasarkan pantauan AMAN, hanya segelintir kepala daerah, yang dihasilkan oleh pilkada langsung, yang melibatkan masyarakat adat dalam perumusan kebijakan. Salah satu success story yang perlu dimunculkan yakni, perhatian Bupati Bulukumba terhadap masyarakat adat Kajang di Kabupaten Bulukumba.

“Pemda Bulukumba melibatkan masyarakat adat dalam menyusun rancangan peraturan daerah. Jadi, Pemda mendorong pengakuan dan perlindungan masyarakat Kajang di Kabupaten Bulukumba. Kemudian ini dimuat di SK (Surat Keputusan) Bupati tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Bulukumba,” terang Abdi.

Tak ada perwakilan masyarakat adat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Yang ada adalah legislator yang mendukung dan menyuarakan perjuangan dan kepentingan masyarakat adat.

Pelayanan publik sampai ke masyarakat adat?

Beberapa kelompok masyarakat adat masih tak tersentuh pelayanan administrasi negara. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka menjadi warga negara rentan yang tak terekam data kependudukan. Satu, kearifan lokal yang tak memungkinkan untuk dilakukan perekaman. Dua, letak geografis lingkungan hidup yang tak terjamah. Tiga, tak ada urgensi untuk melakukan perekaman Kartu Tanda Penduduk (KTP).

“Ada masyarakat adat yang tabu untuk difoto. Ada juga yang menganut aliran kepercayaan yang tidak diakui oleh negara. Nah, yang begini ini kan gak bisa bikin KTP (Kartu Tanda Penduduk),” kisah Abdi.

Abdi menceritakan bahwa Tempat Pemungutan Suara (TPS) didirikan di dekat pemukiman masyarakat adat, tetapi di beberapa kasus tak didirikan di beberapa pemukiman masyarakat adat jika letaknya di dalam wilayah konservasi. Berdasarkan peraturan Pemerintah,  tak boleh ada kegiatan apapun di wilayah konservasi.

Menanti perhatian para pembuat kebijakan

Saat dimintai keterangan, Anggota KPU RI, Wahyu Setiawan, mengatakan bahwa KPU telah melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada beberapa kelompok masyarakat adat. Tiga di antaranya yakni, masyarakat adat Badui di Banten, Sasak di Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Samin di Jawa Timur.

“Kami sudah melaksanakan beberapa sosialisasi di masyarakat adat. Salah satunya di NTB. Kami sudah memerintahkan KPU kabupaten/kota untuk memberikan sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada masyarakat adat,” kata Wahyu melalui whatsapp (26/2).

Pada prinsipnya, KPU akan menjaga hak pilih warga negara. Bagi masyarakat adat yang tak punya KTP atau karena kearifan lokal tak mungkin terekam dalam data kependudukan dengan mekanisme reguler, akan ditempuh jalur lain guna memastikan hak politik tetap dapat disalurkan.

“Dari coklit (pencocokan dan penelitian) itu kan akan keluar informasi tentang keadaan-keadaan yang ditemukan di lapangan. Nah, itu jadi bahan bagi kami untuk melakukan strategi pelayanan. Seperti apa nanti koordinasinya dengan pemangku kebijakan. Yang pasti, akan kita kelola sesuai kearifan lokal,” jelas Wahyu.

KPU juga akan memastikan pembentukan daerah pemilihan (dapil) DPR kabupaten/kota memperhatikan letak geografis dan karakteristik masyarakat adat. KPU berkomitmen untuk menjaga kohesivitas masyarakat adat.

Sejalan dengan KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga akan memberikan perhatian khusus terhadap jalannya Pilkada 2018 di wilayah-wilayah masyarakat adat. Bawaslu turut memberikan sosialisasi pengawasan pemilu.

“Bukan hanya KPU Bawaslu yang harus memberi perhatian khusus, Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil) juga. Kebutuhan dan situasi masyarakat adat di daerah-daerah kan berbeda, ini yang harus diberi perhatian dan fasilitasi khusus,” ujar Anggota Bawaslu RI, Muhammad Afiffuddin, kepada rumahpemilu.org (26/2).

Rekomendasi

Keberadaan dapil DPR RI khusus masyarakat adat layak untuk dipertimbangkan. Seperti permintaan akan dapil khusus luar negeri, dapil khusus masyarakat adat berangkat dari kebutuhan untuk menyalurkan aspirasi dari masyarakat yang hidup dengan permasalahan-permasalahan khusus.

Meminjam slogan kelompok disabilitas, “Nothing about us withous us”. Tak ada demokrasi substantif nan inklusif tanpa penyertaan langsung kelompok masyarakat rentan dalam pengambilan kebijakan di tingkat pusat dan daerah. Perwakilan masyarakat adat dengan jumlah yang cukup dibutuhkan untuk mewakili lebih dari 17 juta jiwa.

“Jika harga satu kursi adalah 260 ribu suara, maka masyarakat adat dapat membeli 65 kursi perwakilan di DPR. Itu  jika mengambil jumlah anggota masyarakat adat yang terdaftar di AMAN. Belum lagi yang tidak terdaftar. Tapi bisa juga mengambil jumlah kursi untuk dapil baru, yaitu tiga kursi,” terang Peneliti Perludem, Usep Hasan Sadikin.

Penyelenggara pemilu, partai politik, para kandidat, dan juga lembaga-lembaga terkait diharap menghadirkan diri di tengah masyarakat adat. Bukan sebagai pihak yang memaksakan cara berdemokrasi ala modern, tetapi mengadopsi nilai demokrasi lokal yang melekat dalam kearifan lokal masyarakat.

“Masyarakat adat punya cara memilih pemimpin sendiri, berdasarkan kearifan lokal yang dilakukan sejak dulu. Nah, KPU, tak apa mempersilakan mereka melakukan pemilihan berdasarkan kearifan lokal tersebut. Tinggal nanti memastikan pemilihan itu berdasarkan prinsip jujur dan adil,” kata Usep.