August 8, 2024

AMAN: Jika Negara Tak Jamin Hak Pilih Masyarakat Adat, Mereka Tak Perlu Anggap Negara Ada

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Somboliggi, mengatakan bahwa telah banyak terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berhubungan dengan hak memilih warga masyarakat adat di Indonesia. Terutama kelompok masyarakat adat yang menetap di wilayah konflik lahan dan sumber daya alam (SDA), tak bisa ikut menentukan nasib hidup lewat gelaran Pilkada atau Pemilu karena penyelenggara pemilu tak menyiapkan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan sulitnya mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Salah satu contoh kasus terjadi pada kelompok masyarakat adat Talang Mamak di Indragiri. Pada Pemilihan Presiden 2004, masyarakat adat Talang Mamak masih dapat memilih. Namun, hak memilih hilang pada Pemilihan Presiden 2009 ketika Undang-Undang (UU) Pemberantasan Kerusakan Hutan mengusir mereka dari kampung halaman dan menghapus hak mereka sebagai warga desa.

“UU ini mengusir mereka dari desa mereka sendiri. Jadi, sejak 2009, mereka tidak lagi bisa memilih,” tandas Rukka pada diskusi di kantor Komisi Nasional HAM, Menteng, Jakarta Pusat (8/4).

Ruka menyampaikan, masih ada kotak-kotak suara di desa yang ditinggalkan oleh masyarakat adat Talang Mamak akibat pengusiran oleh negara. Hingga saat ini, ada 700 kepala keluarga (KK) masyarakat adat Talang Mamak yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) elekronik karena negara belum mengakui aliran kepercayaannya.

“Meskipun ya, sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.97 tahun 2016 yang mengatakan bahwa negara harus mengakomodasi  kepercayaan masyarakat adat, tapi buktinya kami masih berjibaku memperjuangkan ini,” tandas Rukka.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh AMAN, ada 1 juta penduduk dari kelompok-kelompok masyarakat adat yang belum memiliki KTP. Faktor budaya lokal menjadi sebab, seperti tabu melepas penutup kepala bagi pemimpin-pemimpin adat dan aliran kepercayaan yang belum diakui. Hal ini menjadi catatan bagi penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, sebab KTP elektronik menjadi syarat untuk memilih, jika yang bersangkutan belum terdaftar di daftar pemilih.

“Di Kajang, ada ratusan keluarga tidak dapat KTP karena agama dan tradisi mereka. Para Matoa, orang Kajang, pemimpin-pemimpinnya pantang buka ikat kepala. Jadi, gak mungkin mereka difoto dengan cara normal untuk keperluan administratif negara,” tukas Rukka.

Menurut Rukka, penyelenggara pemilu dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) wajib melakukan strategi khusus untuk menjamin agar semua individu masyarakat adat dapat memilih calon kepala daerah. Pilkada amat menentukan nasib masyarakat adat. Pilkada tak dikehendaki untuk menghasilkan pemimpin yang mengusir, mengkriminalisasi, menculik, dan membunuh masyarakat adat atas nama kepentingan politik sang pemimpin dan kepentingan bisnis swasta.

“Di Pilkada ini justru nasib wilayah-wilayah adat amat bergantung karena di situ ada transaksi.  Ketika para bupati, gubernur bertarung, ada transaksi berapa proyek jalan yang akan diberikan, wilayah mana yang akan diberikan. Jadi, wilayah adat dijadikan jualan,” tegas Rukka.

Rukka mengharapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertindak aktif sebagai pengawal hak pilih warga negara. Sebagai kalimat penutup,  Rukka mengatakan, “Jika negara tidak mengakui kami (masyarakat adat), maka kami tidak mengakui negara.”