October 4, 2024

Ada Masalah di DKPP

Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP), Kaka Suminta menilai Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) jauh dari pemantauan publik. Padahal, ada permasalahan di DKPP. Dua diantaranya yakni, kesalahan dalam pelaksanaan putusan DKPP, dan dipermasalahkannya kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) disaat Mahkamah Konstitusi (MK) tak mempermasalahkan kinerja kedua lembaga di persidangan sengketa hasil.

“Ada putusan di Subang, DKPP menyatakan bahwa ketua KPU diberi peringatan keras. Tapi kemudian, praktik di lapangan, itu dijadikan bahan untuk melakukan PAW (pejabat antar waktu) oleh KPUD (KPU Daerah). Saat ini juga, banyak sekali laporan masuk ke DKPP. Saya melihat, di MK gak ada malasah, tapi di DKPP, KPU dan Bawaslu dinilai telah melakukan pelanggaran etik,” kata Kaka pada diskusi “Dari Pemilu Serentak 2019 menuju Pilkada Serentak, Sebuah Evaluasi dan Rekomendasi” di kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat (21/8).

Tak hanya Kaka, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi juga menilai perlu ada standarisasi lama waktu penanganan pengaduan di DKPP. Selama ini, menurutnya, ada disparitas waktu penanganan antara satu putusan dengan putusan lainnya.

“Disparitas putusan etik itu, antara satu putusan dengan putusan lain, bisa sangat tinggi. Dan, tidak ada standarnya. Ini penting. Berapa lama sebetulnya DKPP membutuhkan waktu untuk memutus laporan?”, tukasnya.

Veri juga mempermasalahkan status DKPP yang telah bergeser dari semula dibawah Sekretariat Jenderal Bawaslu menjadi Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri. Perubahan patut menjadi perhatian, pasalnya lembaga penyelenggara pemilu didorong untuk berada diluar pemerintahan.

“Kita kan dulu mendorong agar semuanya ada di kelembagaan independen. Di luar pemerintah. Tapi DKPP malah berada dibawah Kesekretariatan Kemendagri,” tandas Veri.

Turut berkomentar Ketua KPU RI, Arief Budiman. Arief mempertanyakan kewenangan yang dimiliki DKPP dalam memberikan sanksi. Ia menyinggung sanksi dari DKPP berupa pernyataan bahwa anggota KPU tertentu tidak layak memegang divisi tertentu. Menurutnya, sanksi tersebut merepotkan.

“Saya tidak tahu, apakah cukup DKPP menyatakan seseorang melanggar etik atau tidak. Memutus sengketa etik di DKPP, atau sampai harus memutus anda melanggar etik dan anda tidak layak memegang divisi ini. Saya terus terang agak kerepotan kalau putusan-putusan ini terus bergulir sehingga kami akan menempatkan orang-orang yang tidak sesuai dengan keahliannya,” jelas Arief.

Arief menyatakan bahwa pada umumnya, semua anggota KPU dapat ditempatkan di divisi manapun. Namun, latar belakang dan kemampuan tertentu baik ditempatkan di divisi sesuai dengan latar belakang dan kemampuannya.

“Misal, di sebuah KPU Kabupaten/Kota atau Provinsi, hanya ada satu orang yang punya keahlian penegakan hukum. Tiba-tiba dia diputus tidak cocok jadi ketua divisi hukum.  Lalu dia terpaksa kita pindah. Apa dia tidak bisa di divisi lain? Bisa. Tapi kan latar belakang hukum itu, dia punya sense lebih untuk nanganin tugas-tugas itu,” terang Arief.