Draft terbaru dari revisi UU Pemilu menaikkan ambang batas parlemen dari 4% menjadi 7%. Hal ini tentu akan memberatkan bagi partai-partai politik skala “kecil” dalam artian partai yang tidak lolos ambang batas pada Pemilu 2019. Tidak hanya partai kecil, tetapi juga bagi partai politik baru bahkan bagi partai politik lama merasa sulit untuk memenuhi ambang batas tersebut. Terdengar merugikan partai kecil.
Sesungguhnya hal tersebut bisa menguntungkan semua partai, termasuk partai kecil. Caranya dengan menerapkan koalisi partai sebagai peserta pemilu.
Koalisi yang dimaksud dalam tulisan ini terinspirasi dengan praktik koalisi dan bentuk kepersertaan partai politik seperti koalisi Barisan Nasional dan Pakatan Harapan dalam pemilu Malaysia. Namun, tetap terdapat perbedaan konteks tujuan mengingat kondisi partai dan politik yang berbeda dengan Indonesia.
Koalisi partai sebagai peserta pemilu adalah gabungan beberapa partai politik peserta pemilu yang dibentuk berdasarkan kesepakatan sukarela sebelum pelaksaanaan pemilu (pre-electoral coalition). Pertama, koalisi yang dimaksud akan menjadi sebuah gabungan partai yang terdaftar. Koalisi akan menggunakan satu nama dan lambang yang sama serta disepakati bersama untuk digunakan dalam pemilu sebagai simbol koalisi serta harus didaftarkan pula. Koalisi dalam tulisan ini difokuskan penerapannya pada pemilu anggota DPR, meskipun tidak menutup untuk diterapkan dalam pemilu anggota DPRD.
Kedua, partai yang berhak membentuk koalisi adalah partai politik yang telah lolos verifikasi sebagai peserta pemilu. Oleh karena itu, koalisi partai akan langsung menjadi partai politik peserta pemilu anggota DPR dengan menggunakan satu nama dan lambang yang sama dalam pemilu. Konsep koalisi partai berbeda dengan praktik peleburan partai untuk membentuk gabungan partai atau partai baru yang terjadi menjelang Pemilu 2009 demi memenuhi ketentuan electoral threshold.
Hal tersebut terjadi karena ketika membentuk koalisi, eksistensi partai komponen koalisi tersebut tetap ada dan bukannya masuk ke dalam partai tertentu atau melebur membentuk partai baru. Oleh karena itu, partai komponen koalisi tetap dapat mengusung calon kepala daerah dan ikut pemilu anggota DPRD secara sendirian tanpa membentuk koalisi partai. Bahkan, dapat membentuk koalisi baru di pemilu DPR berikutnya.
Ketiga, koalisi harus dibentuk sebelum pemilu dan tidak boleh dibentuk setelah pelaksanaan pemilu. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi “jual beli atau barter suara” di antara partai politik. Selain itu, pembentukan koalisi sebelum pemilu akan mendapat legitimasi yang kuat karena pemilih hanya akan memilih koalisi jika memang layak berkoalisi (Golder, 2006: 194).
Di dalam kontestasi pemilu, sangat mungkin partai yang berbeda haluan politik bergabung dalam koalisi, tetapi justru ditinggalkan basis pemilihnya. Mereka beralasan bahwa tidak seharusnya partai yang mereka dukung bergabung atau bekerjasama dengan partai tertentu (Golder, 2006: 196).
Keempat, antar partai komponen koalisi akan saling berbagi kursi demi kemenangan koalisi. Tujuan utama adalah kemenangan koalisi, sehingga nama-nama calon yang menggunakan nama dan lambang koalisi dalam pemilu adalah mereka yang paling berpotensi untuk menang tanpa memperdulikan dari partai komponen yang mana calon itu berasal. Pembagian dan penempatan calon di sebuah dapil menjadi kesepakatan partai sebagai bentuk strategi pemenangan koalisi.
Manfaat Koalisi
Koalisi partai pada umumnya dibentuk karena dua hal dasar. Pertama, demi memenangkan pemilu. Kedua, dengan alasan kesamaan ideologi dan perjuangan (Shin, 2019: 464).
Maksud demi memenangkan pemilu dapat diartikan sebagai upaya untuk memperoleh kursi mayoritas di parlemen akan dapat membentuk pemerintahan dalam konteks sistem perlementer. Namun, dalam konteks Indonesia kemenangan tersebut dapat diartikan lolos ambang batas parlemen bagi partai kecil dan partai baru karena jika ambang batas naik, tentu menyulitkan bagi partai yang belum memiliki basis massa yang kuat.
Konsep koalisi partai sebagai peserta pemilu akan memperlebar kemungkinan untuk lolos ambang batas parlemen. Basis massa setiap partai komponen akan beralih dukungan dan mencoblos koalisi. Dengan demikian, terjadi penggabungan dukungan suara pemilih dari setiap partai komponen ke dalam suara koalisi dalam pemilu. Partai-partai kecil yang membentuk koalisi akan lolos ke DPR atas nama koalisi.
Berbanding terbalik jika bertarung sendiri. Tanpa penggabungan suara, partai kecil dan baru akan kesulitan lolos ambang batas parlemen.
Alasan memenangkan pemilu akan semakin mudah dicapai jika partai memiliki kesamaan ideologi. Persamaan ideologi akan mendorong partai politik bahkan partai besar yang memiliki basis massa kuat untuk membentuk koalisi. Karena partai besar jika membentuk koalisi akan semakin memperkuat kedudukaannya dengan perolehan kursi yang semakin banyak berkat suara dukungan di setiap dapil.
Konsep koalisi tidak hanya menguntungkan bagi partai kecil. Koalisi juga kabar gembira bagi partai besar yang telah eksis lama. Alhasil, diharapkan jumlah “partai” di DPR kelak dapat disederhanakan karena koalisi tersebut memiliki kewajiban membentuk fraksi atas nama koalisi bukan masing-masing partai komponen dapat membentuk fraksi. Hakikatnya partai komponen lolos atas nama koalisi dan tidak berjuang sendiri.
Tantangan
Penerapan koalisi sebagai peserta pemilu membutuhkan “restu” dari partai besar di DPR dan kesepakatan partai. Restu partai besar tersebut dibutuhkan agar usulan koalisi ini dimasukkan dan disepakati dalam revisi UU Pemilu dan UU Partai yang sedang di bahas di DPR.
Selain itu, adalah kesediaan dari partai politik, baik yang besar atau kecil, untuk membentuk koalisi. Risiko yang diterima yaitu kemungkinan hilangnya lambang partai dalam pemilu serta pembagian dalam fraksi kelak. Ditambah keharusan membagi kursi dengan partai komponen yang lain dalam pemilu.
Wacana kenaikan ambang batas parlemen akan menguntungkan semua partai, temasuk partai kecil dan partai baru. Ambang batas akan mendorong mereka membentuk koalisi demi lolos ke DPR.
Bagi partai besar, mereka memungkinkan semakin memperkuat jumlah perolehan kursi. Dengan kondisi saling beintegrasinya partai ke dalam koalisi, jumlah fraksi di DPR dapat lebih “sederhana”. Keadaan ini memudahkan pembahasan kebijakan dan terkuranginya polarisasi serta instabilitas politik di parlemen dapat dicapai. []
ADITYA WAHYU SAPUTRO
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia